Mengulik Keunggulan Pendidikan Jepang dan Tiongkok

TIONGKOK dan Jepang adalah dua macan Asia yang telah dikenal mumpuni dalam melejitkan daya pertumbuhan ekonomi. Hal itu tentu saja tak bisa lepas dari peran sektor pendidikan. Dengan didukung faktor sejarah dan kultur yang amat mendu­kung, melalui buku ini kita akan diajak untuk mengulik beberapa lang­kah yang telah mereka ambil sehingga pendidikan merupakan sektor yang amat menentukan keberhasilan dalam menyokong sektor-sektor lainnya.

Tiongkok yang menjunjung tinggi filsafat sebagai pandangan hidup, menjadikan pendidikan sebagai penopang utamanya. Keselarasan antara pendidikan dengan filsafat telah memberikan perkembangan yang cukup signifikan terhadap pendidikan. Dalam ajaran Konfusius, pendidikan merupakan sesuatu yang harus dikendalikan oleh manusia. Pendidikan adalah mesin yang mengarahkan dunia pada kebenaran sehingga harus terus dikejar sampai mati. Maka tak heran, jika sejak masa Dinasti Han berkuasa, tahapan ujian demi mendapatkan calon pegawai kerajaan yang berkualitas pun dilaksanakan sebegitu ketatnya. Sebab, pendidikan ini juga mencakup mental dan kejiwaan (hal. 30).

Dalam mengajar, beberapa prinsip diterapkan dengan penuh kesung­guhan oleh para pengajar di sana; kedisiplinan, spesifikasi yang jelas, target yang jelas, serta sistem kompetisi. Metode pembelajaran yang telah digodok, diterapkan sesuai dengan kultur masyarakatnya. Jam belajar yang panjang, pengasramaan peserta didik, frekuensi Pekerjaan Rumah yang tinggi, serta tempat pembelajaran yang variatif, men­do­rong siswa untuk dapat lebih me­nguasai materi, konsep, serta kete­ram­­pilan. Kebijakan unik semacam tidur siang (Wu Jiao) di sekolah bah­kan sudah dibudayakan dan diwajib­kan di beberapa sekolahan, semisal di Gaoxin Number 1 Primary School yang terletak di Xi’an. Tidur siang menjadi hal wajib dan dikategorikan dalam kegiatan sekolah yang didu­kung dengan amat tegas oleh para gurunya demi mening­katkan daya konsentrasi murid-muridnya (hal. 116). Maka tak heran jika dalam ajang-ajang olimpiade matematika, maupun fisika, para siswa mereka sering menjadi langganan juara.

Sejak terjadinya Restorasi Meiji (1866-1869), Jepang pun mulai mem­berikan porsi perhatian yang cukup terhadap pendidikan. Secara gencar, Pemerintah menerbitkan dan mener­jemahkan berbagai buku terbitan asing dan mengirimkan pelajar ke berbagai negara untuk mendalami dan menyem­purnakan berbagai bidang ilmu. Gerak nyata itu juga terekam ketika Jepang mengalami kelum­puhan pasca bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Langkah pertama yang mereka laku­kan adalah memerin­tahkan menteri pendidikan untuk menghi­tung jumlah guru yang masih hidup. Kaisar Hirohito bergerilya dan mendatangi guru-guru yang tersisa guna memberi perintah dan arahan. Hasilnya, hanya dalam tempo 50 tahun peningkatan melek huruf pun mampu mencapai 99,8% pada tahun 1990 dan mening­kat 100% pada tahun 2000 (hal. 34).

Tak jauh beda dengan Tiongkok, berdasarkan sebuah penelitian yang dilakukan Programme for International Student Assesment (PISA 2009), kedisiplinan murid-murid Jepang menempati urutan teratas. Berdasar laporan forum kerja sama ekonomi (OECD), Jepang juga menempati peringkat atas dengan siswa penurut dan tak banyak tingkah saat mengikuti pelajaran. Pendidikan sekolah mereka dirancang untuk kebutuhan industri dengan sistem pembelajaran kontekstual, yakni suatu proses belajar yang dilakukan secara holistik dengan tujuan mem­bangkitkan motivasi murid untuk memahami makna materi pelajaran yang dipelajari (hal. 143). Kom­ponen-komponen utamanya menca­kup; hubungan bermakna antara guru dan murid, belajar diatur sendiri, bekerja sama, berpikir kritis dan kreatif, mengasuh kepribadian siswa, dengan tujuan utama standar penge­tahuan akademik yang tinggi.

Budaya membaca masyarakat Jepang juga dikenal mengagumkan, yang bisa diulik lewat empat budaya khasnya; membaca 10 menit setiap hari di sekolah, membaca di sarana transportasi umum, tachiyomi (mem­baca gratis yang dilakukan di toko buku sambil berdiri), serta sekiguchi (promosi buku yang dilakukan para artis atau pelawak di sebuah acara televisi).

Peresensi: Nur Hadi

()

Baca Juga

Rekomendasi