Randu

Oleh: Kusprihyanto Namma. Mula-mula aku tidak me­ngerti, kenapa orang-orang kampung mulai gemar lagi du­duk bergerombol. Di prapatan,  pos ronda,  lincak, buk dan wa­rung-warung wedang. Sejak ke­datangan Kyai Jafar,  kebiasaan bergerombol seperti itu lambat la­un menghilang.  Mereka mulai mau mengisi langgar, tempat Kyai Jafar memberi pengajian. Me­reka jadi enggan duduk ber­gerombol yang ujung-ujungnya membicarakan dapur orang lain.

“Itu ghibah!” terang Kyai.

“Bicara tentang yang baik-baik saja tak baik. Apalagi ten­tang hal-hal jelek. Bisa-bisa jadi fitnah. Kalau tak sanggup bicara yang bermanfaat lebih baik di­am. Itu perilaku orang-orang zuhud!”

Kalau yang menyampaikan kata-kata itu orang pemerintah­an (kepala desa, pak camat atau bupati) tak seorang pun dari kami mempercayainya. Sebab, seperti diketahui sendiri, para pejabat itu lain di mulut lain di hati. Bicaranya baik-baik, penuh suasana agamis. Harta negara yang mestinya diperuntukkan kesejahteraan rakyat diembat­nya sendiri.

Lain dengan Kyai Jafar, dia be­nar-benar pribadi unggul. Ha­nya bicara dalam pengajian dan saat menjawab orang-orang bertanya soal fiqih. Selebihnya, diam. Beliau berilmu padi. Se­makin berisi makin menunduk ke bumi.  Tingkah lakunya pun sopan. Bisa menghargai kawula muda dan kaum tua. Hukum-hukum lama tak begitu saja di­labrak dan dihabisinya. Dengan pelan-pelan dia masuki. Dia lu­ruskan hakikatnya.

Kenapa kini orang-orang kam­pung sepertinya mau kem­bali pada kebiasaan lama. Du­duk bergerombol? Ada orang yang  mbandari ndem-ndeman. Sepakat bukak kertu. Nonton ndangdut di desa sebelah. Untuk mencari  jawaban, akhirnya aku juga ikut duduk bergerombol ber­sama mereka. Tentu saja, ka­dang nyuit-nyuiti gadis yang lewat. Peduli amat pada lakinya yang melotot. Kita toh di kam­pung sendiri.

“Randu itu jadi ditebang?” selidik Mitro.

“Aku sudah mengingatkan Mbok Jiyem, tapi dia tetap saja nekat!” jawab Kiyun.

“Waah, bilahi!” sungut si Mitro.

Gak usah kuatir. Gak-gak ka­lau jadi!” Min mencoba me­ne­nangkan keadaan. “Sudah li­ma kali ini randu itu katanya mau ditebang. Begitu melihat betapa wingitnya randu itu, orang yang mau menebang mundur sendi­ri!”

“Ya, aku juga cocok dengan­mu. Tak usah terlalu cemas. Ti­dak akan ada orang yang berani nebang randu itu!” sela Jeprik.

“Apa kalian ndak ingat, ran­du Lik Karto yang ditebang lima tahun lalu. Lik Karto selaku pen­jual, mati mendadak. Matanya mendelik. Mukanya hitam. Lalu yang menebang juga mati kece­lakaan!”

Orang-orang hadir kem­bali mengingat-ingat kejadian yang telah silam. Memang apa yang di­katakan Jeprik pernah terjadi di kampungku. Sejak itu, tak se­orang pun berani menebang po­hon randunya.

Konon setiap pohon randu di­huni gondoruwo. Bangsa jin yang mirip-mirip gorilla. Tinggi besar. Rambutnya panjang, acak-acak­an. Baunya seperti ketela bakar. Suka menggoda. Terlebih pada wanita-wanita yang sering di­ting­gal sendirian oleh suaminya. Biasanya si gondoruwo menjel­ma suami si wanita. Minta jatah biologis. Setelah si suami asli da­tang, barulah si wanita menya­da­ri, dirinya ditiduri gondoruwo. Untung kalau hubungan itu tidak berbuah. Kalau sampai berbuah, lahirlah anak yang setengah ma­nusia setengah jin.

