Surat Cinta kepada Suami

Assalamu’alaikum Wr. Wb. Suamiku, berapa jam sudah kita melangkah dari gerbang pernikahan yang engkau buka dengan kunci akad. Bahagia dan haru menjadi satu. Sungguh! Saat aku dengar kau ucapkan “Saya terima nikahnya…” itulah yang selama ini aku nanti dan rindui. Saat di mana aku menangis sekaligus tertawa. Suamiku, ya kini aku bisa menyebutmu suami. Bahkan ketika nanti aku ditanya “Dengan siapa?” maka aku bangga menjawab “Dengan suami”.

Imamku yang dirahmati Allah, betapa aku mengerti bahwa pernikahan tidak hanya antara kau dan aku. Namun juga ada keluarga besar. Ada orang-orang baru yang kita belum tahu “bagaimana” mereka. Doa kesekian dari beberapa jam perjalanan bahtera kita, semoga kita dapat diterima dan menerima oleh keluarga baru ini. Semoga Allah memudahkan adaptasi ini.

Suamiku yang dimuliakan Allah, di waktu yang lalu aku berada pada kegamangan yang dalam. Kesesatan dalam memilih untuk tidak memenuhi fitrahku, mengikuti sunnah rasulku. Takutku tersiksa dengan rasa cemburu, rindu dan cinta. Takut karena yang dirasa menjadi kabur antara fitrah dan hiasan nafsu semata. Tapi, melarikan diri pada Tuhan ternyata begitu menentramkan. Dan aku mengerti, (mencoba) memahami.

Sayang, dua rakaat usai ijab qabul ini, ijinkanlah diri kita untuk menjalin keakraban dan kasih sayang. Ijinkan aku memerhatikanmu dan mendapat perhatian darimu supaya Allah memerhatikan kita dengan penuh rahmat. Ijinkan aku merengkuh mesra tanganmu, hingga berguguran dosa dari sela jemari kita. Ijinkan aku belajar menguntai cinta dengan mengenalmu lebih dalam. Mencintaimu setelah pernikahan kita, karena hari-hari kita akan panjang. Rasanya takkan habis kata semoga hingga labuh bahtera ini pada tujuanNya. Harapku, aku bisa menjadi pelipur duka, sahabat perjuangan, tempat berbagimu.

Suamiku yang kucintai karena Allah, bantulah aku meneladani keagungan Asiyah, kecerdasan iman Ummu Ismail, kemuliaan Ibunda Khadijah yang mampu membangunkan rasa percaya diri dan keyakinan suami, meneladani ketaqwaan Ibunda Aisyah, ketulusan Nailah yang melindungi suami hingga jari tangannya tertebas pedang pasukan pembangkang, Nailah 18 tahun yang tulus mencintai Ustman bin ‘Affan 81 tahun. Bantulah aku istrimu, untuk meneladani kesetiaan Ummu Usamah.

Suamiku yang dirahmati Allah, surat ini akumulasi dari segenap rasa rinduku padamu. Pada penantian “panjang” kala hati haus mereguk air telaga kasih sayang. Pada rasa yang tak seharusnya ada. Rasa iri pada mereka yang lebih dahulu mendapat barokah (semoga) perni­kahannya.

Suamiku yang dirahmati Allah, betapa dulu aku rindu mencium tanganmu, meminum susu dari pinggir gelas yang sama, rindu bersimpuh memohon keikhlasanmu atas keadaanku sehingga Allah ridho kepadaku, rindu menetap teduh wajahmu, mengantarmu pada bunga tidur.

Suamiku, betapa dulu aku rindu memba­ngunkanmu di sepertiga malam dengan kecu­panku dan menyelesaikan sholat subuh bersama. Rindu menjadi tempatmu bermanja, bercerita atau hanya diam mendengar detak jam. Rindu merapikan anak-anak rambutmu, membiarkanmu terlelap dipangkuanku. Rindu… rindu merasakan benih-benih yang kau semaikan tumbuh, lalu kau rasakan gerakan kecilnya, rindu mengatakan “menantikan kelahiran si kecil”, rindu bahwa tubuh mungil itu hadir atas kuasa Allah SWT, melihatmu mengadzankannya di dadaku, rindu bahwa bibir kecil itu mencecap ASI, rindu bersama mendidik jundi kita, rindu itu semua. Masih banyak kerinduan yang tak ingin aku ceritakan, sisanya biarlah tertoreh pada perjalanan kita mulai hari ini. Ingin kukatakan rindu pada setiap gerak baktiku padamu. Gerak yang penuh harapan “semoga mendapat barokah”.

