Cerpen Menarik, Memang Menarik

Oleh: Mihar Harahap

CERPEN Rebana Analisa edisi Juli 2016. Minggu kesatu (3/7) dibuka Afrion dalam cer­pen “Malam Hari Raya”. Ming­gu ketiga (17/7) karena minggu kedua libur adalah cerpen “Inong” karya Idris Pasaribu. Minggu keempat (24/7) cerpen “Lima Huruf” karya Miftahul Husna Nasution. Minggu kelima (31/7) ditutup Marina Novianti dalam cerpen “ Di Kedai Kopi”. Keempat cerpen ini mence­ri­takan apa dan bagaimana kehi­dupan sesuai peristiwa, peng­ungkapan dan maknanya.

Cerpen kesatu, “Malam Hari Raya” karya Afrion. Menceri­takan lelaki itu yang hidup mis­kin, entah gila entah tidak, mem­punyai istri dan anak-anak. Dulu teman bermain, kelompok dra­ma, denganku, Braga, Dudik, Malik dan lainnya. Mungkin ka­rena dia jatuh, kepalanya terben­tur lantai kamar mandi. Syaraf warasnya putus karena meng­kha­yal kelewat tinggi. Sebagai karma akibat perlakuan  kasar­nya kepada orang lain. Pokok­nya, tak jelas, bagaimana riwa­yat gilanya.

Mengingat perlakuan kasar dan gilanya inilah, membuat orang-orang, termasuk aku, Braga, Dudik dan Malik berpikir ganda. Kasihan karena sudah gila, mis­kin lagi, banyak anak pula. Sakit hati karena kelakuan kasarnya, sejak waras hingga gila, malah se­makin parah. Pernah mereka berencana untuk memasung­nya, tetapi khawatir dituduh melanggar HAM. Menambah persoalan. Al-hasil, mau tak mau, terjadi pembiaran. Yang penting, sabar menghadapi ke­lakuan kasarnya.

Terkait ramadhan, di malam hari raya, umat muslim memba­yar zakat fitrah dan zakat harta. Bila tidak melalui panitia di mes­jid, maka langsung kepada orang yang berhak menerimanya. Rumah lelaki itu, kebetulan de­kat dengan mesjid. Tampak ke­giatan kesibukan panitia zakat serta anak-anak  takbiran.

Lelaki itu duduk di muka pintu menunggu orang memberi za­kat. Ttak dijelaskan,  mengapa bi­la mendengar takbiran, istrinya menangis dan dia merasa keta­ku­tan.

Kemana aku, Braga, Dudik dan Malik menyerahkan zakat? Di sini terjadi dilema. Mungkin se­derhana, tetapi cukup mena­rik. Kalau mengingat sakit hati, tentu mereka serahkan ke mes­jid. Jika merasa iba, dulu berka­wan, apalagi zakat berlebih, mes­tinya diserahkan kepada le­laki itu.

Imam Syafei menerangkan, lelaki itu tidak gila. Hanya marah karena selalu dipecundangi, di­khianati dan dibohongi.Tak jelas kalau mereka melakukan itu, sehingga harus minta maaf.

Ternyata, mereka serahkan zakatnya ke mesjid. Tepat, me­narik. Pecerpen memaknai ceri­ta dengan melukiskan pelaku terjebak perasaannya sendiri. Padahal Imam Syafei telah memberi aba-aba tentang haki­kat puasa, zakat dan orang yang berhak menerimanya. Qur’an (At-Taubah 60) tegas     menya­takan, orang miskin berhak me­nerima zakat. Lebih jauh Waqi’ bin Jarrah menyatakan, zakat fitrah dapat menutupi kekurang­an dalam melakukan puasa ra­madhan.

Cerpen ketiga, “Inong” karya Idris Pasaribu. Cerpen ini mena­rik dan memang menarik. Perta­ma, cerita dan cara mencerita­kannya diupayakan sederhana. Cerita tentang kerinduan. Rindu Inong (ibu, emak) dan rindu Valeria (kekasih). Cara mence­ritakannya jelas, lugas dan padat. Bukan berarti setiap cerita yang sederhana dapat dikatakan me­na­rik. Banyak juga cerpen yang sederhana tetapi tidak atau ku­rang menarik. Cerpen ini mena­rik karena memang menarik.

