Oleh: Adelina Savitri Lubis.
KILOMETER 8 Jalan Jamin Ginting Medan, Senin (9/1). Di sebuah rumah kontrakan biasa terlihat satu, dua, tiga, empat..., hampir sepuluh busana terpajang apik menghias rumah kontrakan itu. Lima busana di antaranya membalut tubuh manekin, patung tubuh manusia.
Di belakang manekin itu, tampak beragam tas dan dompet tersusun rapi di rak-rak dalam lemari kaca. Tumpukan uis Karo yang belum diolah terlihat di bagian rak paling bawah. Ragam warna kain tradisional masyarakat etnis Karo ini cukup menggoda. Mengintip ke belakang, tampak dua mesin jahit. Penuh jarum, dan beragam warna benang.
Di rumah kontrakannya inilah Averiana Barus berproses. Perancang busana yang fokus pada kain tenun tradisional ini mencoba mengantarkan uis Karo dalam balutan aksesoris dan busana.
Namun, bukan itu yang utama. Terpenting ialah bagaimana aksesoris dan busana karyanya bisa menjadi identitas, melekat di setiap anggota tubuh. Tidak lagi dipandang sekadar unik tapi menjadi biasa karena dipakai dalam pelbagai momentum, sehingga secara tidak langsung, duta-duta busana muncul di mana-mana.
Sebagai perempuan Karo, dia bermimpi uis tak cuma terlihat saat momentum resmi. Dia mengimpikan uis menjelma sebagai busana santai sekaligus modern. Bahkan, bisa menjadi kain tradisional yang menguatkan identitas dan kekayaan bangsa ini.
Saat ditemui Analisa, Senin (9/1), perempuan berambut panjang ini sedang melakukan uji pas (fitting) sebuah gaun panjang tanpa lengan. Tubuh manekin yang ideal itu terlihat cantik dibalut gaun itu. Jarum-jarum pentul itu dia kepitkan di gaun tersebut. Rupanya, bentuknya belum pas dengan sang empunya gaun. Belasan jarum pentul tadi telah pindah mengepit gaun itu. “Nah, ini baru pas,” katanya spontan tersenyum.
Uis Karo telah hadir sejak dulu, namun tak pernah muncul di mana-mana. Sudah banyak pameran yang diikutnya, apakah berbasis usaha kecil dan menengah (UKM) atau parade panggung bertajuk peragaan busana.
Sebagai perempuan Karo, hal itu memunculkan pertanyaan dalam dirinya. Padahal, saat menjadi mahasiswa di Bandung, Jawa Barat, Averiana justru kerap menciptakan sendiri produk-produk khusus untuk dirinya sendiri, mulai dari aksesoris hingga syal. Semuanya berbahan uis Karo. Pujian dan permintaan justru datang dari rekan-rekannya sesama mahasiswa. Dia pun rajin memenuhi permintaan itu.
“Ini ‘kan aneh. Masa orang-orang di luar Sumut malah mengapresiasi uis. Sedangkan di ibukota Sumut, uis malah tak muncul, kecuali pada pesta-pesta adat Karo,” ungkapnya.
Uis nan unik
Dia tak ingin mengklaim diri sebagai duta busana uis Karo. Namun, sebagaimana di Bandung, Averiana sekarang melakoni hal serupa. Dia mencipta karya untuk dirinya. Saat didaulat sebagai moderator sebuah acara diskusi di sebuah perguruan tinggi, dia menghias busana yang dipakai dengan syal uis Karo. Dia menerima banyak tanggapan atas penampilannya tersebut.
“Mereka mengatakannya unik, cantik, lain dari yang biasanya. Bagi saya ini pun agak lucu. Pasalnya, uis Karo ‘kan bukanlah barang baru. Sudah ada sejak dulu. Hanya saja mereka tak terpikir bahwa uis bisa dijadikan busana lain di samping aksesoris adat,” ungkapnya.
Mengawali ikhtiarnya mendekatkan uis ke publik, dia ‘memaksa’ teman-temannya menjadi duta uis Karo. Caranya dengan membeli produk-produk karyanya.
