“Om Telolet Om” Warisan Sibualbuali

Oleh: Syamsul Bahri Ritonga. HEBOH dengan klakson “Te­lolet" atau "Om Telolet Om", ada yang salut dan menujukkan rasa bang­ga, ada yang biasa-biasa saja. Hing­ga jadi tranding topik dan viral ke mancanegara dan mendapat reaksi dari selebriti atau atlet terkenalpun memberi komentar. Misalnya Duo DJ, Boy Band, dan lain-lain. Chris­tiano Ronaldo (pesepakbola Real Ma­drid), menanyakan apa itu "om telolet om". Tidak jelas apa dia senang atau tidak. Sedangkan Lionel Messi (bin­tang Barcelona) mengatakan biasa-biasa saja dan tidak tertarik.

Media cetak dan elektronik, dalam hal ini beberapa penyiaran televisi na­sional marak memberitakan, de­ngan berbagai macam tanggapan dan kemungkinan akibatnya. Dari bebera­pa orang yang diwawancarai, ber­pen­dapat kurang tertarik, biasa-biasa saja. Sementara dari pihak terkait, seperti Kementerian Perhubungan bangga, bahkan akan mengadakan festival "om telolet om". Sebaliknya di tingkat daerah yang lebih memaha­mi dan lebih teknis, akan melarang kar­ena dianggap melanggar aturan am­bang batas suara atau desibel.

Warisan Sibualbuali

Salah satu pionir bus penumpang umum yang berdiri tahun 1937 di Si­pirok ialah Firma (Fa) Sibualbuali, tra­yek Kutaradja (Banda Atjeh) - Tand­jung Karang (Bandar Lampung). Sam­pai dengan tahun 1970, armada bus Sibualbuali produk Amerika Se­rikat, seperti Ford dan GMC, dengan bentuk kepala (cup) panjang sekitar dua meter melandai ke depan merupa­kan tempat mesin. Diatas mesin bagian dalam cup, didesign-lah bebe­ra­pa buah terompet (semacam saxo­pho­ne) dengan berbagai ukuran. Jum­lahnya antara 12-17 buah.

Kenapa sampai sejumlah itu, di­sesuaikan dengan jumlah not-lagu (do-re-mi-pa-sol-la-si-do dan do-si-la-sol-pa-mi-re-do). Jadi 2 x 8 sama de­ngan 16, ditambah satu untuk suara bass, jadilah 17 buah = not suara). Tuts-tuts terompet, ditempatkan di tong­gak stiur sebelah kanan untuk memper­mudah jari-jari sang penge­mudi memainkan “telolet”nya. Te­rom­pet yang ke tujuh belas selain ber­fung­si sebagai bass, juga klakson yang digunakan di lokasi tertentu, sama seperti klakson dump truck se­karang,

Pada masa itu, angkutan bus, belum memiliki tape recorder, apalagi TV, untuk hiburan disepanjang perja­la­nan. Banyak supir (pengemudi) bus Sibualbuali, ada marga Pane, marga Harahap, marga Pulungan, dan ada juga Siregar yang ahli memainkan tuts-tuts terompet tersebut. Penum­pang dan masyarakat lain yang me­nge­tahui tak perlu meminta dan me­mang­gil pengemudi dengan "Om", ka­rena memang tidak ada panggilan "Om" di Sumatera Utara, untuk di­perdengarkan telolet. Begitupun bu­kan hanya bunyi "telolet" semata, te­tapi supir mahir mendendangkan nya­nyian penuh, lagu-lagu gembira, slow (termasuk andung), sedih, dan seba­gai­nya dengan suara instrumentalia.

