Tax Amnesty, Belajar dari Upeti Kaum Feodal

Oleh: Armin Rahmansyah Nst, SE, M.Si. Sejak zaman feodal sebenarnya jauh se­belum Belanda datang ke Indonesia atau ketika para raja dan tuan tanah ber­kua­sa, penarikan upeti (pajak atas rakyat) su­dah terjadi. Gam­baran peran kaum feo­dal sudah terlihat pada abad ke-4 Masehi di zaman Raja Purnawarman dari Kera­jaan Taruma Negara.

Saat itu raja adalah penguasa tertinggi, tapi mereka meng­angkat para bangsa­wan, dan punggawa sebagai wakil raja. Pa­ra wakil raja inilah yang berkewajiban me­ngumpulkan setor­an hasil panen kaum tani untuk keperluan sendiri dan raja. Disamping menyetorkan hasil pa­nen, kaum tani juga wa­jib bekerja dengan cuma-cuma (rodi, corvee).

Tekanan kepada rakyat yang harus membayar upeti inilah kemudian yang membuat pemberontakan di Kerajaan Ma­taram ke 1 abad 8 dan 9, pemberonta­kan Kediri awal abad ke 13 di bawah pimpinan anak petani Ken Arok, pembe­ron­­ta­k­an terhadap kerajaan Singasari akhir abad ke 13. Lalu pembe­ron­takan da­lam kerajaan Majapahit abad ke 14 dan 14 merupakan bentuk pemberontakan kaum tani atas pajak yang dibayarkan.

Kedatangan Portugis 1496 ke Indonesia di bawah pimpinan Vasco da Gama di­­susul berlabuhnya armada Belanda di ba­wah kepemimpinan Cornelis Hout­man di Banten ternyata malah menim­bul­kan babak baru tentang penarikan pa­jak (upeti) atas rakyat.

Inilah era kolonialisme atas Indonesia. Perkumpulan da­gang belanda yang diberi nama VOC menancapkan kuku­nya lebih dalam untuk menarik pajak/upeti atas rakyat. VOC mene­tapkan sis­tem pajak tanah yang sangat tinggi dan ke­wa­jib­an menyerahkan sebagian hasil per­tanian dengan harga sangat rendah. Wa­laupun Belanda telah berkuasa na­mun mere­ka tidak menggulingkan ke­kua­saan feodal, sebaliknya me­man­fa­atkan raja dan kaum bangsawan sebagai pe­rantara mereka dengan rakyat jajahan untuk mengutip pajak dan hasil produksi rakyat tani untuk diserahkan ke penjajah.

Setelah VOC bangkrut dan bubar tahun 1800 kemudian Belanda menjajah secara langsung Indonesia. Singkat cerita me­reka memberlakukan culture stelsel (sistem tanam paksa). Penyiksaan atas rakyat dan penarikan upeti/pajak makin men­jadi-jadi (Anne Booth & Peter McCawley, 1986).

Sejarah itu hanya sekilas meng­gam­bar­kan tentang ba­gai­mana sebenarnya sejak dulu rakyat Indonesia sudah di­ja­di­kan obyek pajak (upeti) yang tak per­nah habis. Sistem pajak yang diterapkan di zaman Belanda inilah kemudian yang terus menjadi warisan untuk dilanjutkan hingga saat ini.

Sumber Pembiayaan APBN

Dalam porsi APBN pemerintah Indonesia setelah era Orde Baru berakhir, maka sumber pendanaan APBN sudah ber­­pindah dari minyak dan gas ke pajak. Kejayaan Orde Baru sebe­narnya ditan­dai dengan booming minyak. Harga mi­nyak terus naik dan produksi dalam ne­geri (lifting) pun tinggi.

Sehingga di era Orde Baru, peme­rin­tah tak terlalu fokus menge­jar pajak. Aki­­batnya rasio penerimaan pajak Indone­sia memang rendah. Begitu pe­merin­ta­han periode Reformasi (za­man Soe­silo Bam­bang Yudhoyono) sadar, bah­wa sumber minyak akan habis dan tak sanggup lagi menjadi sumber utama peng­hasilan, maka pajak pun ditarget tinggi.

Caranya memperluas wajib pajak dan men­dorong peneri­maan sebanyak-ba­nyaknya dari rakyat. Hingga saat ini se­perti yang sedang digalakkan pe­me­rin­tah dalam Tax Amnesty adalah salah satu upa­ya memperluas penerimaan pajak.

