Melawan Kesia-siaan dengan Zero Mind Process

• Oleh: Hidayat Banjar

Jumat, 30 Desember 2016 adalah penutup Rubrik Mimbar Jumat, Analisa tahun 2016. Pada Kolom Cermin, H Ali Murthado menulis tentang sosok Fudhail yang mena­ngis tersedu-sedu karena perta­nyaan, apakah waktunya digu­na­kan untuk ketaatan kepada Allah. Pertanyaan tersebut menyentak kesadaran Fudhail yang di usia­nya ke-60 merasa waktunya terbuang percuma. 

Fudhail merasa hidupnya sia-sia. Ya, tak sedikit manusia di dunia ini yang merasakan hidupnya hampa. Sejatinya, tugas kemanusiaan kita adalah melawan kesia-siaan dengan zero mind process.

Dalam mitologi Yunani dilukiskan kesia-siaan itu sebagai sosok Sishipus, lelaki yang mendorong batu ke puncak bukit. Sampai di puncak bukit, Zeus menendang batu itu dan kembali menggelin­ding ke bawah. Sishipus kembali mendorong batu itu. Begitulah kesia-siaan.

Kesia-sian terjadi karena napas kehidupan tidak diisi dengan cahaya keilahian. Ketidakmampuan memberi jawaban terhadap per­tanyaan dari mana dan mau ke mana kita? Sangkang paraning dhumadi demikian falsafah Jawa menyebutkan.

Orang-orang yang dianggap sukses pun ternyata pada puncak­nya juga berhadapan dengan kehampaan (kesia-sian). Karena itu ada baiknnya diingatkan – memasuki Tahun Baru 2017 ini– pe­mimpin yang memotivasi rakyat agar: bekerja, bekerja dan bekerja, hal itu salah dalam Islam. Seyogianya motivasi yang diberikan adalah: bekerja, beribadah dan beristrahatlah dengan cukup.

Tragis

Fakta tentang miliarder di Amerika Serikat yang berkumpul di Hotel Edge Water Beach di Chicago, Illionis pada tahun 1923 jadi pelajaran buat kita. Mereka adalah orang-orang yang sangat sukses, tetapi mengalami nasib tragis 25 tahun kemudian.

Salah seorangnya adalah Char­les Schwab, CEO perusahaan besi baja ternama pada waktu itu, yaitu Bethlehem Steel. Charles Schwab mengalami kebangkrutan total. Sehingga ia terpaksa berutang untuk membiayai hidupnya selama 5 tahun sebelum meninggal.Yang ke­dua adalah Richard Whitney, Pre­sident New York Stock Exchange. Pria ini ternyata menghabiskan sisa hidupnya di penjara Sing Sing.

Orang ketiga adalah Jesse Liver­more, raja saham "The Great Bear" di Wall Street. Tetapi Jesse mati bunuh diri. Orang ke empat adalah "The Match King", Ivar Krueger, CEO perusahaan hak cipta, yang juga mati bunuh diri.  Begitu juga dengan Leon Fraser, Chairman of Bank of International Settlement, ia mati bunuh diri.

Yang keenam adalah Howard Hupson, CEO perusahaan gas terbesar di Amerika Utara. Ia sakit jiwa dan dirawat di rumah sakit jiwa hingga akhir hidupnya. Sedangkan Albert Fall, waktu itu ia adalah anggota kabinet presiden Amerika Serikat. Namun ia me­ninggal di rumahnya di Texas ketika baru saja keluar dari penjara.

Di dunia ini tidak sedikit orang yang semula sangat sukses, tetapi merana di tahun-tahun terakhir kehidupan mereka Kehidupan mereka seakan-akan tidak berarti meskipun sebelumnya sangat kaya raya.

Upaya terbaik memang dapat menghasilkan kesuksesan besar, tetapi bukan berarti merupakan jaminan sebuah akhir kehidupan sebagai manusia yang penuh arti. Karena itu langkah yang harus kita lakukan adalah mengimbangi kerja keras dengan berbuat kebaikan.

Hampa

Kisah seperti itu kerap dialami orang-orang yang dianggap sukses, memiliki semua hal: harta, tahta, wanita, dan apa pun yang dia ingin akan terwujud dengan seketika. Namun dibalik  itu, di awal kerja kerasnya,  ada satu hal yang sangat menyakitkan, yaitu kehilangan masa kanak-kanaknya dan kehilangan rasa kasih sayang yang tulus.

