Busung Lapar, Refleksi Hari Gizi Nasional 2017

Oleh: Meyarni.

Peringatan Hari Gizi Na­sional yang jatuh pada 25 Januari men­jadi refleksi pen­ting bagi peme­rin­tah Indonesia untuk mengen­tas­kan bu­sung lapar. Apalagi belum lama ini menyeruak beberapa kasus busung lapar yang cu­kup menyedih­kan, seperti di Aceh, Nias maupun NTT dan Baubau, Sulawesi Teng­gara. Selain pada keempat dae­rah itu, kita yakin busung la­par juga banyak diderita anak-anak di berbagai da­erah lain, terutama wilayah ter­pen­­cil dan jauh dari pusat ko­ta.

Sangat ironis memang. Indonesia diakui dunia kare­na kekayaannya yang melim­pah, khususnya sumber pa­ngan, namun realita masih ada rakyatnya yang menderita busung lapar. Korban busung lapar terutama banyak dite­mukan di Indonesia Timur.

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2013, ada dua pro­vinsi yang tingkat gizi buruknya sangat tinggi, yaitu >30%. Provinsi tersebut adalah adalah NTT diikuti Papua Barat. Padahal menu­rut ketentuan WHO bila ang­ka telah mencapai 30 % di­nyatakan tinggi dan perlu tin­dakan lebih lanjut. Se­dang­kan provinsi yang tingkat gizi buruknya <15 persen terjadi di Bali, dan DKI Ja­karta. Data yang lebih me­­nge­jutkan dirilis Litbang Ke­men­terian Kesehatan pada tahun 2014.

Dari survey itu diperoleh data bahwa lebih dari separuh penduduk di Indonesia me­mi­liki tingkat kecu­ku­pan pro­tein sangat kurang dan ku­rang. Total penduduk de­ngan protein kurang itu se­besar 53,4%. Dari angka 53,4% tersebut, 36,1% pen­du­duk be­rada pada tingkat kecukupan protein sangat kurang/minimal. 17,3% sisa­nya ada pada level penduduk dengan level kecukupan pro­tein kurang. Ting­kat kecu­kupan pro­tein sangat ku­rang dan kurang ter­tinggi keba­nyakan ada di Papua (76,2%) dan Nusa Tenggara Timur (73,6%).

Seperti kita tahu, busung la­par terjadi karena anak ke­kurangan asu­pan bergizi un­tuk pertumbu­han­nya. Secara umum, anak penderita bu­sung lapar memiliki tanda-tanda fisik yang khas. Antara lain, pembeng­ka­kan pada seluruh tubuh sehingga mes­­kipun kekurangan asupan gizi, si anak tampak gemuk. Wajah anak mem­bulat dan sembab. Adanya pem­­beng­kakan terutama pada pung­gung kaki. Otot mengecil dan me­nye­babkan lengan atas kurus. Tidak bern­afsu ma­kan, rambutnya menipis ber­­warna merah dan perut yang mem­besar. Selain menyebab­kan ke­ma­tian, busung lapar juga akan mem­buat penurun­an tingkat kecer­da­san anak, rabun senja serta rentan ter­hadap penyakit terutama pe­nyakit infeksi.

Sangat ironis memang, bi­la kasus busung lapar terjadi di negara yang kaya akan sumber pangannya. Indonesia yang sejak dulu disebut-sebut sebagai negara agraris, nyatanya tidak mampu men­cu­kupi kebutuhan pangan masyarakatnya sehari-hari. Karena itu, seperti yang di­akui Pre­siden Joko Widodo, pemerintah ha­rus melakukan antisipasi. Jalan satu-satunya adalah dengan pening­katan pendapatan ekonomi pada daerah-daerah miskin.

Rakyat masih miskin

Pemerintah harus serius me­ngu­rus ekonomi masya­ra­katnya. Apa­lagi dalam bebe­rapa tahun terak­hir ini, roda perekonomian dira­sa le­su. Di sisi lain, pemerintah telah men­cabut kebijakan subsidi atas ke­bu­tuhan mendasar masyarakat. An­tara lain tarif dasar listrik 900 volt yang mu­lai berlaku sejak Januari 2017 ini. Dalam arti, kesulit­an ekonomi se­ba­gian besar masyarakat akan sema­kin terasa. Bagaimanapun kebi­jakan itu pasti akan berdam­pak dengan pe­ning­katan jum­lah masyarakat miskin yang berkolerasi dengan bertam­bah­nya kasus gizi buruk yang melan­da anak Indonesia.

