Oleh: Jan Roi A Sinaga. Mungkin, diantara kita sudah banyak yang mendengar kata Homo Homini Lupus, dimana Homo Homini Lupus merupakan bahasa latin yang artinya Manusia adalah serigala bagi sesamanya. Ungkapan ini pertama kali diungkapkan oleh Platus berjudul Asinaria pada tahun 195 SM, dan diperkenalkan oleh Thomas Hobbes dalam karyanya yang berjudul De Cive pada tahun 1651 (sumber : Wikipedia)
Menggambarkan bahwa manusia adalah serigala bagi sesamanya memang tidaklah mudah, dan sangat sensitive dikalangan sosial masyarakat. Karena secara tidak langsung, kita telah menyatakan bahwa kita sebagai manusia, hidup diantara manusia yang memiliki sifat serigala didalam dirinya. Tentu saja ini bukanlah cerita fiktif yang disinetronkan dan sempat menjadi hits di Indonesia, dengan judul Ganteng-ganteng Serigala.
Serigala maksudnya disini bukanlah manusia yang dapat berubah menjadi serigala disaat genting, layaknya peran Jacob Black di film Twilight karya Stephenie Meyer. Namun lebih kepada sifat manusia itu sendiri yang suatu waktu bisa menjadi ”pemangsa” bagi sesamanya, tanpa kenal lagi rasa sosial, rasa empati, dan kasih sayang yang dimiliki sebagai makhluk sosial paling tinggi diantara makhluk yang ada dibumi. Dan kenapa disebut serigala, kita ketahui bahwa hewan buas ini tidak segan saling membunuh satu dengan yang lainnya, demi memperebutkan kekuasaan, maupun makanan.
Serigala demi Kepentingan Pribadi
Kata Homo Homini Lupus memang sangat tepat kita pergunakan pada situasi saat ini. Dimana empati manusia seakan hilang dari dalam hati, dan melihat manusia yang menjadi saingan dalam bisnis dan politik, sebagai musuh yang harus dilenyapkan. Tidak jarang kita menemui kasus yang dimana manusia sudah menjadi “serigala” bagi sesamanya, baik itu hal yang disengaja, maupun tidak.
Banyaknya kasus pemerkosaan berujung pembunuhan misalnya. Hal itu jelas menunjukkan bahwa kaum yang kuat secara tenaga akan menghabisi kaum yang lemah demi kepentingan syahwat semata. Tanpa peduli bahwa yang mereka renggut adalah nyawa sekalipun, yang pasti kebutuhan mereka tersalurkan. Apakah sikap ini tidak bisa kita samakan dengan sikap hewan seperti halnya serigala? Bahkan, serigala sebenarnya pun tidak berbuat separah dan senekat tindakan manusia saat ini.
Ditambah lagi kasus pembunuhan karena perampokan, bukanlah hal baru bagi kita. Bahkan, hampir setiap hari berita mengenai perampokan yang berujung pembunuhan memenuhi halaman utama surat kabar negeri ini. Lagi-lagi tujuan utamanya adalah kepentingan pribadi yang harus tersalurkan. Kita bisa saja berdalih, hal ini semua terjadi karena himpitan ekonomi. Namun, kejadian ini tidak bisa dibenarkan hanya karena masalah ekonomi pribadi, hak orang lain kita renggut bahkan nyawanya sekalian. Lagi-lagi, kita bertindak melebihi tindakan hewan, bahkan serigala sekalipun tidak akan sampai menghilangkan nyawa sesamanya saat berebut makanan.
Kasus pembunuhan karena motif politik juga kerap terjadi dinegara kita ini. Meski tidak melakukannya dengan terang-terangan, namun hal ini kerap terjadi. Mungkin, publik Indonesia masih ingat kasus yang menjerat Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto, Putra dari almarhum mantan Presiden Soeharto. Dimana, beliau didakwa sebagai otak pembunuhan ketua muda bidang hukum pidana Mahkamah Agung, Syafiuddin Kartasasmita. Dimana peristiwa ini terjadi karena Syafiuddin menetapkan status tersangka kepada Tommy dalam kasus tukar guling PT GBS dan Bulog. Dan karena kejadian saat itulah, nama Kapolri sekarang Tito Karnavian melejit, karena beliau merupakan pimpinan tim kobra, satuan kepolisian yang dibentuk khusus menangani masalah ini.
