Tembakau Deli: Hidup Segan, Mati Kasihan

Oleh: Amin Multazam Lubis

APA jadinya Kota Medan jika Jacob Nienhuys tak pernah menanam tem-bakau di Tanah Deli? Entahlah, Bisa jadi wilayah Medan sekarang cuma hamparan rawa yang mana jumlah kodok tentu jauh lebih banyak dari pada populasi manu­sianya. Tak akan muncul sapaan “ketua”, Para Preman Sambu, Baju Monja, atau deretan supir angkot sehebat Lewis Hamilton dari kawasan ini. Tembakau pula yang berkon­tribusi men­datang­kan orang Jawa, China, India (Tamil), dan Batak (Toba, Man­dailing) se­hingga Kota Medan memiliki berane­ka macam etnis yang hidup saling berdam­pingan. Tanpa temba­kau, kuat asumsi saya tetangga anda (warga Medan) barangakali cuma ular sawah, tanpa suku apalagi marga.

Sedikit bercerita, Karl Pelzer, dalam bukunya Toean Keboen Dan Petani secara lebih detail menjelaskan ba­gai­mana kondisi geografis, sosial dan budaya Sumatera Timur. Bahwa wilayah ini awalnya tidak menarik perhatian Peme­rintah Kolonial. Kondisi tanahnya yang berawa-rawa dengan jumlah penduduk­nya sangat jarang menyebabkan investasi di Sumatra Timur menjadi sangat mahal. Selain harus membangun infra­struktur, pengusaha harus menda­tangkan pekerja dari tempat lain. Pada tahun 1863, saat Jacob Nienhuys ber­kunjung ke Sumatra Timur ber­sama dengan Pangeran Said Abdullah dari Ser­dang, gagasan untuk membuka perkebu­nan tembakau akhirnya jadi ke­nyataan. Percobaan Nienhuys berha­sil dengan baik. Ia kemudian men­dirikan Deli Maat­schppij setelah menda­pat konsesi dari Kesultanan Deli. Hasil ini membuat minat orang Eropa membuka perke­bunan (onder­ne­ming) tembakau me­re­bak. Per­ke­bu­nan temba­kau tumbuh bak kacang goreng dan semua mata mulai tertuju pada Tanah Deli, yang bahkan sem­pat mendapat julukan sebagai “Dollar Land”

Tembakau Deli memiliki arti begitu besar bagi per­kembangan Medan sebagai sebuah Kota sekaligus pusat perdagangan. Lihat bagaimana Logo Universitas Suma­tera Utara (USU) dan lambang PSMS Medan berhias tanaman ini. Tembakau Deli adalah marwah, identitas sekaligus kebanggan yang membuat kawasan sepanjang sungai Wam­pu hingga sungai Ular dikenal sampai mancane­gara. Namun sayang, seiring perkem­bangan zaman Tembakau Deli perlahan terlupa­kan. Medan tumbuh begitu pesat, begitu sombong mening­galkan Tembakau Deli yang hidup segan mati kasihan.

Ann Laura Stoler dalam bukunya berjudul Kapitalisme Dan Konfron­tasi Di Perkebunan Sumatera 1870-1979 mencatat pada tahun 1889 sudah ada 179 kebun tembakau yang tumbuh di Su­matera Timur. Dari ratusan perkebunan itu, Tembakau Deli saat ini hanya ditanam tak lebih dari 3 kebun yang semuanya milik PT Perkebunan Nusantara II (PTPN II). Penurunan jumlah disebabkan oleh bermacam faktor. Mulai dari kebijakan pembatasan rokok di Eropa, biaya pro­duksi, perawatan tem­bakau, peralihan jenis ta­naman, alih fungsi lahan, hingga konflik dan penyerobotan lahan perke­bunan. PTPN II yang tanahnya sebagian besar bekas perkebunan milik kolo­nial (hasil nasionalisasi) memang menyisakan persoalan. Di Sumatera Utara, mencari pemberitaan soal konflik yang melibatkan PTPN II sama mudahnya dengan mencari penjual lontong dipagi hari. Lantas soal tanaman tembakau? Nyaris tak terdengar. Paling-paling isinya kurang lebih sama dengan tulisan ini, menyoal nasib Tem­bakau Deli yang diujung tanduk.

Gudang-gudang tua bekas pe­nyim­panan tembakau de­ngan usia hampir ratusan tahun dibiarkan tak terawat. Para dedemit, kuntilanak dan mahluk halus sejenisnya konon lebih serius mengelola lokasi ini dari pada pemerintah. Buktinya nuansa angker disekitar gudang lebih melekat dari pada cerita nilai sejarah bangunan-bangunan itu. Dalam konteks ini, Saya rasa tidak salah pemerintah membuka diri untuk belajar dari para dedemit agar sukses mengelola tempat-tempat bersejarah.

Tidak diketahui pasti apa penyebab pemerintah Kota Medan, maupun Pemerintah  Provinsi Sumatera Utara kurang serius menjaga kelestarian tembakau sebagai sebuah ke­banggan maupun identitas. Mencoba berpra­sangka baik, saya berasumsi ada dua faktor utama. Pertama, mungkin mereka lebih memilih ngurusin manusia dari pada tanaman. Peme­rintah terlalu sibuk mengurusi rakyat. Menghabiskan seluruh waktu dan tenaganya memperbaiki kualitas in­frastruktur dan sumber daya manusia.

Kedua, Pemerintah kami (warga Medan dan Sumatera Utara) adalah tipikal orang yang tidak mau terlalu lama terjebak masa lalu. Ya, bahasa anak gaul zaman sekarang “gampang move on”. Tembakau Deli cuma ce­rita usang. Contohnya, seka­rang Kota Medan lebih identik dengan kota penuh lubang. Lihat saja sebagian besar ruas jalannya rusak parah bak habis dihantam meteor. Maka dari itu, logo dan lambang institusi-insti­tusi diwilayah ini yang berhias daun tembakau (USU dan PSMS misalnya) ada baiknya segera direvisi menjadi Pohon Pisang. Mengapa? Sebab jalan-jalan berlubang itu kerap ditanami pohon pisang oleh penduduk setempat. Apakah satu bentuk keke­salan atau upaya mengganti identitas tembakau, saya juga tidak tau.***

Penulis adalah alumnus Antropologi Fisip USU

()

Baca Juga

Rekomendasi