Tahun lalu saat UU Tax Amnesty mu­lai digodok sebenarnya sudah me­mun­­culkan pro kontra. Pada dasarnya UU Tax Amnesty hadir untuk ‘membu­juk’ para pemilik dana di luar negeri me­mu­langkan uangnya ke Indonesia.

Intinya jika pengusaha yang memiliki aset di luar negeri me­mulangkan dana­nya dan merepatriasi aset ke dalam ne­geri akan mendapatkan pengampunan pa­jak. Besaran pajak yang harus dibayar didiskon hingga 2 persen dari angka normal. Kritikan pun bergulir. Sebab Tax Am­nesty ini dianggap meng­abaikan asas ke­adilan penerimaan pajak. Bagaimana mung­kin para pengusaha yang menyim­pan uang dan asetnya di luar negeri men­dapat pengampunan pajak. Semen­tara ma­syarakat di dalam negeri selama ini sudah jadi target utama penerimaan pa­jak terutama kalangan menengah, karyawan, pegawai dan usaha kecil.

Namun bagi pemerintah Tax Amnesty men­jadi strategi meng­himpun pajak. Coba lihat postur APBN-P 2015 yang me­nar­getkan penerimaan pajak menjadi Rp1.484 triliun yang sebelumnya hanya Rp1.380 triliun. Namun realisasi pajakn Rp1.240,4 triliun, atau 83,3 persen dari target yang ditetapkan. Ada kekurangan (shortfall) Rp160 triliun.

Realisasi Gagal, Target Dinaikkan

Saat itu target sudah tak tercapai. Tapi di APBN 2016 peme­rintah malah me­naik­kan targetnya menjadi Rp1.546 triliun. Melihat potensi yang ada, akhirnya pajak di APBN-P 2016 diturun­kan jadi Rp1.355 triliun. Yang terdiri dari tar­get Pajak Penghasilan (PPh) sebesar Rp855,8 triliun, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar Rp 474,23 triliun, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Rp17,7 triliun dan pajak lainnya Rp7,4 triliun.

Melihat komposisi angka dari 2015 ke 2016 terjadi ke­anehan luar biasa. Sudah jelas 2015 target pajak gagal capai target. Namun di penerimaan 2016, target malah dinaikkan jadi 30 persen.

Wajar kalau kemudian banyak kala­ngan menilai target penerimaan pajak tidak realistis. Maka untuk mengejar target pajak tinggi itulah sebenarnya Tax Am­nesty dikebut. Target penerimaan di­proyeksi dari pengampunan pajak men­ca­pai Rp160 triliun hingga Maret 2017.

Gencarnya sosialisasi tentu dengan tar­get paling tidak harus terhimpun Rp1 tri­liun setiap hari hingga Maret 2017. Data up­date hingga Jumat (2/9) sore, total uang tebusan sendiri baru mencapai Rp3,95 triliun atau sekitar 2,4 persen dari tar­get Rp165 triliun. Sedang komposisi har­ta sebanyak Rp187 triliun dengan kom­posisi hartanya yaitu, deklarasi da­lam negeri sebanyak Rp147 triliun (79 per­­sen), deklarasi luar ne­geri Rp 27,1 tri­liun (15 persen), dan sayangnya dana re­pa­triasi cuma sebesar Rp11,9 triliun (6 per­sen).

Padahal pemerintah selama ini menargetkan dapat mere­patria­si dana sebanyak Rp1.000 triliun dan yang deklarasi se­ba­nyak Rp4.000 triliun. Artinya apa? Tar­get besar pemerintah untuk merepatriasi aset dan dana di luar negeri itu menjadi diragukan. Atau malah terancam gagal. Lalu muncullah ‘peluru’ baru yang dilontarkan.

Tax Amnesty Ubah Sasaran

Tax Amnesty itu kini bukan hanya ditujukan untuk pemilik dana di luar negeri. Tapi masuk ke kolong masyarakat kelas ba­wah. Masyarakat dari level ba­wah sampai ke pengusaha kini gencar diajak sosialisasi Tax Amnesty. Langkah ‘gagap’ pemerin­tah inilah yang kemudian mem­buat masyarakat protes sampai mun­cul gerakan #tolakbayarpajak.

Dengan kondisi keuangan ne­gara yang defisit lebih dari dua per­sen memang membuat peme­rintah berfikir keras mencari sum­ber da­na. Lantas karena Tax Amnesty dari peng­usaha di LN teran­cam gagal, masyarakat awam jadi sasaran.

Coba kita ulang kembali inga­tan ketika Indonesia meng­alami krisis hebat di 1998. Saat itu pemerintah berwacana menge­na­kan pajak atas shampoo, sabun mandi, deterjen, sa­bun cair dan semua perlengkapan rumah tang­ga. Memang batal dilaksanakan, tapi kondisi itu tidak berbeda jauh dengan situasi saat ini (panik).

