Oleh: Reza Fahlevi
PRIA berkemeja coklat itu sibuk memetik kopi di kebun seluas hampir setengah hektare. Tangannya gesit mengutip satu per satu biji yang mulai menguning hingga merah dari tangkai pohon setinggi orang dewasa, kadang-kadang terselip buah berwarna hijau.
Pagi itu, pria bernama Gunawan yang mengenakan celana warna biru dongker dipadu sepatu bot tengah memanen kopi milik warga lainnya. Setelah tas kantongnya penuh, biji kopi jenis arabika itu dibawa ke sebuah gubuk lalu dimasukkannya dalam karung.
Dia tidak sendirian. Di Desa Hakim Wih Ilang, Kecamatan Pondok Baru, Kabupaten Bener Meriah, itu hampir setiap hari para petani sibuk berkebun hingga menjemur kopi hasil panen mereka.
Jangan heran jika melintasi jalan di perkampungan yang dikelilingi kebun kopi itu, hampir di sepanjang lorong, warga menggelar tikar dan menjemur biji kopi. Pengguna kendaraan roda empat pun kesulitan melaluinya.
Kopi yang tumbuh subur di wilayah tengah provinsi Aceh, seperti Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues, bukan disebabkan penggunaan bahan kimia. Tapi, pupuk alami (organik) yang ditabur di sekeliling akar batang kopilah yang membuat tumbuhan itu subur, apalagi berada di daerah berhawa dingin.
“Kami rata-rata di sini menggunakan pupuk alami, seperti ampas kopi,” kata Gunawan sambil mengutip kopi kepada Analisa, akhir 2016.
Jika musim kemarau berlangsung, mereka tidak takut gagal panen. Karena, hampir seluruh areal kebun kopi adalah bekas sawah. “Tidak ada masalah dengan musim kemarau. Karena ini bekas sawah sehingga masih ada kadar airnya,” jelasnya.
Panen pun yang dihasilkan setiap lima bulan sekali dari sejak berbunga juga cukup memuaskan warga setempat.
Hama Ulat
Namun, tetap ada yang mengkhawatirkan mereka, yakni serangan hama ulat. Serangan hama ini terkadang bisa membuat petani gagal panen. Karena, ulat memangsa bunga yang baru tumbuh dari tangkainya.
“Itu (ulat) yang membuat gagal panen. Karena ulat berada di bunga. Tapi kalau cuaca panas, bunga kopi juga bisa gagal tumbuh,” katanya.
Mengatasi hama ulat, warga punya trik tersendiri. Tanpa harus menggunakan obat-obatan berbahan kimia, seperti lazimnya pembasmi hama yang digunakan pada tanaman jenis lainnya. Memberantas hama ini, petani cukup memangkas tunas baru yang tumbuh ke atas.
“Mengatasi ulat belum pernah menggunakan obat. Cuma memangkas tunas baru yang tumbuh. Itu kami lakukan setiap tiga bulan sekali,” jelasnya.
Selain menghindari datangnya hama, memangkas tunas baru yang tumbuh ke atas juga menghindari meningginya batang kopi sehingga tidak menyulitkan petani mengutip kopi saat masuk masa panen.
Saat masa panen tiba, sebagian warga menawarkan diri pada pemilik kebun menjadi jasa pengutip buah kopi. Pembayarannya dihitung dari jumlah banyaknya kopi yang masih gelondongan, yakni berkisar antara Rp10 ribu-15 ribu per kaleng ukuran besar.
“Pembayaran tergantung berapa harga kopi di pasaran,” ungkapnya.
Saat ini, harga kopi gelondongan dijual petani seharga mulai Rp10 ribu-11.500/kilogram. Namun harga tersebut juga tergantung mutu kopi yang dihasilkan.
“Kalau sudah menjadi biji itu seperti tahun lalu, harganya sampai Rp30 ribu/kilogram. Sekarang harganya Rp28 ribu/kilogram,” sebutnya.
Bertambah
Dataran Tinggi Gayo yang berada di ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut (mdpl), sudah mengembangkan perkebunan kopi sejak 1908. Perkebunan kopi di kawasan tersebut adalah yang terluas di Indonesia, yakni sekitar 81 ribu hektare, meliputi Bener Meriah seluas 42 ribu hektare, dan 39 hektare di Aceh Tengah.
Namun, pada 2010, perkebunan kopi yang memproduksi jenis arabika tersebut luasnya bertambah, yakni sekitar 94.500 hektare, meliputi Aceh Tengah (48.500 hektare), Bener Meriah (39 ribu hektare), dan selebihnya Gayo Lues (7.000 hektare).
Kopi arabika yang dihasilkan daerah ini diekspor ke sejumlah negara, seperti Amerika Serikat, Uni Eropa dan Asia Pasifik. Ekspor tersebut mengalami peningkatan. Bahkan, pada awal 2016, diperkirakan kopi asal Dataran Tinggi Gayo itu mampu menghasilkan devisa bagi negara sekitar Rp5 triliun/tahun.
“Jumlah devisa tersebut empat kali lebih besar dibandingkan anggaran pendapatan dan belanja kabupaten (APBK) Aceh Tengah yang jumlah sekitar Rp1,2 triliun,” kata Bupati Aceh Tengah H Nasaruddin, tahun lalu.
Berdasarkan data Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah, nilai tawar kopi arabika Gayo sudah diekspor ke-17 negara di seluruh dunia. Ekspor yang paling tinggi masih ke Amerika, sedangkan Uni Eropa dan Asia Pasifik terus mengalami peningkatan.
Menurut Nasaruddin, penetapan Indikasi Geografis (IG) kopi arabika Gayo, juga menjadi peran utama dalam memperoleh devisa yang besar dari hasil perkebunanan kopi di tingkat masyarakat.
“Karena, indikasi geografis tersebut membawa dampak berupa keinginan importir untuk membeli dan menginginkan kualitas kopi sesuai wilayah asalnya,” ungkapnya.