Karma dan Realitas Kehidupan

Oleh: Y.M. Bhikkhu Thanavaro Thera, B.A., M.Ed.

Namo tassa bhagavato arahato sammasambuddhassa

Kita menyaksikan perbedaan – per­be­daan berbagai macam kehidupan serta tingkah laku makhluk – makhluk yang hidup di alam semesta. Kita melihat se­seorang dilahirkan dalam keadaan ber­lebihan, dikarunia dengan pikiran, kepri­badian dan tubuh yang baik ; sedangkan orang lain dilahirkan dalam keadaan seng­sara dan menyedihkan. Bisa terjadi orang yang bajik dan saleh selalu bernasib buruk. Ia tetap miskin dan sengsara mes­kipun ia selalu berlaku jujur dan bajik. Sebaliknya, ada orang lain yang berwatak jahat, kejam dan korup, tetapi selalu mujur, dikaruniai dengan segala bentuk kesenangan.

Timbul berbagai pertanyaan dalam diri kita, mengapa seseorang mempunyai kedudukan rendah, sedang orang lain mempunyai kedudukan mulia ? Mengapa seseorang harus direnggut dari tangan ibu yang penuh kasih sayang sewaktu ia masih kanak – kanak, sedangkan orang lain meninggal dalam usia remaja atau pada usia delapan puluh atau seratus tahun ? Mengapa seseorang memiliki fi­sik lemah dan berpenyakitan, sedang orang lain memiliki tubuh yang kuat dan sehat ? Mengapa seseorang berwajah tampan, dan orang lain berwajah buruk ? Mengapa seseorang dibesarkan dalam ke­mewahan, sedang orang lain dibesarkan dalam kemiskinan dan kesengsaraan ? Me­ngapa seseorang terlahir sebagai juta­wan, sedang orang lain terlahir sebagi pe­ngemis ? Mengapa seseorang memiliki ke­cerdasan luar biasa, sedang orang lain begitu bodoh ? Mengapa ada orang yang berbakat sebagai ahli bahasa, artis, ahli matematika atau ahli musik sejak lahir ? Inilah beberapa pertanyaan yang mem­bingungkan orang – orang.

Bagaimana kita harus menerangkan “ ketidakadilan “ dunia, perbedaan – perbedaan di antara umat manusia ini ? Apakah semua fenomena itu terjadi seca­ra kebetulan ?

Dalam dunia ini tak ada sesuatu yang terjadi secara kebetulan. Menyatakan bahwa sesuatu terjadi secara kebetulan ada­­lah sama salahnya dengan menyata­kan Harian Analisa ini ada dengan sen­dirinya tanpa ada faktor – faktor lain se­belumnya. Sesungguhnya, tak ada sesu­atu yang terjadi pada manusia tanpa ala­san dan yang tidak dikehendaki.

Menurut agama Buddha, perbedaan – perbedaan ini tidak hanya disebabkan oleh faktor keturunan dan lingkungan, tetapi juga disebabkan oleh karma kita sendiri, atau dengan kata lain, disebabkan oleh akibat dari perbuatan lampau kita dan perbuatan – perbuatan kita sekarang. Kita sendiri yang harus bertanggung jawab atas perbuatan – perbuatan kita. Kita membangun penjara kita sendiri. Kita adalah arsitek dari nasib kita sendiri. Singkatnya, diri kita merupakan akibat dari karma kita sendiri.

Pada suatu ketika, seorang pemuda bernama Subha datang menemui Sang Buddha dan bertanya kepada Beliau, “ Mengapa dan apa sebabnya di antara umat manusia ada yang memiliki keadaan rendah dan ada yang memiliki keadaan mulia ? Mengapa ada manusia yang ber­umur pendek dan ada yang berumur pan­jang, ada yang sehat dan ada yang ber­penyakitan, ada yang berwajah tampan dan ada yang berwajah buruk, ada yang berkuasa dan yang tertindas, ada yang miskin dan ada yang kaya, ada yang hina dan ada yang mulia, ada yang bodoh dan ada yang bijaksana ? “

Sang Buddha menjawab : “ Semua makhluk memiliki karmanya sendiri, me­warisi karmanya sendiri, lahir dari kar­manya  sendiri, berhubungan dengan kar­ma­nya sendiri, terlindung oleh karmanya sendiri. Karmalah yang membuat semua makhluk menjadi berbeda, hina atau mulia “.

Selanjutnya Sang Buddha menerang­kan sebab perbedaan – perbedaan tersebut sesuai dengan hukum Sebab Akibat.

Dari sudut pandangan agama Buddha, perbedaan – perbedaan batin, intelektual, moral dan watak kita sekarang, pada prinsipnya disebabkan oleh perbuatan – perbuatan kita sendiri yang dilakukan di waktu lampau dan di waktu sekarang.

Secara harfiah karma berarti perbu­atan, tetapi, dalam pengertian mutlaknya karma berarti kehendak. Karma ada yang baik ( Kusala ) dan yang buruk ( Akusala ). Perbuatan baik akan membuahkan ke­ba­hagiaan.

