Zaid Bin Tsabit: Refleksi Pemuda Islam Paripurna

Oleh: Muhammad Hisyamsyah Dani

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya mening­galkan di belakang mereka anak-anak (generasi muda) yang lemah yang mere­ka khawatir terhadap (kesejahte­raan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mere­ka bertaqwa kepada Allah, dan hendak­lah mereka bertutur kata yang benar”

(Qs. aN-Nisa’ : 9)

TIAP kali kuhadapi masalah masalah besar, yang kupanggil adalah anak muda (Umar Bin Khattab RA, Khalifah ke-2). Pemuda adalah aset bangsa yang tak ternilai harganya, ditangan pemudalah bangsa ini dipertaruhkan. Bila kita ingin melihat kemajuan suatu bangsa maka lihatlah pemudanya. Masa muda merupakan masa yang dipenuhi dengan segmentasi dan persoalan baik mental maupun emosional. Setiap alur hidup perjalanan umat manusia pastilah merasakan dan mencicipi indahnya masa masa muda. Dan sejatinya pemuda merupakan sosok energik, inspiratif, dan penuh dengan kewibawaan bila dengan tepat dan cermat melakoni alur hidup di masa-masa muda.

Barangkali kita pernah mendengar kisah kisah penuh hikmah dan ibrah yang luar biasa dari anak anak muda Islam masa Rasulullah Saw. Banyak menorehkan prestasi mulai dari penghafal Al-Qur’an hingga panglima di medan perang bahkan hingga menjadi sosok yang paling dinanti kala itu. Di bawah ini terdapat satu cuplikan kisah dari seorang anak muda yang hidup di zaman Rasulullah Saw, mengandungi hikmah yang mendalam dan cerminan bagi pemuda masa kini.

Menjelang keberangkatan Rasulullah dan para sahabatnya ke medan perang Badar, datanglah seorang remaja menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Usianya masih 13 ta­hun. Ia datang dengan membawa sebilah pedang yang panjangnya melebihi panjang badannya. Setelah dekat kepada beliau dia berkata, “Saya bersedia mati untuk Anda, wahai Rasulullah! Izinkanlah saya pergi jihad bersama Anda, memerangi musuh-musuh Allah di bawah panji-panji Anda.”

Rasulullah gembira dengan dan takjub dengan remaja itu. Tetapi, beliau tidak mengizinkannya untuk berperang karena usianya yang masih sangat muda. Remaja itu pun kembali, dengan kesedihan yang mendalam, niatnya untuk memperjuangkan Islam belum bisa dilaksanakan. Sementara itu, ibunya yang dari tadi melihat dari kejauhan, tidak kalah sedihnya. Sebab, putranya belum mendapat kesempatan membela Islam.

Tapi mereka tidak menyerah. Cita-cita remaja itu tidak melemah, bahkan semakin kuat. Demikian pula ibunya menginginkan. Karenanya, si ibu menghubungi kerabat-kerabatnya untuk menyampaikan tekad anaknya; berkontribusi untuk Islam dalam bidang lain yang lebih besar peluangnya untuk diterima. Mereka pun menghadap Rasulullah.

“Wahai Rasulullah! Ini anak kami. Dia hafal tujuh belas surat dari kitab Al-Qur’an. Bacaannya betul, sesuai dengan yang diturunkan Allah kepada Anda. Di samping itu dia pandai pula baca tulis Arab. Tulisannya indah dan bacaannya lancar. Dia ingin berbakti kepada Anda dengan keterampilan yang ada padanya, dan ingin pula mendampingi Anda selalu. Jika Anda menghendaki, silakan mendengarkan bacaannya.” Pinta salah seorang pamannya.

Selepas Rasulullah mendengar bacaannya, beliaupun menyuruh remaja itu untuk mempelajari bahasa Ibrani. Dalam waktu singkat ia berhasil, dan diangkat sebagai sekretaris Rasulullah ketika berinteraksi dengan orang-orang Yahudi. Remaja itulah yang membacakan surat Yahudi dan menuliskan surat Rasulullah untuk mereka. Rasulullah kemudian menyuruhnya untuk belajar bahasa Suryani. Dalam waktu singkat ia berhasil, dan tugasnya bertambah. Ia pula yang menjadi sekretaris saat Rasulullah berinteraksi dengan orang-orang berbahasa Suryani.

Setelah Rasulullah benar-benar yakin dengan kompetensi dan syakhsiyah Islamiyah-nya, remaja itu pun diangkat menjadi sekretaris wahyu. Setiap kali ayat Al-Qur’an turun, ia segera dipanggil Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menulisnya dan meletakkannya dengan urutan sebagaimana yang diperintahkan Rasulullah. Remaja itu bernama Zaid bin Tsabit. (Kisah ini diambil seperlunya dari situs wahdahmakassar.org)

Sungguh demikian gigihnya perjuangan anak muda bernama Zaid bin Tsabit, memulai karir sejak belia dengan awal mengacungkan diri kepada Rasulullah Saw sebagai anak muda yang siap berkorban di medan perang, namun kala itu Rasulullah Saw masih menunggu hingga dia matang dan cukup umur. Bergetar membaca sekelumit kisah di atas, perjuangan orang tua yang menyemangati dan senantiasa meneguhkan hati Rasulullah Saw untuk memilihnya sebagai salah satu pemuda yang diizinkan ikut serta bersama Rasul di medan perang. Pada akhirnya Zaid bin Tsabit di daulat menjadi sekretaris wahyu Rasul.