Kedua, kerinduan pada Inong dan Valeria melebur ke da­lam kesatuan cerita. Pada mu­lanya kerinduan dengan Inong di satu pihak. Kerinduan dengan Valeria dipihak lain.

Ingat, bukan berarti cerpen ini menceritakan dua hal yang sa­ma. Inong dan Valeria. Mela­in­kan kedua pihak bertemu ke sa­tu titik fokus secara dinamis dan harmonis. Membuat titik temu serupa ini merupakan kemam­puan seorang cerpenis. Tak se­mua pecerpen dapat melakukan teknis ini.

Aku tak mengerti, tak perduli, apa itu mimpi. Tetapi, tadi ma­lam, aku mimpi bertemu Inong. Padahal, sudah limabelas tahun meninggal dunia. Malah sejak usiaku empat bulan, sudah pisah dengannya. Aku diasuh kakek-nenek dari pihak ibu. Itu sebab, orang-orang cerita mimpi. Apa­lagi bila tetangga, keluarga, mim­pikan ibuku, maka aku diam saja. Kecuali ketika aku mulai de­wasa dan melihat teman-te­man sangat menyayangi ibunya. Akupun merasakan makna mim­pi dan kerinduan.

Bayangkan, bagaimana mung­kin, kerinduan Inong ke da­lam mimpi. Sedang aku tak tahu rupa bentuknya. Bersamaan itu, aku dan Valeria, mulai menya­yangi, merindui dan menepati jan­ji. Sebagaimana pemuda Ba­tak lainnya, aku terus terang mem­balas cintanya, justru di ha­dapan orang tuanya. Rasa ro­man­tisku pun mengelopak. Me­lihat Valeria seakan melihat Inong. Penglihatan itu tak seke­dar sesama perempuan. Melain­kan juga karena sifat-sifat femi­nis Valeria terasa ada pada Inong.

Perlu disimak tentang rama­lan ahli nujum. Tampak cerpe­nis dan novelis ini merahasiakan apa gerangan makna ramalan ah­li nujum itu. Sejauhmana ke­benaran dan keberkahan hidup orangtuaku dan aku terhadap ra­malan itu. Sebab, nyatanya, me­misahkan orangtua dengan anak selama limabelas tahun, sung­guh menyakitkan. Mungkin se­cara fisik tidak, kakek-nenek dapat menghidupi dan melin­dungi. Secara batin, hubungan orangtua dan anak menjadi sa­ngat terzolimi.

Cerpen keempat, “Huruf” karya Miftahul Husna Nasution. Menceritakan Mexi, dalam satu silaturahmi keluarga (lebaran) di rumah Oma Vera, melampias­kan emosinya. Seringkali tante Mila dan Luna, menyatakan Mexi nanti perawan tua, dapat duda atau suami orang. Dia membalas dengan menyindir dan menohok kedua tante hing­ga tak berkutik. Wanita mana yang tak mau menikah. Soalnya, Mexi trauma akibat ditinggal ke­kasih begitu saja. Padahal ren­cana nikah sudah 80 prosen.

Tak jelas, mengapa sang ke­kasih malah menikahi perempu­an lain. Lantaran itu, Mexi bukan saja sakit hati, tetapi justru tak percaya lagi pada lelaki. Hanya saja, entah mengapa pula, kondi­si ini menjadi kesempatan tante Lima dan Luna untuk meledek bahkan menghina Mexi. Pastilah dia tidak terima, lalu berusaha me­nyerang balik. Harapan da­pat menyentuh urat malu hingga menimbulkan efek jera menge­jek orang lain. Apalagi ketika itu masih dalam suasana lebaran/bermaafan.

Hari berikutnya, Mexi ke Su­rabaya. Menjenguk mBak Sofia operasi di rumah sakit karena kanker serviks. Apalagi, suami mBak Sofia (Mas Wisnu) tak pulang-pulang, sedang anak (Verrel) yang nakal perlu diawa­si. Akibatnya, Mexi harus turun tangan. Juga mama dan kak Fir­man yang datang belakangan. Mbak Sofia tak tertolong, diapun meninggal dunia.