Pernah aku mencari tahu, siapa si wanita itu. Jawaban yang keluar, itu cerita turun-te­murun yang mesti dipercaya. Se­bab kejadiannya sudah sangat lama. Bahkan kakek-buyut saja tidak bisa menyebut secara pasti. Kejadian itu pernah terjadi. Itu­lah budaya orang kampung, mem­percayai hal-hal yang tak pasti. Terutama yang berhubu­ng­an dengan klenik.

“Berapa sih mBok Jiyem min­ta bayar? Biar aku belinya sen­diri. Randu itu gak usah di­tebang!” kata Mukiran.

“Aku juga punya pikiran se­perti itu. Mbok Jiyem tetap me­maksa randu itu ditebang. Walau tidak dibayar sama sekali!”

“Seharusnya dia jangan me­mi­kirkan dirinya sendiri. Mbok Jiyem harus memikirkan kese­lamatan kampung!”

“Masak cuma takut genting­nya kejatuhan buah randu lalu po­hon randunya yang ditebang. Itu kan keterlaluan!”

“Bagaimana kalau kita demo saja ke rumah Mbok Jiyem!” ce­letuk Bagong.

Kami yang sedang berge­rom­bol; terdiam seketika. Apa yang disampaikan Bagong bisa jadi merupakan jalan keluar terbaik. Ya, demo. Mbok Jiyem mesti tahu, orang kampung tidak menghendaki penebangan po­hon randunya. Apalagi diyakini di pohon randu Mbok Jiyem ber­semayam raja gendoruwo. Pe­ng­u­asa para gondoruwo di po­hon-pohon randu kampung ka­mi.

Ketika orang-orang kampung masih tarik-ulur menetapkan hari pelaksanaan demo, menda­dak sebuah truk senso membe­lah jalanan kampung kami. De­bunya beterbangan ke angkasa menampar muka kami. Delapan orang yang kekar-kekar tubuh­nya segera mempersiapkan se­mua peralatan untuk penebang­an. Orang kampung seperti ter­sedot daya magnit. Segera ter­kumpul di sekitar rumah Mbok Jiyem. Tak hendak melakukan demo. Begitu truk senso datang, pikiran demo lenyap begitu saja.

“Ruuuummmmm…..” ger­ga­ji mesin memekakkan telinga.

Seseorang memanjat pohon dengan membawa tali. Setelah mengikat erat-erat pohon randu  dia turun lagi. Cuma seorang sa­ja yang bertugas memotong pang­kal pohon randu. Selebih­nya menarik tali agar pohon ja­tuh ke tempat yang aman. Tak sam­pai duapuluh menit, pohon randu terbesar di kampung kami tumbang.

Antara percaya dan tidak, ka­mi mlongo. Ndomblong. Betapa mudahnya pohon wingit itu tum­bang. Di mana kesaktian sang gon­doruwo. Begitu mudahnya ia menyerah tanpa memberikan per­lawanan sama sekali. Sebe­nar­nya kami berharap, begitu ger­gaji berhasil menebang po­hon, si pohon randu itu kembali utuh seperti sedia kala. Digergaji lagi. Utuh lagi. Kalaupun tum­bang, itu hanya semenit saja. De­ngan sepenuh keajaiban, bang­kit lagi dan berdiri seperti sedia kala. 

Pohon randu itu, benar-benar tumbang. Menampar muka ka­mi. Memukul keyakinan kami. Mbok Jiyem sumringah wajah­nya. Tukang-tukang senso itu se­perti semut menemukan roti. Se­gera memotong-motong kayu randu sesuai permintaan pasar. Mereka tampak bersemangat. Mungkin membayangkan uang bakal mereka keduk dari pohon yang cuma diberikan harga tiga­ratus ribu rupiah itu.

Tepat menjelang maghrib truk senso selesai mengerjakan tugasnya. Pohon randu telah berubah papan-papan tipis, ber­alih ke truck lain yang akan mengantarnya ke para peme­san. Pohon randu yang perkasa itu lenyap dari mata kami. Diam-diam kami merasa kehilangan se­suatu. Kehilangan sebuah ke­luarga yang telah bertahun-tahun hidup bersama.

“Nisa step. Nisa step!” demi­kian berita yang dibawa orang kampung.

Kami segera melesat menuju rumah Pak Amir, ayahnya Nisa. Benar Nisa step. Matanya mlilik-mlilik. Tangannya kejang. Mu­lut­nya berbusa. Segera kami usung ke rumah sakit. Belum se­lesai geger si Nisa, kampung ka­mi digegerkan lagi dengan step (nya) Ririn, anak Pak Subur. Anak Pak Wiwid yang baru ber­usia tiga tahun juga step.