Kebijakan-kebijakan eko­nomi yang pro rakyat menja­di tumpuan harapan dalam pengentasan gizi bu­ruk itu. Pemerintah harus lebih peka pada aspek ini. Apalagi dalam be­berapa tahun terakhir, ma­syarakat In­donesia mesti me­nelan realita se­bagai warga negara yang pengua­sa­nya disibukkan dengan urusan po­litik dan kekuasaan.

Kita lihat saja misalnya, di tengah kasus gizi buruk yang belum juga terhapus di nege­ri ini, berapa banyak uang yang dihabiskan untuk pesta po­litik, dalam beberapa tahun terak­hir ini. Setidaknya da­lam 5 tahun te­rakhir kita menggelar pemilihan pre­si­den, kepala daerah maupun legis­latif. Biaya yang dike­luarkan dari kas negara, tak tanggung besarnya. Untuk pilkada serentak 2017 ini sa­ja, pemerintah mengalokasi­kan dana sebesar 2,9 triliun rupiah. Jika dirata-ratakan se­tiap pemilu (Pilpres, Pil­ka­da maupun Pileg) menelan biaya se­besar ini, berarti un­tuk 4 kali pe­milu sejak 2014 sampai awal 2017, negeri ini telah menghabiskan angka sebesar 12 triliun rupiah.

Di sisi lain, kehidupan ma­sya­rakat, khususnya bu­ruh tidak pernah meningkat. Kehidupan buruh dan ke­luar­ga seperti katak dalam su­mur. Ia me­lompat sekali te­tapi terperosok dua kali. Kehidupan buruh juga begi­tu. Meski setiap tahun upah­nya naik, tapi tak mengim­bangi naiknya harga-harga.

Padahal kaum buruh ter­ma­suk kelompok dominan di Indonesia. Merekalah yang selama ini berperan memba­ngun Indonesia. Nasib yang lebih menyedihkan dialami buruh per­empuan. Terlebih untuk buruh pe­rem­puan yang memiliki bayi. Ras­a­nya ter­lalu mahal pengorbanan yang diberikan. Jangankan di­beri insentif, fasilitasi un­tuk ibu menyusui saja, masih terbilang langka di perusa­haan-perusahaan.

Akibatnya asupan gizi anak tidak dapat dipenuhi. Seiring bertam­bah­nya usia anak, kebutuhan gizi pun se­makin meningkat. Namun karena eko­nomi yang tak cukup, kebutuhan-ke­butuhan mendasar itu tidak dipe­nuhi. Alhasil anak menjadi kor­ban. Mereka harus meng­alami bermacam penyakit. Salah satunya busur lapar.

Padahal masa emas anak ada di periode 1000 hari per­tama, sejak ia terbentuk da­lam kandungan. Disebut masa emas, karena di periode inilah, seorang anak meng­alami pertumbu­han serta per­kembangan yang sangat pe­­sat. Adalah keharusan men­cukupi ke­­butuhan gizi anak sejak masa ke­ha­milan sampai usia anak 2 tahun. Tujuannya adalah agar proses pe­tum­­buhan dan perkembangan saraf-saraf­nya akan sempur­na. Dengan begitu anak akan menjadi sehat dan cerdas.

Untuk itu, pemerintah per­lu me­ne­gaskan kembali ke­pa­da warga ne­garanya, bah­wa 1.000 hari pertama harus dimanfaatkan secara maksi­mal. Melalui kewenangan yang di­mi­likinya, pemerin­tah harus menin­dak perusa­haan yang tidak menye­dia­­kan ruang khusus ASI bagi karya­wan yang punya bayi. Juga perlu di­atur tunjangan bagi karyawan yang tengah hamil. Bagaimanapun dalam kondisi itu, ia tidak hanya memenuhi ke­butuhan nutrisi dirinya sendiri, na­mun juga anak yang dikandung­nya. Jika hal itu bisa dilakukan, saya ya­­kin kasus- kasus bu­sung lapar akan se­makin ber­kurang di negeri ini.

(Penulis adalah peminat masalah sosial kemasyara­kat­an dan kesehatan)

()

Baca Juga

Rekomendasi