“Tutuplah pintu dunia, putuskan diri dari semua jalan-jalan yang menuju ke sana, dan bersandinglah hanya kepada Yang Maha Pemurah, maka Dia akan berbicara kepadamu tanpa tabir apapun!” Ibn Arabi.
Kehadiran buku ini di tengah-tengah kita sangat tepat untuk dijadikan sebagai pijakan dan rujukan dalam memahami sosok sufi Ibn Arabi. Memahami hakikat tasawuf, serta secara umum memahami Islam dengan ajarannya yang humanis, santun, dan elegan sebagaimana diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw. dan para sahabatnya. Membaca karya ini kita akan diajak menyelami lautan kisah anak manusia dalam perjuangan untuk menemukan keshalehannya secara manusiawi dalam sejarah.
Segala kisah yang dituturkan di dalam buku ini seakan hidup dan akan mengisi kekosongan spiritualitas yang kita jalani, dan sesuai dengan konteks di tengah krisis kemanusiaan saat ini yang sudah mulai memudar. Sehingga, melalui karya ini kita akan sadar tentang eksistensi kehidupan manusia di dunia dan peran-perannya bagi nilai-nilai ketuahan dan kemanusiaan. Karena hakikat dan inti ajaran Islam tak lain untuk nilai-nilai ketuhanan dan keshalehan kemanusiaan yang universal.
Dalam karya ini, penulis berusaha menghadirkan sosok Ibn Arabi tidak dari konsep-konsep ajarannya yang rumit, yaitu menempatkan Ibn Arabi sebagai seorang sufi yang berada di menara gading, sebagaimana anggapan banyak orang. Tetapi, dengan cerdas sang penulis menghadirkan ajaran-ajaran kesufian sang sufi ini melalui potret kehidupannya sehari-hari. Kehidupan yang dijalani oleh Ibn Arabi ketika berproses untuk menjadi seorang sufi. Begitu juga ketika dia bertemu dan berbincang-bincang dengan para sufi pada masanya. Serta, mereka mendermakan hidupnya untuk keshalehan kemanusiaan yang universal melalui dunia tasawuf yang ditekuni.
Keshalehan Spiritual dan Sosial
Bentuk keshalehan spiritual dan sosial para sufi tercermin dari cara para guru sufi Ibn Arabi yang selalu mendermakan keshalehannya untuk orang lain. Salah satunya, yaitu Abu al-‘Abbas al-‘Uryabi ketika diminta untuk shalat istisqa’ (meminta hujan) bagi penduduk negeri Kitanah. Kata hatinya itu mengantarkan sang Syaikh ke negeri Kitanah. Tapi, ketika sampai di sana, dia tidak diijinkan masuk oleh penjaga pintu. Akhirnya, di tempat itu juga dia melaksanakan shalat istisqa’ tanpa mereka sadari sama sekali. Setelah dia melakukan shalat, segera Allah Swt. menurunkan hujan. Saat itu juga. Setelah melakukan semua itu, Syaikh al-‘Uryabi langsung pulang tanpa sempat menginjakkan kaki di istana Kitanah (hlm. 62).
Kiranya penuturan Ibn Arabi sudah jelas. Pertolongan yang diberikan oleh Syaikh al-‘Uryabi adalah bentuk laku keshalehan spiritual sekaligus sosial. Sesuatu yang sepenuhnya hanya dilandaskan dan dimaksudkan untuk mendapatkan ridha Allah Swt. Dalam melakukan itu semua, dia tak mempedulikan rintangan dan hambatan yang membentang.
Bukan hanya itu, perlakuan kasar yang diterimanya tak membuatnya sakit hati, sehingga dia mengurungkan niatnya untuk menolong mereka dengan memintakan hujan. Sedangkan yang terjadi malah sebaliknya. Sikap mereka yang kasar semakin membuatnya semakin kukuh untuk menjalankan perintah yang diterimanya untuk melakukan shalat istisqa’.
Selain Syaikh al-‘Uryabi sebagai guru sufi teladan Ibn Arabi yang memiliki keshalehan spiritual dan sosial, yaitu Syaikh as-Syarafi yang memiliki karamah doa. Melalui karamah doanya, jinten hitam seorang anak fakir yang tidak laku di pasaran menjadi laris dengan harga yang tinggi. Sehingga dari hasil penjualan jinten hitam tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga sang bocah (hlm. 188).
Kenyataan ini yang ditekankan oleh Ibn Arabi dari kisah-kisah perjalanan kesufian dalam buku ini. Semua laku kemanusiaan yang diceritakan tak lain hanya untuk mendapatkan ridha Allah Swt. Bukan untuk mendapatkan pujian dari lisan manusia. Dari kenyataan ini, maka Allah segera mengabulkan doa Syaikh al-‘Uryabi dan Syaikh as-Syarafi. Doa itu terkabulkan seketika itu juga.
Ada sekitar delapan belas tokoh sufi yang dijadikan bahan refleksi diri oleh penulis melalui cerita Ibn Arabi dalam karya ini. Hal tersebut sebagai cermin kesufian yang benar-benar agung dan mulia, baik dari sisi ketuhanan yang hakiki atau kemanusiaan yang universal. Sehingga patut untuk kita teladani dalam menjalani laku kehidupan sehari-hari.
Mereka – para kaum sufi – memberikan uluran kemanusiaan semata-mata karena mereka adalah manusia. Ketika mereka memberikan bantuan, mereka tak pernah menanyakan asal-usulnya. Juga tidak menanyakan agamanya. Apalagi menanyakan kedudukan orang yang dibantu. Bagi kaum sufi, menolong kaum lemah sama bergairahnya dengan menolong kaum terpandang. Menolong orang miskin sama bersemangatnya dengan menolong orang kaya. Menolong orang yang tidak dikenal sama perhatiannya dengan menolong anaknya sendiri. Bentuk uluran tangan yang sedemikian itu, merupakan bukti kemanusiaan yang tak dapat diingkari. Selamat membaca!
Peresensi Junaidi Khab adalah akademisi dan pecinta baca buku asal Sumenep. Lulusan UIN Sunan Ampel Surabaya dan #Kampus Fiksi DIVA Press Yogyakarta 2016