Satu hal, rakyat di negara ini memang sudah terbiasa mem­bayar ‘upeti’ ke penguasa sejak zaman feodal. Dan itu ber­lanjut sampai sekarang. Hanya saja cara dan etikanya berbeda. Pembayar pajak tentu terkait dengan tingkat kesadaran.

Mirisnya tax ratio (ratio pem­bayar pajak) di Indonesia yang 13 persen tertinggal dari negara ASE­AN. Filipina misalnya memiliki tax ratio 12 persen, Malaysia 12 persen, dan Singa­pura hingga 22 persen. Indonesia hanya mampu di atas Myan­mar yang memiliki tax ratio delapan persen.

Kesadaran dan Keadilan

Jika bicara kesadaran memba­yar pajak akan banyak hal yang jadi persoalan. Pemerintah bilang ka­rena masyarakat tidak punya ke­sadaran membayar. Atau karena pertumbuhan ekonomi rendah. Bah­kan asumsi ideal pemerintah adalah mi­nim­nya kesadaran mem­bayar pajak karena kesalahan ma­syarakat yang tingkat kesadaran­nya sangat rendah.

Padahal belum tentu. Sebe­nar­nya keengganan membayar pajak ini hanya pada satu problem uta­ma. Yaitu kepercayaan dan asas keadilan. Pemerintah sebenarnya yang tidak bisa me­num­buhkan kepercayaan kepada masyarakat bahwa dengan membayar pajak akan meningkatkan kesejahteraan dalam bentuk pembangunan.

Pembayar pajak selalu meng­inginkan imbal balik atas yang di­bayar. Jika seluruh rakyat mem­bayar pajak Rp1.200 triliun kema­na uang itu dikeluarkan selain un­tuk mem­biayai jalannya pemerin­tahan. Kon­teks inilah kemudian yang ber­kembang sehingga kesa­daran masih rendah. Berbeda ka­lau misalnya setiap tahun pemba­ngunan infras­truk­tur berkembang pesat atas pem­bayar pajak dan pe­me­rintah mem­buat laporan per­tanggungjawaban atas pajak yang dibayar.

Memupuk kepercayaan para pembayar pajak memang butuh waktu. Asas transparansi atas peng­gunaan dana pajak menjadi penting. Bukankah beberapa waktu lalu seorang wajib pajak di Nias bertindak nekat ke petugas pajak yang kemudian jadi korban?

Andai kepercayaan dan man­faat atas pajak yang dibayar dibuat lebih terbuka, tak akan sampai me­nimbulkan korban seperti itu. Di­tam­bah lagi asas keadilan. Asas ke­a­dilan ini maksudnya kesetara­an. Jika semua warga dan profesi wajib membayar pajak tentu ber­laku kepada seluruhnya. Bukan­kah pemilik dana di luar negeri yang sekarang ikut Tax Amnesty berarti selama ini tidak pernah membayar pajak. Sementara mere­ka tinggal dan berdomisili di Indonesia.

Sehingga pajak yang dikutip selama ini untuk operasional ne­gara berasal dari wajib pajak ma­sya­rakat berpenghasilan (karya­wan, pegawai, masyarakat biasa, pengusaha kecil, pengusaha me­ne­­ngah dan besar yang peduli de­ngan negara ini). Sebenarnya tidak adil. Tapi sudahlah. Anggaplah sekarang sudah fair.

Tinggal bagaimana memupuk kepercayaan masyarakat de­ngan membuktikan janji atas pajak yang dibayar. Pun kalau mi­sal­nya Tax Amnesty gagal, bisa saja karena skenario awal sudah salah.

Paling tepat sebenarnya lebih baik pemerintah memper­baiki bi­rokrasi, mempermudah perizinan, membuka pelayanan investasi yang lebih friendly untuk me­mang­gil dana tersebut pulang da­lam bentuk investasi. Ketika dana asing itu masuk dalam bentuk in­vestasi di sektor riil dan mengha­silkan, baru pajaknya bisa ditagih.

Tapi, sekarang seperti kata Wapres Jusuf Kalla kita semua bertanggungjawab untuk bekerja keras mendanai APBN dari pajak agar negara ini tetap berdaulat di mata rakyat dan dunia interna­sional. Semoga saja Tax Amnesty dan gencarnya penerimaan pajak tidak berakhir seperti upeti di zaman kerajaan feodal. ***

Penulis adalah pengamat ekonomi

()

Baca Juga

Rekomendasi