Oleh: Barlian Erliadi.
BENTUKNYA dianggap cukup khas. Dibangun dari mobil bak terbuka ukuran kecil ditambah kabin di belakangnya. Beroperasi di kota Banda Aceh dan kota kecil lain di Aceh. Labi-labi, begitu masyarakat lokal menamai angkutan kota (Angkot) yang selama ini melayani kota itu. Kini, eksistensinya terancam lenyap, ditelan perubahan moda transportasi dan dinamika masyarakat ibukota "Tanah Rencong".
Minggu (8/1) siang, terminal labi-labi di Keudah, Banda Aceh, tampak sepi. Tiga unit labi-labi yang terparkir di terminal, tampak kosong. Sambil menunggu penumpang, sejumlah sopir duduk bersenda-gurau di kursi taman terminal.
Mereka menuturkan beragam persoalan yang dihadapi, sampai akhirnya satu per satu dari mereka memutuskan berhenti sebagai sopir labi-labi. Penyebab utama keputusan mereka adalah makin sepinya penumpang labi-labi dalam lima tahun terakhir.
Labi-labi yang bersejarah itupun berangsur hilang dari pemandangan di Banda Aceh. Hiruk-pikuk klaksonnya yang pernah jaya, sudah jarang terdengar. Belum ada upaya mempertahankan keberadaannya yang dianggap menjadi ciri khas Banda Aceh itu.
Perlahan, Terminal Keudah didekap kesunyian. Hanya papan-papan trayek yang masih terpatri di gerbang. Tidak semua labi-labi terparkir di jalur trayek masing-masing, karena ada trayek yang sudah tidak ada lagi yang melayaninya.
Terminal khusus labi-labi yang dibangun enam bulan menjelang gempa dan tsunami Aceh 2004 ini seakan tinggal kenangan. Tak terlihat adanya perawatan sejumlah fasilitas di terminal. Misalnya, bangku taman di sisi trotoar dalam terminal, kini mulai keropos.
Tinggal 100-an unit
Labi-labi yang terparkir berjam-jam di terminal, tidak juga sarat penumpang. Bahkan, ada yang tetap kosong, tanpa penumpang, saat keluar dari terminal.
Dahulu, labi-labi membanjiri terminal ini. Sekarang, cuma tinggal hitungan jari. Tidak sedikit dari labi-labi yang tersisa itu berjuang mencari calon penumpang di sudut-sudut kota Banda Aceh, karena di terminal tidak ada yang datang.
Bahkan, sebagian kini sudah disulap menjadi kios bergerak yang menjual aneka minuman dan makanan ringan di titik-titik keramaian. Ada juga yang kembali dijadikan mobil bak terbuka atau pikap.
Saat ini jumlah total jumlah labi-labi di Banda Aceh untuk semua trayek diperkirakan cuma tinggal 100-an unit. Jumlah itu jauh menurun dibandingkan sembilan tahun lalu yang sempat mencapai 1.500 unit untuk semua rute.
Pascatsunami
Sopir labi-labi trayek Ulee Kareng-Pasar Aceh, Abdul Manaf (51), menyebutkan, tsunami Aceh 2004 menjadi awal perubahan nasib labi-labi di Banda Aceh.
Sebenarnya, sampai tiga tahun setelah tsunami, jumlah penumpang masih lumayan banyak. “Tapi, sejak awal 2008, jumlah penumpang mulai turun drastis. Kalau sebelum tsunami, jumlah labi-labi yang melayani trayek ke Ulee Kareng mencapai 100 unit, setelah 2008 hanya tinggal 10 unit,” ceritanya.
Pascatsunami, ekonomi masyarakat mulai membaik dan mudah mendapat kredit kendaraan. “Sebelum tsunami, Aceh masih dalam konflik, sehingga tidak ada kredit kendaraan bermotor. Jadi, masyarakat banyak memanfaatkan jasa labi-labi,” katanya.
Setelah kian mudah dan banyaknya lembaga keuangan yang memberikan kredit sepeda motor maupun mobil di Aceh, labi-labi mulai ditinggalkan. “Saya merasakannya sendiri,” tambahnya.
Kesulitan mendapatkan penumpang, sambungnya, semakin dirasakan sopir labi-labi sejak beroperasinya bus Trans Kutaraja yang gratis. Dampaknya sangat signifikan terhadap penghasilan mereka. Sementara, ongkos labi-labi bervariasi, mulai dari Rp5 ribu/orang untuk trayek terdekat sampai Rp15 ribu/orang untuk trayek terjauh, seperti Krueng Raya maupun Seulimeum.
“Sekarang penghasilan paling banyak Rp80 ribu/hari. Kadang kurang. Karena ini labi-labi milik saya sendiri, penghasilan itu sudah cukuplah. Tapi, kalau membawa mobil orang lain, tidak cukup,” ujarnya yang mengaku dulu bisa mendapat Rp150 ribu/hari.
Minimnya penumpang, juga berdampak pada berkurangnya trayek yang dilayani labi-labi dari dan ke Pasar Atjeh. Sebelum tsunami, labi-labi melayani pergi-pulang trayek Pasar Atjeh dan sejumlah wilayah di Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar, antara lain, Lhoknga, Keutapang, Sibreh, Seulimeum, Indrapuri, Samahani, Krueng Raya, Krueng Cut, Darussalam, Lampeuneurut, dan Ulee Lheu. Sekarang, beberapa rute sudah hilang, misalnya Pasar Atjeh-Lampeuneurut.
Pukulan ekonomi
Kesulitan para sopir labi-labi itu berpengaruh terhadap ekonomi keluarga mereka. Jangankan memenuhi kebutuhan semua anggota keluarga, untuk kebutuhan anak saja tidak cukup.
“Narik labi-labi setelah tsunami cukup pahit. Penghasilan saya cukup untuk membeli susu anak saya, tapi tidak cukup untuk belanja semua anggota keluarga. Jadi, sebelum narik, saya kerja di tempat lain dulu. Baru kalau dapat rezeki saya pakai untuk narik,” kata sopir labi-labi trayek Pasar Atjeh-Krueng Raya, Yudi (38).
Trayek yang ditempuh Yudi terbilang jauh, yakni Pasar Atjeh-Krueng Raya. Mencapai 32 kilometer. Dalam sehari dia cuma bisa berjalan dua rit/trip. Tetapi, beberapa tahun terakhir ini, lebih sering hanya satu trip.
“Kalau dulu dua trip, bisalah dapat untung. Sekarang turun sekali. Kalau ada penumpang, paling banyak mendapat Rp50 ribu/hari. Labi-labi saya pernah kosong, tanpa penumpang. Akhirnya saya rugi,” ujarnya.
Atas realitas getir yang dihadapi, Abdul Manaf yang sudah 30 tahun lebih menjadi sopir labi-labi pun berencana beralih pekerjaan demi memenuhi kebutuhan keluarganya karena penghasilan sebagai sopir labi-labi tak bisa diandalkan lagi. Malah, banyak rekannya lebih dulu beralih pekerjaan menjadi nelayan, pedagang dan lainnya.
Labi-labi pernah menjadi angkutan umum utama di Banda Aceh. Bunyi klaksonnya saling bersahutan sejak subuh hingga sore. Sekarang, hiruk-pikuk itu tak bergema lagi. Hanya terdengar sesekali di sejumlah sudut kota. Seolah isyarat bahwa eksistensinya di ibukota “Serambi Mekkah” memang segera berakhir.