Diakuinya, baru setahun terakhir dia berkecimpung dalam karya busana. Tiga tahun terakhir, bungsu dari empat bersaudara ini berkreasi dalam karya aksesoris berupa gelang, kalung, tas dan dompet. Ternyata karya bernuansa uis Karo tersebut cukup diminati. Beberapa butik turut memesan kepadanya secara berkala.
Tekstur kain uis Karo lebih halus dibandingkan kain tradisional sejenis. Warna khas yang digunakan dalam uis Karo pun cukup elegan, yakni merah dan hitam. Saat memproduksi karya, mula-mula dia membuat untuk dirinya. Busana bernuansa uis Karo itu pun lalu mendapat pujian.
“Itulah awal mulanya. Beberapa teman kemudian meminta untuk dibuatkan gaun berbahan uis Karo. Ketika ini muncul di publik dan orang berminat, saya jadi semangat,” tuturnya.
Modal awalnya adalah mesin jahit bekas seharga Rp900 ribu. Setahun lalu, dia hanya mendesain busana atau gaun sesuai permintaan yang datang.
Namun, mengawali 2017 dia akan mulai memproduksi busana-busana sesuai dengan selera pasar. Pendekatan ini justru menjadi klaim baginya jika dibandingkan dengan perancang busana lainnya. Umumnya, perancang busana yang menggunakan kain tradisional lebih kepada mencipta karya yang fenomenal dan glamour.
Namun, dalam penilaiannya, tindakan seperti itu justru berpotensi mengubur kain tradisional itu sendiri, sehingga akhirnya malah tak bisa dinikmati konsumen yang yang mendamba kain tradisional sebagai identitas sekaligus kekayaan lokal untuk jati diri nasional.
Sekadar ‘dipinjam’
Mengenai peran pemerintah, paling tidak terhadap gagasannya untuk mendorong pemakaian uis Karo sebagai busana dalam berbagai kesempatan dan tempat, Averiana mengaku pesimis.
Diungkapkannya, bukan sekali dua kali uis Karo yang diproduksinya ikut serta dalam pameran-pameran yang merupakan program pemerintah. Tapi, mereka hanya sebatas ‘meminjam’.
Demikian juga dengan badan usaha milik negara (BUMN) yang kerap merangkul pelaku UKM sebagai binaan usahanya. Mereka juga tak lebih sekadar ‘memakai’ produk-produknya.
Paling tidak dia berharap. Tatkala masyarakat berbuat, sejatinya pemerintah yang diyakini sebagai induknya masyarakat bisa mendukung apa yang telah digagas oleh masyarakat tadi.
“Kalau sekadar memamerkannya, gaun itu ‘kan mati di tempat. Hanya satu dua yang tertarik, dan akhirnya terlupakan begitu saja,” kesahnya.
Namun, meski tanpa dukungan seperti diharapkan, uis Karo terus menjelajah berbagai wilayah dalam diam. Secara pribadi dia telah membuktikan uis Karo telah diterima di luar Indonesia, seperti Belanda, Jepang, dan Qatar.
Sisi lain tantangan yang dihadapinya sekarang bukanlah soal agar impiannya supaya uis Karo tak lagi sekadar busana adat. Masalahnya adalah mahalnya bahan baku pembuatan uis.
Misalnya, uis Karo bukan diproduksi dengan menggunakan mesin. Uis Karo adalah hasil buatan tangan dengan upah pekerja yang sudah pasti mahal. Benang yang digunakan juga berkualitas tinggi. Ini juga menjadikan tekstur jahitan kain uis Karo lebih halus.
“Perempuan Karo sangat mencintai uis. Setiap perempuan bisa punya selendang uis Karo hingga belasan helai. Rata-rata mereka menyesuaikan selendang dengan warna bajunya,” tuntasnya.
Mungkinkah nanti kita juga akan mencintai uis sebagaimana perempuan Karo? Atau, seperti yang membuatAveriana masygul: kita sekadar “meminjam”-nya?