SELAMA bertahun-tahun, banyak teori yang berupaya untuk menjelaskan alasan tidak adanya senyum pada foto-foto zaman dahulu.
Jika Anda suka memperhatikan foto-foto biografi tokoh dunia pra-perang dunia atau hasil jepretan hitam putih, kebanyakan orang dalam foto itu berwajah serius. Abraham Lincoln, Joseph Stalin, hingga keluarga Romanov.
Individu maupun berpose ramai-ramai, semua tidak menunjukakn senyum. Hal ini menimbulkan sejumlah pertanyaan. Salah satunya, apakah orang zaman dulu itu hidupnya tidak bahagia?
Direktur National Portrait Gallery di Canberra, Australia, Angus Trumble menjawab, “Orang-orang dalam sejarah juga tersenyum, tertawa dan bersikap lebih kurang sama dengan kita yang hidup di zaman modern.
Baik secara spontan dan alamiah di ruang-ruang pribadi mereka. Yang membedakan dengan orang sekarang adalah cara manusia bersikap di depan publik.”
Melansir Time, Kamis (5/1), berdasarkan sejumlah catatan, kesehatan gigi dan mulut adalah penyebab orang zaman dulu tidak tersenyum kalau di foto.
Namun Trumble memberikan jawaban yang lebih masuk akal. Menurutnya, teknologi fotografi pada abad ke-19 sifat operasionalnya masih sangat lamban, yakni bisa memakan waktu 30 menit untuk sekali foto.
Ada kemungkinan, mereka sebenarnya sudah menyiapkan senyum terbaik mereka di awal. Akan tetapi, karena pengambilan gambarnya terlalu lama, sunggingan di bibir itu meluntur dengan sendirinya.
“Jika Anda melihat proses pengambilan gambar zaman itu, yang butuh waktu panjang, Anda pasti akan memilih pose yang paling nyaman,” paparnya.
Kemungkinan lain karena orang-orang pada zaman dulu tidak memiliki keharusan untuk berfoto dengan wajah tersenyum. Jadi keharusan untuk tersenyum saat difoto mungkin hanya konsep yang terbentuk pada orang-orang zaman sekarang.
“Gagasan untuk tersenyum saat difoto datang dari dunia kita, seolah-olah alamiahnya harus seperti itu. Tapi kalau senyum secara umum disebut pembawaan, tersenyum di depan kamera bisa jadi memang bukan sebuah respons naluriah manusia,” urai profesor ilmu budaya dan komunikasi, Christina Kotchemidova.
Pakar lain berpendapat, kurangnya ekspresi dalam foto zaman dulu dipengaruhi oleh lukisan yang ada. Meskipun orang-orang kudus digambarkan dengan senyum samar, senyum lebar seringnya diartikan sebagai kegilaan, kemesuman, kebisingan dan kemabukan.
“Pada abad ke-19 foto diambil dalam nuansa formal dan gaya yang paling cocok adalah seperti itu. Apalagi foto pada masa itu dianggap sebagai satu-satunya citra seseorang,” jelas Trumble.
Pada penelitian lebih lanjut, ditemukan sejumlah foto era pertengahan yang menampilkan seorang pria tersenyum di samping temannya yang sedang fokus memegang kartu.
Ada juga pria Afrika-Amerika dengan tangan terangkat tersenyum lebar karena baru saja memenangkan pertandingan tinju.
Semua senyum itu terlihat pada foto-foto peristiwa, dan pada masa itu pengambilan gambar sudah lebih cepat sekira lima menit untuk sekali jepret. Namun untuk kelas masyarakat yang lebih tinggi, mereka tidak akan berpose seperti itu. (oz/knc/grd/es)