Pentingnya Suami Memahami Baby Blues Syndrome

Oleh: Jones Gultom

BABY Blues Syndrome, atau se­ring juga disebut Postpartum Distress Syndrome adalah perasaan sedih dan gun­dah yang dialami oleh ibu yang baru saja melahirkan. Menurut peneli­tian, setidak­nya 6 dari 10 ibu muda, yang me­­lahirkan anak pertama­nya, me­­nga­lami gejala ini. Ditandai dengan pera­sa­an ce­mas, takut bahkan menun­juk­­kan sikap benci terhadap anak­nya itu.

Secara medis, gejala itu di­sebabkan karena reaksi hor­monal yang serta mer­ta dialami si ibu sebelum dan se­su­dah melahirkan. Namun dari sisi psi­kologis, gejala itu bisa juga dipicu ka­rena si ibu merasa kurang siap de­ngan tugas barunya sebagai ibu. Apa­lagi ia belum berpeng­alaman mengu­rus bayi. Un­tuk yang baru pertama kali, tugas ini bukan hal mudah. Selain menyita waktu dan perhatian, juga kasih sayang dari suami.

Diduga, peralihan kasih sayang sua­mi dari istri kepa­da anaknya itu, ber­pengaruh terhadap emosi si ibu. Logi­kanya bisa diterima. Meng­ingat sejak dalam kandungan sampai kemudian melahir­kan, boleh dibilang peran ibu cu­kup besar. Apalagi mela­hir­kan ada­lah proses antara hidup mati. Baik ter­ha­dap si bayi maupun si ibu sendiri.

Bila biasanya si ibu mem­peroleh per­hatian khusus selama ia mengan­dung, hal itu tidak ia dapatkan lagi, ke­tika bayi dikandungnya lahir. Orang-orang yang selama ini memerha­tikan­nya cenderung berpaling arah kepada si bayi. Padahal selama mela­hir­kan itu, si ibu mengalami kon­traksi yang luar biasa. Ia merasa perjuangannya sela­ma mengandung dan mela­hir­kan kurang dihargai.

Baby blues syndrome bia­sanya ber­lang­sung 2 minggu sejak melahir­kan. Biasanya gejala ini akan hilang sendiri sejalan dengan stabilnya kem­bali hor­mon di dalam tubuh si ibu. Selain itu juga karena adanya penyesuaian status yang dialami oleh si ibu. Tetapi bila suami tak ce­pat merespon gejala ini, hal itu bisa ber­larut-larut. Untuk itulah penting ba­gi sua­mi memahami gang­guan psiko­lo­gis ini. Kesiagaan suami bu­kan hanya dibutuhkan pa­da saat istrinya tengah me­ngandung, namun juga sete­lah ia melahirkan.

Tahap awal, si suami harus menge­ta­hui apa sebenarnya baby blues syn­dome itu sen­diri. Bahwa gejala itu me­ru­­­pakan hal normal yang nyaris di­ala­mi setiap ibu. Ia tak ha­rus panik. Be­­­berapa gejala umum baby blues syn­­drome antara lain, mudah kesal, le­lah, ce­mas, tidak sabar, gam­pang me­na­n­gis dan sensitif. Secara khusus ge­jala itu juga akan diperlihatkan kepada si bayi. Antara lain, suka marah dan ter­kesan abai.

Di dalam masyarakat tra­disi, gejala baby blues syndrome dipahami dalam ber­­ba­gai pemaknaan. Termasuk pe­mak­­­naan dari sisi klenis. Ada yang me­ngistilahkan gang­guan itu sebagai ulah makhluk halus yang suka ke­pada ibu yang baru saja mela­hirkan. Secara ekstrim dise­butkan, bau ibu yang baru sa­ja melahirkan menarik per­hatian mereka. Untuk meno­lak gangguan itu, si ibu dan si bayi sering diberi penan­da. Termasuk menyalakan pelita di depan rumah.

Dalam Bahasa Tradisi

Selain itu, untuk beberapa hari, si ibu mendapat penja­ga­an ketat. Jangan sampai makhlus halus itu sampai meng­ganggunya. Kebiasaan itu bukan tanpa alasan. Ka­re­na dalam beberapa kasus tertentu, gejala ini bisa mem­buat si ibu terkesan “kerasuk­an”. Misalnya tanpa sadar men­cederai si bayi.    Padahal bukan tidak mung­kin hal itu akibat si ibu mengalami baby blues.

Memang di Indonesia, ben­tuk baby blues syndrome ini tidak separah di negara maju. Data yang dikemuka­kan di atas, lebih mengacu kepada masya­rakat di negara maju. Dengan indikator pola hidup masyarakatnya lebih individual. Hal lain, adalah karena keke­ra­batan masyara­katnya. Berbeda de­ngan ma­syarakat yang individual. Me­reka harus bertanggung­jawab terhadap hidupnya sen­diri.

Selain itu, tujuan perka­win­an bagi ma­syarakat Indonesia didasari oleh ke­sa­daran kedua belah pihak. Antara lain guna mendapatkan ketu­runan. Ke­tu­runan bagi seba­gian besar masya­ra­kat Indonesia bahkan dianggap men­jadi tujuan utama perkawin­an. Dengan kata lain, saat ibu melahirkan merupa­kan peris­tiwa besar yang patut diraya­kan.

Berbeda hal di negara ma­ju. Dalam ba­nyak kasus, perkawinan hanya di­anggap sebagai seremoni dari hu­bung­an tertentu. Bahkan ti­dak sedikit pula, pa­sangan yang hidup serumah tanpa me­lalui perkawinan, terma­suk yang me­nikah, tetapi tidak menginginkan keturun­an. Atau setidak-tidaknya demi ala­san tertentu, menun­da kehamilan. Se­baliknya di Indonesia, keputusan se­ma­cam itu cenderung berten­den­si ne­gatif di lingkungan masyarakat.

Perilaku masyarakat Indonesia yang suka “curhat” membuat beban yang ditang­gung jadi lebih ringan. Di­tam­bah lagi dengan rasa per­duli yang terbilang masih tinggi. Bagi ibu muda, kebu­tuhan untuk berbagi infor­masi dalam merawat dan mengasuh bayi ini sangat pen­ting. Tidak demikian di ne­gara dengan tipikal masya­rakat yang individual. Semua hal mesti ditang­gung­jawabi sendiri.

Meski begitu, harus diakui pemaha­man masyarakat Indonesia, khususnya di bidang medis, tergolong rendah. Hal itu dikarenakan minimnya minat untuk menggali infor­masi secara benar. Serta ke­cenderungan mengaitkannya de­ngan hal-hal klenis.

Dari situ dapat ditarik ke­simpulan ideal akan pen­ting­nya pemahaman yang benar tentang gejala ini. Khusus­nya bagi si suami, yang sudah pas­ti ti­dak akan pernah me­ra­sakan persalinan. Jangan sampai saat buah hati lahir, justru menjadi pemicu kere­takan hu­bungan suami istri. Selanjutnya su­dah pasti akan merusak keharmo­nisan ru­mah tangga itu sendiri.

(Penulis adalah sarjana psikologi)

()

Baca Juga

Rekomendasi