Semuanya karena bisnis semata, karena politik kotor yang harus tertutupi. Bahkan, kabarnya kasus yang menimpa Antasari Azhar pun direkayasa untuk kepentingan politik. Hal ini sedikit terungkap saat beliau sudah bebas dari tahanan dan hadir sebagai narasumber disalah satu acara TV swasta yang memang membongkar skandal “busuk” dinegara ini. Bahkan, sikap manusia menjadi serigala bagi sesamanya tidak hanya terjadi didalam satu Negara saja, namun sudah menyeluruh. Kita bisa saksikan lewat perang dimana-mana demi kekuasaan dengan alasan kedaulatan Negara. Bahkan perang yang mengatas namakan Agama, namun tujuan sebenarnya hanyalah kekuasaan semata. Semua saling serang, semua saling bunuh, dan tidak adalagi saling menghargai antar sesama manusia. Bom bunuh diri demi kepentingan organisasi tertentu, peredaran narkoba demi kekayaan golongan tertentu, premanisme demi kekuasaan oleh kelompok tertentu, semuanya menggambarkan bahwa sikap “serigala” manusia tidak bisa hilang dari muka bumi ini.
Tidak adalagi rasa empati, semua dilakukan demi kepentingan diri sendiri. Manusiapun sudah lupa akan status sosial yang dikenakannya, dan berusaha menjadi serigala bagi sesamanya, bahkan melebih sikap serigala demi menggapai kepuasan tersendiri. Dan hal ini, bukan kali ini saja terjadi, akan tetapi sudah terjadi sejak dahulu kala, bahkan sebelum Platus mengungkapkannya, sehingga ungkapan ini keluar.
Homo Homi ni Socious
Homo Homini Socius juga diungkapkan oleh Thomas Hobbes, dimana dapat diartikan bahwa manusia kadang menjadi Tuhan bagi sesamanya. Manusia menjadi Tuhan bagi sesama maksudnya bukanlah lebih tinggi dari sesama manusia itu sendiri, namun lebih kepada sefiat yang saling mengasihi antar sesama manusia. Saling support dalam berbagai keadaan, saling membantu dalam kesusahan, dan mencapai tujuan secara bersama-sama.
Hal ini bukanlah khayalan semata, namun program yang diharapkan bisa menjadi kenyataan, demi terciptanya kehidupan yang rukun, demokratis, dan mengutamakan kepentingan bersama.
Untuk menjadi mahluk yang bersosial tinggi, kita mulai dari diri sendiri. Menghargai oranglain bisa kita lakukan, jika kita lebih dahulu menghargai diri kita sendiri. Menghargai setiap upaya jerih payah, menghargai apa yang kita lakukan, sehingga penghargaan yang akan kita lakukan kepada orang lain sudah terbiasa kita lakukan untuk diri kita sendiri.
Sebagai masyarakat, kita juga sebaiknya menjadi “pengaman” dilingkungan masing-masing, untuk mengantisipasi tindakan-tindakan manusia yang berubah sifat menjadi “serigala” bagi sesamanya. Karena, menghilangkan sifat Homini Lupus dari kehidupan manusia tidaklah mudah, karena kodratnya memang sudah demikian. Tapi, dengan adanya sikap was-was, hati-hati dan peduli dengan sekitar, perbuatan-perbuatan yang merugikan oranglain bisa dicegah lebih dini.
Memang, menghilangkan sikap “serigala” manusia dari muka bumi ini tidaklah bisa. Karena sekuat apapun kita melakukan penyuluhan, kampanye anti kekerasan, akan ada sekelompok orang yang tidak setuju karena ada tujuan mereka yang terhambat didalamnya. Namun, mengawali dari diri kita sendiri tidaklah susah, namun tetap waspada penuh, karena diantara kita manusia, ada yang menjadi Tuhan bagi sesamanya, dan ada Serigala bagi yang lainnya.
Mengutip ungkapan dari Thomas Hobbes dalam bukunya De Cive mengatakan, “To Speak Impartially, both saying are very true. That man to man is a kind of God; and that man to man is an errant Wolf”. Yang artinya, kedua istilah itu terdapat kebenarannya (antara Homo Homini lupus dan Homo Homini Socious) bahwa sesama manusia adalah semacam Tuhan dan bahwa antar sesama manusia pula terdapat Serigala. ***
Penulis adalah Pemerhati Sosial