Belajar Kearifan dari Songket Deli

Oleh: J Anto. Puluhan songket dengan warna-warni mencolok tertata di lemari display. Beberapa tersampir di rak kayu ukiran hitam. Dinding ruang galeri yang dicat merah jambu makin menambah mencorong gelaran songket di Galeri Songket Deli itu. Tidak kurang dari 20 jenis tumbuhan terpilih menjadi motif songket yang ditenun langsung di bagian lain ruangan galeri itu.

Jika Songket Deli dulu hanya memiliki pakem warna kuning, merah dan hijau, kini warna-warni dan corak tenunan pun makin variatif. Ada hitam, ungu, biru tua, merah jambu, kuning telur, hijau nggur, biru muda, abu-abu dsb. Corak songket pun tak lagi didominasi pucuk rebung, tampuk manggis, bunga kekwa atau tembakau Deli.

Tapi songket Deli kontemporer itu kini juga ada yang bercorak rumput raja, limau sekupang, lembayung raja, si mata burung, bunga melur (melati) bahkan sampai buah durian.

“Kita harus mengikuti selera atau tuntutan pasar agar songket Deli makin memasyarakat,” ujar Tengku Syarfina,  penganggas sekaligus pemilik galeri Songket Deli. Galeri ini bernaung di bawah Yayasan Khazanah Warisan Melayu Deli yang didirikan pada April 2014. Bertindak sebagai desainer Tengku Muhammad Dicky, dan Tengku Irfania Ramadhani, yang kedua ini puteri Tengku Syarfina sendiri. 

Puluhan penenun bergabung dengan galeri ini. Mereka telah mendapat pelatihan dari penenun songket yang  didatangkan dari Batubara. Para penenun ini akan dipanggil menenun sesuai order yang datang ke galeri. 

Sebagai salah seorang keturunan bangsawan Melayu, Tengku Syarfina mengaku prihatin saat menyadari bahwa beragam warisan budaya Melayu ditengarai makin lama makin hilang dari ingatan publik. Tak terkecuali di kalangan anak-anak muda Melayu sendiri. Songket Deli, tekat (sulaman sarung bantal) dan berbagai kuliner khas Melayu makin terpojok digempur arus industri fesyen dan kuliner yang dibawa perusahaan multinasional.

Setali tiga uang yang dirasakan Tengku Muhmmad Dicky. Sekalipun muda usia, sudah lama minatnya tertambat pada berbagai budaya materi bangsanya. Di rumahnya, ia menyimpan puluhan koleksi songket klasik yang diwariskan neneknya. Songket-songket itu masih terpelihara baik, walau usia songket itu sudah ada yang mencapai seratus tahun. Songket-songket itu pula yang membuatnya tergabung dalam Wastra Indonesia. Ini sebuah perkumpulan eksklusif dari para pemerhati dan pelestari kain-kain nusantara.

Rasa tertariknya terhadap songket Deli makin tergelitik saat tahun 2010 ia berjumpa Tengku Ismail Ismail Tengku Su. Tengku Ismail adalah keturunan Sultan Terengganu, salah satu Negara bagian di Malaysia. Ia popular disebut Prince of Songket atau Putera Songket Malaysia karena jasanya dalam mengembangkan songket Terengganu. 

Saat berjumpa dengan Tengku Ismail, Muhammad Dicky curhat tentang songket Deli yang telah “punah” di Medan. 

“Kalau hilang, buat lagi, itu tidak susah, baca sejarah dan cari kekayaan motif yang ada. Kebudayaan Melayu itu kekayaan kita, harus kita jaga agar bisa diceritakan kepada anak cucu kita.”

Begitulah kurang lebih petuah yang masih diingat Muhammad Dicky. Tengku Ismail sendiri menurut Muhammad Dicky meninggal tahun 2011 saat tengah memberikan ceramah tentang songket di Asia Tenggara di London. 

Pesan Tengku  Ismail mendorong Muhammad Dicky untuk lebih “rajin” lagi membaca sejarah songket Deli.

Saat memulai kiprahnya bersama Tengku Syarfina di Yayasan Khasanah Warisan Melayu Deli, Muhammad Dicky dan Tengku Syarfina untuk pertama kali membuat songket Deli dengan motif daun tembakau Deli yang mashur itu. 

Tembakau Deli memang jadi ikon tanah Deli, karena jasanya menyumbang  pembangunan sejumlah infrastruktur ekonomi Kota Medan, termasuk pembangunan Istana Deli yang megah itu. Tidak heran jika daun tmbakau Deli pun dijadikan logo Kota Medan. 