Sebulan kemudian, Ichal (dokter) yang menangani, mela­mar Mexi di hadapan mama dan kak Firman sebelum kembali ke Jakarta.

Inilah fakta, peri­hal perawan tua, suami duda/is­tri janda, di­anggap klise, tradisi, kedesaan, masih menjadi persoalan aktual, modern, kekotaan. Perlu kajian lebih lanjut. Selain itu, cerita Me­xi emosi, sakit hati pada lelaki, lalu mengurus orang sakit, me­ninggal, akhirnya tiba-tiba dila­mar. Secara teknis belum me­nun­jukkan ke satu titik fokus yang dinamis dan harmonis. Ma­sih terasa bahwa lamaran tiba-tiba itu, tidak sekaligus  menghubungkan urutan dan ke­terkaitan cerita.

Cerpen kelima, “Di Kedai Kopi” karya Marina Novianti. Satu lagi, cerpen menarik dan me­mang menarik. Pertama, Suratmi (istri) mampu meyakin­kan Suratmo (suami) agar diberi izin ke luar rumah seorang diri (pergi pagi pulang malam) dua kali sebulan. Kedua, Suratmi dapat melihat roh-roh penghuni sebuah pohon yang ada di ha­la­man kedai kopi, tempatnya nong­krong seharian. Bahkan dapat berkomunikasi dengan baik sebagaimana laiknya manu­sia sedang bercakap-cakap ak­rab.

Tujuan pergi ke kedai kopi untuk menyendiri. Hal ini dila­kukan sejak lama. Bagaimana kalau di rumah saja, biar suami dan anak yang ke luar rumah. Tak boleh. Bagaimana jika di­hentikan kebiasaan ini. Juga tak boleh. Bisa mati! Mati tulisan­nya. Tidak berkembang. Tidak le­bih baik.

Suratmi wajib ke kedai kopi, bersendiri seraya menyeruput grande caramel macchiato. Ke­biasaan inilah yang harus dime­ngerti Suratmo serta anak sema­ta wayangnya, Seno.

Pernah Suratmo menguntit istrinya. Jangan-jangan dia se­lingkuh. Tidak. Disaksikannya, Suratmi sendiri di kedai kopi itu. Duduk, merokok, mengetik di te­lepon genggamnya. Diam mere­nung, menyeruput kopi, meng­hisap rokok dan mengetik lagi. Begitu seterusnya. Suratmo me­nyerah. Dia memang tidak se­lingkuh, tetapianeh.  Padahal tan­pa setahunya, Suratmi dite­mani seorang lelaki ganteng. Me­reka bercakap-cakap, akrab, berhadap-hadapan, betapa nik­matnya.

Lelaki itu adalah roh, peng­huni pohon di kedai kopi. Masya­rakat umum tak dapat melihat­nya kecuali Suratmi.

“Aku tak ingin dilihat. Biar­kan aku tetap bersembunyi. Aku ingin menguatkanmu, membu­atmu merekah. Aku ingin meli­hat senyummu, mendukung dan menunjangmu. Menjadi akar ba­gimu, agar kau bertumbuh se­bagai pohon yang besar dan ku­at. Membuatku bangga pada­mu,” kata lelaki itu menjawab pertanyaan. Mengapa dia tak me­nampakkan diri kepada se­mua orang.

Lelaki ganteng itu cuma ada dalam imaji Suratmi yang ditam­batkannya pada pohon di kedai kopi itu. Mungkin begitu miste­rinya sebuah pohon, sehingga imaji mendapati roh penunggu. Lahirlah cerpen ini.

Semestinya, menakutkan, pe­nuh konflik dan in-logika. Dalam cerpen ini, keadaan men­jadi sebaliknya. Imaji, alur, pe­ristiwa, mendatar saja. Malah Suratmi dan roh penunggu keli­hatan intim penuh persahabatan. Tak sadar bila dialog roh itu, se­benarnya masih tanda tanya.

Penulis kritikus sastra, budaya, mpr-oos, ketua fosad, pengawas dan dosen uisu

()

Baca Juga

Rekomendasi