Perbuatan jahat akan mem­buahkan kesedihan. Inilah hukum karma.

Selama kekuatan karma masih ada, se­lalu akan terjadi tumimbal lahir. Kema­tian hanya merupakan akhir sementara dari fenomena yang tidak langgeng ini. Kehidupan organik telah berakhir, tetapi kekuatan karma yang telah mengge­rak­kannya sampai sekarang ini belum hilang. Karena kekuatan karma tidak terganggu oleh kehancuran badan jasmani, maka datangnya saat pikiran kematian ( Cuti Citta ) sekarang ini mempersiapkan kesadaran baru dalam kelahiran beri­kutnya.

Karma  yang berakar pada kebodohan dan nafsu keinginan menjadi syarat bagi tumimbal lahir. Karma lampau menen­tukan kelahiran sekarang dan karma se­karang bergabung dengan karma lampau, menentukan kelahiran berikutnya. Ke­adaan sekarang adalah akibat dari kea­daan yang lalu dan menjadi sebab dari akibat yang akan datang.

Kadang – kadang dalam kehidupan ki­ta sehari-hari, kita  memperoleh pe­nga­laman aneh yang hanya dapat dite­rangkan melalui teori tumimbal lahir.

Sering kita bertemu dengan orang – orang yang belum pernah kita kenal, namun secara naluri kita merasa bahwa mereka pernah dekat dengan kita.

Betapa seringnya kita mengunjungi tempat – tempat tertentu dan merasa seolah – olah kita sudah biasa dan tidak asing lagi dengan lingkungan itu.

Sang Buddha menyatakan : “ Melalui pengalaman dulu dan kesempatan – ke­sem­patan dalam hidup sekarang, kena­ngan lama tumbuh kembali bagaikan bu­nga teratai muncul dari dalam air “.

Dalam dunia ini terlahir beberapa ma­nusia sempurna seperti Sang Buddha, orang – orang jenius. Apakah mereka tiba – tiba saja sempurna ? Dapatkah mereka merupakan hasil dari satu kehidupan saja ?

Bagaimana kita akan menerangkan tentang pribadi – pribadi besar seperti Buddhaghosa, Panini, Kalidasa, dan Plato, manusia – manusia genius seperti Shakespeare, anak – anak ajaib seperti Pascal, Mozart, Beethoven, Raphael, Ramanujan dan lain – lain. Fakor ketu­runan saja tidak dapat menjelaskan ke­hadiran mereka.

Dapatkah karier mereka menanjak demikian tingginya bila mereka tidak mengalami kehidupan dan pengalaman serupa dalam kehidupan mereka yang lampau ? Apakah hanya karena kebetulan bahwa mereka dilahirkan dari orang tua tertentu sehingga berada dalam ling­kungan – lingkungan yang mengun­tungkan tersebut.

Kesempatan hidup beberapa tahun dalam dunia ini atau paling sedikit lima tahun, sudah pasti tidak dapat merupakan persiapan yang cukup untuk mencapai kepandaian itu.

Seorang penulis barat menyatakan : “ Apakah kita mempercayai adanya suatu kehidupan lampau atau tidak, hal tersebut merupakan satu – satunya hipotesa yang masuk akal yang menjembatani jurang tertentu dalam pengetahuan manusia tentang berbagai fakta kehidupan sehari – hari “.

Nalar kita memberitahukan bahwa paham tentang kehidupan lampau dan karma ini sajalah yang dapat menerang­kan tingkat – tingkat perbedaan yang ada di antara anak kembar ; bagaimana orang seperti Shakespeare dengan bekal pengalaman yang amat terbatas mampu menulis dengan kecepatan yang menga­gumkan tentang berbagai macam karakter dalam adegan – adegan sandiwaranya yang belum pernah ia pelajari sebelum­nya. Mengapa karya orang – orang jenius selalu melampaui bekal pengalamannya sendiri ?

Sang Buddha menyatakan : “ Sebab dari karma adalah avijja atau ketidakta­huan tentang Empat Kebenaran Mulia . Karena itu avijja merupakan sebab kela­hiran dan kematian ; pengetahuan ( vijja ) tentang Empat Kebenaran Mulia ber­akibat berhentinya proses kelahiran dan kematian ini. “

Oleh karena kehiudpan kita dihasilkan oleh sebab-sebab. Maka kita tidak se­harusnya menciptakan sebab-sebab yang buruk. Jika kita melakukan sebab yang buruk, maka akibat yang buruk akan datang. Bagaimanapun, setiap orang ten­tunya hanya menginginkan hasil yang ba­ik dan kebahagiaan.

Tidak ada seorang­pun yang menginginkan penderitaan. Walaupun kita ingin berbahagia, jika kita tidak membuat sebab yang membawa pada kebahagiaan, kita tidak akan men­dapatkannya.

Sabbe satta bhavantu sukhitatta.

Semoga semua makhluk hidup berbahagia.

()

Baca Juga

Rekomendasi