Tidaklah heran, pada masa itu jika hen­­dak bepergian menumpang bus, ba­nyak gadis-gadis berebut ingin du­duk di depan (ace) di sebelah supir. Tidak lain karena kagum dengan ke­pia­waian sang supir menghibur, ber­nyanyi dengan alat terompet ''telolet" itu tok. Reaksi dari peng­ge­mar khu­susnya pemudi/gadis ter­se­but, ternya­ta meng­akibatkan effek lain, sehingga penge­mudi bisa-bisa juga terganggu kon­sen­trasi me­nge­mu­­dikan kende­raan­nya, di­kha­wa­tir­kan bisa menim­bul­­kan hal yang ku­rang baik dalam per­jalanan. Bisa me­nye­bab­kan kece­la­kaan. Maka konon ce­ritanya, ada juga gadis terten­tu, hing­ga patah hati, bahkan meng­akhiri hidup­nya ka­rena tidak lagi men­de­ngar dan menikmati hebatnya "den­­da­ngan-telolet" nya­nyi­an si supir.

Karena situasi demikian itu pula, aparat penertiban-lalulintas melarang peng­gunaan terompet itu digunakan di perjalanan, Padahal sebenarnya te­rompet bernyanyi biasanya diman­fa­at­kan ditengah perjalanan yang jauh di antara desa ke desa dan antara kota ke kota, dimana ketika itu pada umum­nya adalah masih daerah-dae­rah sunyi sekali. Memang jalur lintas Si­bualbuali melewati hutan dan pegu­nungan.

Sebenarnya, pada masa kejayaan Sibualbuali ini, banyak juga angkutan lain yang mengikut menyediakan te­rompet "telolet" demikian itu, se­perti misalnya bus Risma (dari La­guboti), Adian Bania, Sanggaru­dang, Lubuk Raya, menyusul ALS (1966), dan lain-lain, tetapi dalam memain­kan terom­pet seperti itu tidak semua me­miliki ke­ahlian yang sama.

Lebih lanjut, penulis masih ingat betul, tahun 1974, di Tanah Karo, bus penumpang umum, juga bus jenis GMC yakni tipe yang sama dengan Sibualbuali, trayek Kabanjahe - Medan (yang terminalnya di Jln. K.H.Wahid Hasyim atau Jln. Wampu, terkenal dengan sebutan Simpang Barat), seperti bus Saudaranta, Si­nabung, Sigantang Sira, memiliki te­rompet (klakson) yang persis sama dengan terompet Sibualbuali, tetapi jumlahnya hanya 3 - 4 buah terompet, dan suaranya justru hanyalah sebatas "t­elolet" yang dihebohkan sekarang.

Akhir tahun 1970-an Sibualbuali, ALS, Saudaranta, dan kemudian t­a­hun 2000-an menyusul Lorena m­e­lintasi Sumatera-Jawa-Bali. Si­bual­buali, dan kawan-kawan, dari Kuta­radja (Banda Aceh) - Tandjung Ka­rang (Bandar Lampung) "berte­lo­let" menyeberangi Selat Sunda ke Pulau Jawa lewat Pantura hingga ke Gilima­nuk/Bali. Disepanjang jalur itu Lintas Barat (belum ada Lintas Timur), ru­panya banyak Siregar dari Lembah Si­bualbuali sebagai tukang dinamo dan tukang las, ahli rancang-meran­cang alat "telolet" berkembang di­produk/dipakai bus-bus di Jawa.

Jadi jelaslah "telolet" itu adalah merupakan warisan Sibualbuali. Jika fenomena itu telah ada dari dahulu, mengapa sekarang dihebohkan ?. Adalah tidak lain karena kelompok re­maja seperti di Pantura kurang ke­giatan yang lebih bermanfaat, hanya ke­betulan, namun dengan tak disang­ka-sangka karena pengaruh perkem­ba­ngan Teknologi Informasi (TI) se­ka­rang semua agak aneh, dianggap baru, menjadi bahan dan sasaran un­tuk dipublikasikan. Orang yang be­lum pernah melihat atau mend­e­ngar, pe­nasaran ingin tahu apa itu, walau sifatnya hanyalah sesaat. Sekarang heboh dimana-mana, sedang di Me­dan/Sumatera Utara "telolet" bukan hal istimewa, karena itu "barang" ce­pat dan mudah hilang dengan sen­di­ri­nya.

()

Baca Juga

Rekomendasi