Saat muda merupakan waktu yang memungkinkan kita untuk banyak berbuat. Pada saat muda itulah kita masih memiliki semangat yang membara, energi masih cukup dan stamina tubuh yang masih fit. Berbeda dengan ketika sudah tua. Contohnya orang-orang yang sudah tua yang ada di sekitar kita, mereka sudah tak mampu lagi untuk berbuat ekstra, layaknya ketika mereka masih muda. Jadi, sepertinya tidak pantas jika pemuda bermalas-malasan dalam menjalani hidup, apalagi dalam berbuat sesuatu yang bermanfaat untuk agama, bangsa dan dirinya sendiri.Di waktu muda adalah waktu yang tepat untuk mencari ilmu, ibarat sebuah pohon akan mudah diluruskan ketika masih muda. Apabila mau meluruskan ketika sudah tua, sudah barang tentu akan patah (dikarenakan susah untuk diluruskan). Begitu pula dengan manusia, apabila belajar ketika sudah memasuki usia tua, maka akan sulit untuk menerima apa yang dipelajari tersebut.

Seperti itulah ungkapan bahwa usia muda harus diisi dengan kegiatan-kegiatan dengan produktif yang penuh manfaat karena ketika kita sudah tua tidak ada jaminan kita bisa sehebat pada saat muda.Kemudian kadang kita bertanya-tanya, bagaimana pemuda Islam harus memainkan peran?

Pertama, sebagai pemuda apalagi pemuda Islam, kita memainkan peran pada diri sendiri terlebih dahulu. Sudah banyak orang yang ingin mengubah dunia, namun kadang lupa untuk mengubah dirinya sendiri menjadi lebih baik. Setiap dari kita memiliki peran dalam memperbaiki akhlak diri kita sendiri dan menularkannya kepada orang-orang yang di sekitarnya. Firman Allah dalam Surah Ar-Ra’du ayat 11 yang artinya : Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib satu kaum, sebelum kaum itu yang merubahnya sendiri. Jelas bahwa perubahan mendasar adalah perubahan awal dari kita sendiri, sebab mulai dari diri sendiri (Ibda’ Binafsi ) adalah hal yang harus dilakukan sebelum memulai kepada lingkungan.

Memiliki akhlak yang baik bisa didapatkan lewat pergaulan. Pepatah mengatakan, “kamu adalah siapa yang menjadi kawanmu”. Artinya teman memiliki andil dalam membentuk akhlak. Ibarat orang yang bergaul dengan penjual minyak wangi maka kita akan ikut wangi. Maka banyak-banyaklah bergaul dengan orang-orang shaleh.­Namun, bukan berarti tidak boleh berteman dengan semua orang. Bukan berarti harus diskriminatif. Bergaullah dengan siapa saja, berbaurlah, asal jangan melebur. Bahkan itu merupakan ladang dakwah kita sebagai pemuda Islam.

Kedua, sebagai pemuda apalagi pemuda Islam, lebih-lebih mahasiswa Islam, kita memainkan peran di antara teman-teman kita di kampus. Bukan berarti kita menggurui teman-teman mahasiswa lain, namun saling mengajak pada kebaikan.Mengajak pada kebaikan, itulah dakwah. Senyum itu dakwah. Bukankah dakwah itu mudah? Membuang sampah pada tempatnya juga dakwah. Bukankah dakwah itu mudah? Tidak mencontek saat ujian yang memang dilarang membuka buku termasuk dakwah. Bukankah dakwah itu mudah? Mengajak shalat termasuk dakwah. Bukankah dakwah itu mudah? Menghormati dan sopan terhadap dosen juga dakwah. Bukankah dakwah itu mudah?

Ketiga, sebagai pemuda apalagi pemuda Islam, diharapkan menjadi penggerak atau motor dalam kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan di dalam kehidupan bermasyarakat. Tidak lucu, jika pemuda Islam apatis terhadap kegiatan-kegiatan yang ada di dalam masyarakat.

Keempat, peran kita terhadap Islam. Sebagai pemuda Islam, kita memiliki tanggung jawab yang lebih terhadap upaya eksistensi Islam di muka bumi. Karena seperti disebutkan di atas, pemuda memiliki semangat, energi dan stamina yang masih full dibandingkan dengan generasi sebelum kita. Islam bukan hanya tanggung jawab Ustad dan Ulama saja, pemuda Islam memiliki peran dan tanggung jawab yang sama sesuai kapasitasnya masing-masing dalam membela Islam. Setiap pemuda Islam memiliki peran dalam upaya penegakkan dakwah dan syariat Islam. Semoga ada manfaatnya. Wallahu ‘Alam.

Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sumatera Utara dan Kru LPM Dinamika UIN SU Medan.

()

Baca Juga

Rekomendasi