Songket dan tajuk yang dikenakan para Sultan Deli pun banyak menggunakan motif daun tembakau Deli. 

Persoalan muncul setelah motif berhasil dilukis. Di Medan tak ada lagi penenun songket. Akhirnya berdua mereka berangkat ke Batubara. Di  Sumatera Utara, inilah salah satu sentra songket yang masih berpendar sampai sekarang.

Setelah beberapa hari dikerjakan, jadilah songket dengan motif batik tembakau Deli itu. Penenun yang menyongket itu pun dikontrak untuk memberikan pelatihan kepada 30 calon penenun di yang dikoordinir Yayasan Khazanah Warisan Melayu Deli. Pada 19 Desember atau delapan bulan setelah berdiri, revitalisasi songket Deli akhirnya mulai memerlihatkan buahnya. 

“Untuk pertama kalinya kami dapat menghasilkan Songket Deli yang lalu kami pertunjukan ke Tengku Ery dan mendapat sambutan positif. Beliau bahkan mengingatkan agar kami jangan angin-anginan,” tutur Tengku Syarfina. Maksudnya tentu bukan sekali produksi untuk selamanya. 

Gayung bersambut menyahuti harapan tersebut. Saat ini sudah ratusan songket Deli berhasil diproduksi dengan beragam warna dan corak. Dari corak klasik sampai mo-dern. Peminatnya selain dari Medan, kebanyakan justru berasal dari Jakarta yang datang ke pameran-pameran fashion yang pernah diikuti. Per bulan, omzet penjualan songket deli di galerinya ditaksir berkisar antara Rp 50 – 60 juta.  

“Kelemahan songket adalah harganya yang cukup mahal karena bahan dasarnya juga mahal dan waktu pembuatannya yang cukup lama. Kami akan terus melakukan berbagai kreasi agar songket Deli makin terjangkau harganya dan memasyarakat,” tutur Tengku Syarfina. 

Salah satu siasat yang dilakukan adalah dengan menggunakan benang warna atau katun. Benang emas dan ulat sutra hanya diproduksi jika ada permintaan penggemar songket. Proses menunun juga akan dilengkapi dengan mesin tenun.  

Motif songket juga bisa dipesan oleh pemesan. Selama ini motif Songket Deli digali berdasar pembacaan terhadap khasanah sejarah Melayu, dan berdasarkan motif klasik yang diperoleh dari literatur dan koleksi songket warisan leluhur yang mereka miliki. 

Jangan dikira motif Songket Deli tak punya filofosi dan makna sendiri. Motif pucuk rebung yang hampir ada dalam setiap motif songket deli menurut Tengku Muhammad Dicky dipercaya sebagai simbol  kekuatan batiniah dan melambangkan alam semesta dalam klasifikasi bentuk segitiga yang dibagi dalam empat kelas dari bawah hingga ke puncak titik segitiga.

“Kelas pertama di bawah adalah alam nyata, kelas kedua adalah “alam mithal atau gaib”, kelas ketiga “alam arwah” dan titik terpuncak segitiga adalah “Zat Ilahi,” jelas Tengku Muhammad Dicky yang sejak 2013 juga memiliki “House of Tengku Dicky” yang  bergerak di bidang jasa sewa-menyewa pakaian dan perhiasan pengantin adat Melayu dan tempahan kulok  (topi adat Melayu) dan kuliner Melayu. 

Ada juga tafsir bahwa pucuk rebung itu, demikian menurut Tengku Syarfina  simbol untuk kesuburan dan murah rezeki. Yang jelas, pilihan motif itu tak lepas dari niatan mulia dibaliknya.

Yang paling mudah menurut Tengku Syarfina adalah untuk mengingatkan masyarakat akan berbagai jenis tumbuhan Melayu atau sesuatu yang berkaitan degan kejayaan Melayu: misalnya motif jeruk limau sekupang (buah jeruk limau dibalah dua), lada semayang, komoditas utama Deli yang dulu diekspor ke China, ulam raja, daun-daunan yang menjadi lalapan raja atau hidangan di istana, bunga kekhwa simbol persilangan budaya dengan kebudayaan China dan bunga kehidupan, sebuah motif songket dimana di tengah ada bunga besar dan disekitarnya ada burung dan manusia, simbol bahwa pohon merupakan salah satu penopang kehidupan. 

  Begitulah, Songket Deli memang bukan sekadar selembar kain. Dari Songket Deli masyarakat bisa belajar kearifan sebuah peradaban. Sebuah cermin tempat kita berkaca sebelum melanjutkan tenun peradaban yang tengah dihidupi.

()

Baca Juga

Rekomendasi