Akhirnya suamiku, ku sampaikan selamat datang nahkodaku. Bahtera ini engkaulah yang menjalankannya, bawalah kami (aku dan anak-anak kita) pada tepian hakiki, dan aku akan berusaha menjadi kelasi terbaik untukmu. Semoga setiap putaran kemudinya adalah kebaikan. Setiap lajunya adalah keberkahan. Setiap angin yang berhembus adalah keridhoan. Semoga bahtera ini berlayar dengan ketaqwaan, kasih sayang, kesetiaan. Semoga tak ada enggan untuk mengkomunikasikan semuanya secara dialogis, sehingga ada keterbukaan dan kejujuran. Semoga ikatan kita dunia akhirat.

Suamiku, mari bersabar dan bersyukur …

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Yang selalu ingin jatuh cinta padamu setiap waktu Istrimu (http://nowilkirin.blogspot.com/)

Tulisan ini penulis kutip secara sempurna, untuk melihat apa yang sebenarnya diinginkan istri kepada suaminya. Supaya kita sadar bahwa banyak istri yang punya harapan yang sama kepada suami-suaminya.

Mungkin tidak pernah terlintas dalam hati seorang suami, bahwa awalnya seorang istri berusaha menguatkan dirinya untuk mencoba ‘berani’ untuk hidup bersama dengan orang yang sebenarnya mereka belum tahu siapa suaminya ini. Boleh jadi, pada saat mereka ta’aruf calon suami mencoba menyembunyikan kekurangan yang ada pada dirinya. Itu harus dimaklumi oleh seorang calon istri.

Keberanian mereka tersebut sesuatu yang patut diapresiasi. Bayangkan, mereka (para istri tersebut) tidak akan tahu masa depannya dengan kita. Boleh jadi kehidupan mereka bahagia atau sebaliknya. Namun mereka ikhlas untuk hidup bersama menggapai mahligai rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa rahmah.

Karena itulah, tanggungjawab seorang suami, tidaklah mudah. Ia harus mampu menjadi imam, tidak hanya di dunia tetapi juga di akhirat. Ia harus mampu mengarahkan bahtera rumah tangganya menuju keinginan awal ketika mengucap janji dihadapan seluruh keluarga mereka berdua. Namun sayang banyak di antara para suami-istri harus berpisah hidup (cerai) ketika mereka menemui masalah kehidupan. Dengan alasan tidak bisa lagi bersama, kata thalaq dilontarkan dari mulut yang dulunya mengucapkan “Saya terima nikahnya…” Ini karena banyaknya godaan yang selalu datang silih berganti. Bila di antara suami dan istri terbawa emosi dengan masalah-masalah tersebut, maka mahligai rumah tangga yang dibina dengan sebuah keikhlasan awalnya, akan berakhir dengan sebuah kekecewaan.

Tidak selamanya, kehidupan berumah tangga ini selalu dalam ketenangan, kegem­biraan dan kebahagiaan. Suatu saat pasti ada riak-riak gelombang yang kecil maupun besar. Ketika gelombang itu hadir, pertanyaannya. Sanggupkah suami maupun istri kembali bermuhasabah akan cita-cita awal mereka mengikat tali pernikahan. Bila tidak, maka inilah yang disebut dengan ‘bencana rumah tangga’ yang sering menjadi saksi dalam kehidupan kita.

Karena itu, jika si istri mampu membuat surat pertama pernikahan mereka, maka selayaknya suami juga harus mampu membuat surat balasan surat pernikahan tersebut. Setelah keduanya membaca surat tersebut, tidak ada salahnya di bingkai dan cantik dan dipajang di kamar, sebagai bentuk ‘pengingat’ akan cita-cita awal dari keinginan bersama berumah tangga.

()

Baca Juga

Rekomendasi