Kampung kami benar-benar gempar. Semua kerisauan diala­matkan ke mBok Jiyem. Dialah biang keladi dari musibah kam­pung ini. Seandainya pohon ran­du itu tak ditebang, maka takkan ada anak yang step beruntun. Pa­dahal anak-anak itu tidak sakit. Mereka sehat-sehat saja. Begitu pohon randu ditebang me­reka keganggu gondoruwo.

Itulah, kejadian malam hari ketika siang harinya pohon randu itu ditebang. Malam berikutnya, tak ada anak step lagi. Parmin tiba-tiba saja jatuh terjerembab karena merasa dijegal oleh so­sok tinggi besar. Slamet mesti lari tunggang langgang karena merasa dikejar makhluk tak di­kenal dengan bendo di tangan. Priyadi bahkan secara meyakin­kan, dirinya melihat bayangan yang berdiri dengan mata merah - rambut merah di tonggak pohon randu.

Orang-orang segera kasak-ku­suk. Menggelar aneka cerita dan berita dari hasil rekaannya sen­diri. Ada yang mengatakan umur Mbok Jiyem tinggal me­nunggu hari. Ada menyatakan ting­gal beberapa jam. Begitu ju­ga bagi tukang-tukang senso yang telah lancang menebang randu. Karena kekeramatan si pohon randu mereka pasti akan kena bilahi. Paling sial, mereka akan terserang penyakit aneh. Bahkan mati dicekik.

Kami diam-diam tengah me­nanam harapan buruk. Menung­gu musibah datang. Kami tak per­duli, anak-anak yang step su­dah bisa bermain-main seperti biasanya. Kami juga tak peduli lagi, cerita tonggak  pohon randu yang semakin nganeh-nganehi. Kami benar-benar menunggu apa yang akan terjadi dengan Mbok Jiyem.

Sepekan berlalu. Sebulan. Dua bulan.

Mbok Jiyem tak juga kena bendu. Malah makin aktif men­datangi pengajian Kyai Jafar. Dia juga berhasil mengajak ibu-ibu yang lain. Dengan tumbang­nya pohon randu, langgar, ma­kin hari makin ramai jamaah­nya. Para bapak pun kembali me­ngisi saf sholat jamaah. Me­reka kembali mendengarkan pengajian Kyai Jafar.

“Apakah Kyai percaya ada­nya bangsa jin?” tanya Slamet yang tak bisa lagi menahan ke­penasarannya.

“Tentu saja percaya. Bukan­kah jin itu termasuk makhluk ciptaan Allah?”

“Kyai percaya pohon randu Mbok Jiyem yang ditebang be­berapa waktu lalu dihuni gondo­ruwo?”

“Tidak!” jawab Kyai Jafar te­gas.

“Untuk membuktikan, pohon randu itu tidak ada gondoru­wo­nya, saya meminta Ibu Jiyem untuk menebang pohon randu­nya!”

Mendengar pengakuan Kyai Jafar kami benar-benar kaget. Sama sekali tak menduga ke­ngo­totan Mbok Jiyem ternyata atas kehendak kyai.

“Saya menilai pohon randu itu mengganggu keimanan Ba­pak-Ibu sekalian. Dengan pene­bangan itu, saya berharap ke­ima­nan Bapak-Ibu tak lagi ber­cabang!”

“Karena sudah terbukti tak ada peristiwa apa-apa setelah pe­nebangan pohon randu, saya akan memberikan satu lagi tam­bahan pelajaran tentang iman!” lanjut kyai Jafar.

“Besok Ahad, kita bersihkan sendang. Berhala-berhala yang ada di sana kita singkirkan. Da­han-dahan beringin yang sudah lapuk kita potong sekalian agar tidak membahayakan..!”

Kelanjutan ajakan Kyai Jafar tak bisa kami dengar lagi. Sua­ranya mendengking di telinga ka­nan. Adapun di telinga kiri, suara kaki dhanyang nini dha­nyang melengking-lengking. Membuat kami pening. Membu­at kami pening.

Cerpenis Kelahiran Ngawi, 30 Oktober 1965. Alumni FKIP-Univ. Sebelas Maret Surakarta Guru Bahasa Indonesia MAN Ngawi.

Cerpenis: Pendiri Kelompok Peron FKIP-UNS Surakarta

Kini menetap di komunitas Teater Magnit Ngawi

()

Baca Juga

Rekomendasi