Karena suatu keadaan dia terus bekerja keras. Akhirnya Tuhan mengabulkan dan menghargai cucuran peluhnya. Dia berhasil menjadi seseorang yang disegani dan dihormati, memiliki semua hal yang tidak dimiliki kebanyakan individu. Tapi apa? Ternyata yang dia terima adalah kosong, hampa, dan hanya berwujud fisik. Dia mengartikan telah berada di atas puncak gunung yang ternyata ha­nyalah bagian terkecil dari gunung itu.

Di saat mengejar sukses sangatlah bersemangat dan ketika mendapatkannya ternyata semua itu semu, dan akan ditinggalkan. Akhirnya, dia mencari bagian kosong dalam hidupnya. Dikatakannya, ternyata tujuan hidup itu tidaklah ada, yang ada jalan untuk menuju-Nya (zero mind process). Demikianlah seharusnya, berserah diri pada Allah, bukan merasa hampa dan tak bermakna. 

Proses pikiran bersih (zero mind process), merupakan istilah khusus yang digunakan untuk menunjukkan kepasrahan penuh kepada Tuhan Yang Maha Esa, yaitu Allah SWT dalam keadaan apa pun. Dalam zero mind process tidak ada yang sia-sia, tidak ada yang merugi.

Allah telah mengingatkan kepada kita: Demi masa/Sesungguhnya manusia dalam keadaan merugi/Kecuali orang-orang yang beriman. Dengan iman, perjalanan kehidupan yang sementara ini akan jadi bermakna. Dengan iman, seseorang yang hanya memiliki uang Rp 7000, tak takut memasukkannya ke kotak infak masjid Rp 5.000 karena Allah akan menggantinya 700 kali lipat. Amin.

Dengan iman, Abdul Razak, yang berada di awan hitam tebal dan berpotensi menghasilkan kilat, membawanya pada sebuah makna keagungan Allah SWT. Pesawat Garuda Indonesia yang dikendarainya dari Selaparang, NTB, menuju Yogyakarta jatuh di atas Sungai Bengawan Solo setelah sebelumnya sang pilot hampir percaya bahwa pesawat itu akan hancur berkeping-keping.

Di titik itu – momen ketika pesawat terjebak di atas langit se­tinggi ribuan meter di atas laut –  ketika harapan seakan sirna, Pilot Abdul Rozak terlempar ke sebuah ruang lain. Di pikirannya, yang awalnya didominasi oleh persepsi pesawat jatuh atau meledak, teri­ngat Allah SWT. Alam bawah sadarnya pun langsung terempas ke area zero mind process.

Kepasrahan kepada Allah semata saat itu membuatnya tak ber­geming sejenak pun. Dari mulutnya, terlontar, "Allah menguasai kabut-kabut ini. Jika memang harus mati, aku pasrah. Jika itu yang terbaik, maka itu jalan yang akan kuhadapi." Ia pun mengosongkan piki­rannya, menutup matanya, dan kemudian terdengar seperti sebuah baja seberat ratusan ton yang meluncur di atas air.

Mengapung

Subhanallah! Pesawat Garuda Indonesia yang dibawa Abdul Rozak sudah mengapung di atas Sungai Bengawan Solo. Yang le­bih mengejutkannya, ternyata tidak ada satu pun penumpang yang meninggal dunia, meskipun bebe­rapa luka parah. Beberapa hari kemudian, berita ini langsung dipampang di seluruh media di Indonesia. Headline "Garuda Indonesia Lolos dari Awan Maut" atau "Pasrah, Kapten Abdul Rozak Selamat dari Jebakan Aawan Nimbostratus" menghiasi halaman depan koran-koran dan media cetak lainnya.

Bertitik tolak dari hal itu, me­nyukuri nikmat waktu (kehidupan) bukanlah dengan menyia-nyia­­kannya. Menyukuri kehidupan de­ngan melakukan ketaatan dan ibadah kepada Allah. Itulah hakikat kehi­dupan yang sebenarnya.

Qotadah mengatakan, “Beramallah karena umur panjang itu akan sebagai dalil yang bisa menjatuhkanmu. Marilah kita berlin­dung kepada Allah dari menyia-nyia­kan umur panjang untuk hal yang sia-sia.”

Selamat Tahun Baru 2017 semoga kita termasuk dalam kelompok umat yang beruntung. Tidak sia-sia. Amin.

Penulis adalah Pemerhati Sosial, Budaya dan Agama

()

Baca Juga

Rekomendasi