Oleh: Meyarni.
Peringatan Hari Gizi Nasional yang jatuh pada 25 Januari menjadi refleksi penting bagi pemerintah Indonesia untuk mengentaskan busung lapar. Apalagi belum lama ini menyeruak beberapa kasus busung lapar yang cukup menyedihkan, seperti di Aceh, Nias maupun NTT dan Baubau, Sulawesi Tenggara. Selain pada keempat daerah itu, kita yakin busung lapar juga banyak diderita anak-anak di berbagai daerah lain, terutama wilayah terpencil dan jauh dari pusat kota.
Sangat ironis memang. Indonesia diakui dunia karena kekayaannya yang melimpah, khususnya sumber pangan, namun realita masih ada rakyatnya yang menderita busung lapar. Korban busung lapar terutama banyak ditemukan di Indonesia Timur.
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2013, ada dua provinsi yang tingkat gizi buruknya sangat tinggi, yaitu >30%. Provinsi tersebut adalah adalah NTT diikuti Papua Barat. Padahal menurut ketentuan WHO bila angka telah mencapai 30 % dinyatakan tinggi dan perlu tindakan lebih lanjut. Sedangkan provinsi yang tingkat gizi buruknya <15 persen terjadi di Bali, dan DKI Jakarta. Data yang lebih mengejutkan dirilis Litbang Kementerian Kesehatan pada tahun 2014.
Dari survey itu diperoleh data bahwa lebih dari separuh penduduk di Indonesia memiliki tingkat kecukupan protein sangat kurang dan kurang. Total penduduk dengan protein kurang itu sebesar 53,4%. Dari angka 53,4% tersebut, 36,1% penduduk berada pada tingkat kecukupan protein sangat kurang/minimal. 17,3% sisanya ada pada level penduduk dengan level kecukupan protein kurang. Tingkat kecukupan protein sangat kurang dan kurang tertinggi kebanyakan ada di Papua (76,2%) dan Nusa Tenggara Timur (73,6%).
Seperti kita tahu, busung lapar terjadi karena anak kekurangan asupan bergizi untuk pertumbuhannya. Secara umum, anak penderita busung lapar memiliki tanda-tanda fisik yang khas. Antara lain, pembengkakan pada seluruh tubuh sehingga meskipun kekurangan asupan gizi, si anak tampak gemuk. Wajah anak membulat dan sembab. Adanya pembengkakan terutama pada punggung kaki. Otot mengecil dan menyebabkan lengan atas kurus. Tidak bernafsu makan, rambutnya menipis berwarna merah dan perut yang membesar. Selain menyebabkan kematian, busung lapar juga akan membuat penurunan tingkat kecerdasan anak, rabun senja serta rentan terhadap penyakit terutama penyakit infeksi.
Sangat ironis memang, bila kasus busung lapar terjadi di negara yang kaya akan sumber pangannya. Indonesia yang sejak dulu disebut-sebut sebagai negara agraris, nyatanya tidak mampu mencukupi kebutuhan pangan masyarakatnya sehari-hari. Karena itu, seperti yang diakui Presiden Joko Widodo, pemerintah harus melakukan antisipasi. Jalan satu-satunya adalah dengan peningkatan pendapatan ekonomi pada daerah-daerah miskin.
Rakyat masih miskin
Pemerintah harus serius mengurus ekonomi masyarakatnya. Apalagi dalam beberapa tahun terakhir ini, roda perekonomian dirasa lesu. Di sisi lain, pemerintah telah mencabut kebijakan subsidi atas kebutuhan mendasar masyarakat. Antara lain tarif dasar listrik 900 volt yang mulai berlaku sejak Januari 2017 ini. Dalam arti, kesulitan ekonomi sebagian besar masyarakat akan semakin terasa. Bagaimanapun kebijakan itu pasti akan berdampak dengan peningkatan jumlah masyarakat miskin yang berkolerasi dengan bertambahnya kasus gizi buruk yang melanda anak Indonesia.
Kebijakan-kebijakan ekonomi yang pro rakyat menjadi tumpuan harapan dalam pengentasan gizi buruk itu. Pemerintah harus lebih peka pada aspek ini. Apalagi dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat Indonesia mesti menelan realita sebagai warga negara yang penguasanya disibukkan dengan urusan politik dan kekuasaan.
Kita lihat saja misalnya, di tengah kasus gizi buruk yang belum juga terhapus di negeri ini, berapa banyak uang yang dihabiskan untuk pesta politik, dalam beberapa tahun terakhir ini. Setidaknya dalam 5 tahun terakhir kita menggelar pemilihan presiden, kepala daerah maupun legislatif. Biaya yang dikeluarkan dari kas negara, tak tanggung besarnya. Untuk pilkada serentak 2017 ini saja, pemerintah mengalokasikan dana sebesar 2,9 triliun rupiah. Jika dirata-ratakan setiap pemilu (Pilpres, Pilkada maupun Pileg) menelan biaya sebesar ini, berarti untuk 4 kali pemilu sejak 2014 sampai awal 2017, negeri ini telah menghabiskan angka sebesar 12 triliun rupiah.
Di sisi lain, kehidupan masyarakat, khususnya buruh tidak pernah meningkat. Kehidupan buruh dan keluarga seperti katak dalam sumur. Ia melompat sekali tetapi terperosok dua kali. Kehidupan buruh juga begitu. Meski setiap tahun upahnya naik, tapi tak mengimbangi naiknya harga-harga.
Padahal kaum buruh termasuk kelompok dominan di Indonesia. Merekalah yang selama ini berperan membangun Indonesia. Nasib yang lebih menyedihkan dialami buruh perempuan. Terlebih untuk buruh perempuan yang memiliki bayi. Rasanya terlalu mahal pengorbanan yang diberikan. Jangankan diberi insentif, fasilitasi untuk ibu menyusui saja, masih terbilang langka di perusahaan-perusahaan.
Akibatnya asupan gizi anak tidak dapat dipenuhi. Seiring bertambahnya usia anak, kebutuhan gizi pun semakin meningkat. Namun karena ekonomi yang tak cukup, kebutuhan-kebutuhan mendasar itu tidak dipenuhi. Alhasil anak menjadi korban. Mereka harus mengalami bermacam penyakit. Salah satunya busur lapar.
Padahal masa emas anak ada di periode 1000 hari pertama, sejak ia terbentuk dalam kandungan. Disebut masa emas, karena di periode inilah, seorang anak mengalami pertumbuhan serta perkembangan yang sangat pesat. Adalah keharusan mencukupi kebutuhan gizi anak sejak masa kehamilan sampai usia anak 2 tahun. Tujuannya adalah agar proses petumbuhan dan perkembangan saraf-sarafnya akan sempurna. Dengan begitu anak akan menjadi sehat dan cerdas.
Untuk itu, pemerintah perlu menegaskan kembali kepada warga negaranya, bahwa 1.000 hari pertama harus dimanfaatkan secara maksimal. Melalui kewenangan yang dimilikinya, pemerintah harus menindak perusahaan yang tidak menyediakan ruang khusus ASI bagi karyawan yang punya bayi. Juga perlu diatur tunjangan bagi karyawan yang tengah hamil. Bagaimanapun dalam kondisi itu, ia tidak hanya memenuhi kebutuhan nutrisi dirinya sendiri, namun juga anak yang dikandungnya. Jika hal itu bisa dilakukan, saya yakin kasus- kasus busung lapar akan semakin berkurang di negeri ini.
(Penulis adalah peminat masalah sosial kemasyarakatan dan kesehatan)