Oleh: Yohansen W. Gultom dkk.
Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan hampir 14.000 pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, keseluruhannya dihubungkan oleh perairan. Hampir 2/3 wilayah Indonesia dipenuhi oleh perairan. Dari segi sumber daya alam, sektor perairan juga sangat menjanjikan. Aset komoditi seperti perikanan dan pertambangan juga dimiliki di wilayah perairan. Potensi yang dimiliki ini tentunya harus segera dimanfaatkan secara optimal untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia dan tampil menjadi negara middle power. (Michaella, 2016)
Usaha untuk mewujudkan hal tersebut juga didukung dengan kebijakan Presiden Jokowi melalui pembangunan di sektor maritim. Namun, terjadi dilema dalam pembangunan wilayah maritim di Indonesia. Mulai dari pengadaan industri perkapalan, infrastruktur perairan (pelabuhan dan pertambangan), dan industri lain seperti ikan kaleng, masih sangat minim di Indonesia.
Kondisi miris juga sering terjadi di sektor ekonomi para nelayan. Banyak nelayan di Indonesia yang masih tergolong masyarakat kelas bawah. Permasalahan yang sering terjadi di sektor maritim dapat dilihat dari konservasi dan keamanan laut yang masih banyak menimbulkan masalah. Banyak ekosistem laut yang terganggu akibat sering terjadinya penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan, dan minimnya upaya konservasi laut. Ditambah lagi, keamanan laut kurang terjaga sehingga sering terjadinya penculikan ikan.
Demi menjawab permasalahan tersebut tentunya diperlukan beberapa alternatif. Salah satu yaitu melalui pendekatan sosial budaya masyarakat pesisir. Seperti halnya kearifan lokal yang ada di masyarakat Aceh yaitu Kenduri Laut. Kenduri Laut atau sering disebut dengan Adat Laut merupakan tradisi masyarakat pesisir di Provinsi Aceh.
Kearifan lokal tersebut tentunya memiliki peran penting, demi tercapainya kesejahteraan para nelayan di Pesisir Aceh. Hal ini juga sangat mendukung terlaksananya kebijakan budaya bahari di Indonesia. Melalui kenduri laut sebagai salahsatu budaya bahari di Indonesia, diharapkan mampu mengedukasi masyarakat bahwa betapa pentingnya peran perairan untuk terus dioptimalkan dan dijaga kelangsungannya. Selain itu, kenduri ini dapat mewujudkan budaya gotong royong.
Kenduri laut baru pertamakali muncul pada masa Kerajaan Aceh Darussalam dan dilaksanakan biasanya sekali dalam tiga tahun. Kenduri laut masyarakat Aceh digelar untuk menandai akan dimulainya musim melaut, merayakan pergantian panglima laut, dan dijadikan sebagai salah satu wadah aspirasi para nelayan Aceh untuk menyampaikan keluhan serta masalah yang mereka hadapi kepada pemerintah yang hadir pada pelaksanaan acara tersebut. (Apriana, 2016, h. 59)
Rangkaian acara Kenduri Laut dimulai dengan gotong royong kampung, membersihkan rumah warga dan tempat-tempat khusus lainnya. Hari berikutnya, barulah jamuan besar diselenggarakan. Dini hari, sebelum Subuh, kesibukan pertama adalah menyembelih sapi atau kambing sebagai bahan kari, menu utama. Di acara utama di jamuan besar selalu ada agenda musyawarah antara panglima laut, pawang laut, pemerintah dan masyarakat Aceh.
Salah satu ciri khas keluhuran kenduri laut ini yaitu pantang melaut. Selama kenduri, adat menerapkan larangan melakukan segala kegiatan di laut, mulai mengambil ikan hingga sekedar berenang sekalipun. Di luar hari kenduri, hari Jumat, Idul Fitri, peringatan tsunami, dan beberapa hari besar Islam lainnya. Namun menelaah lebih dalam, tradisi ini menghindarkan laut dari pemanfaatan tanpa istirahat. Pantang melaut adalah desain adat membebaskan laut dari pemanfaatan terus-menerus. Tanpa kehadiran manusia berarti waktu istirahat untuk laut, berarti keleluasaan laut untuk kembali berproduksi dan kembali menghasilkan. Tradisi ini merupakan ajaran adat menghormati alam. (Pertiwi, 2015)
Tidak hanya Aceh saja yang melakukan tradisi Kenduri Laut di beberapa provinsi juga telah melaksanakan kenduri laut seperti Papua, Jawa dan sebagainya. Hal ini membuktikan bahwa tradisi Kenduri Laut merupakan warisan budaya Indonesia yang sesuai dengan budaya bahari bangsa yaitu seorang pelaut (nelayan).
Pelaksanaan Kenduri Laut di Aceh ini bukan sekedar tradisi tanpa ada aturan mekanisme atau regulasi yang mendukung. Di Aceh itu sendiri Adat Laut memiliki pengaruh yang sangat besar dan berbeda dibandingkan dengan provinsi lainnya. Kebudayaan melaut yang sejak dulu sudah ditanamkan dalam jati diri para pendahulu dapat menjadi semangat dan tauladan bagi kita dalam membangun negara. Langkah Presiden Joko Widodo dalam membangun negara Indonesia menjadi middle power dunia tidak akan menjadi impian belaka. Semakin menguatnya kebudayaan bahari, khususnya kebudayaan kenduri laut akan semakin memperkokoh langkah negara dalam menuju middle power dalam perubahan politik Internasional.
Kearifan lokal dalam menjawab tantangan perubahan politik Internasional
Kearifan lokal seperti kenduri laut, khususnya budaya bahari perlu ditanamkan kepada masyarakat Indonesia untuk semakin merawat dan mengoptimalkan SDA laut yang berkelanjutan. Etika masyarakat yang sangat rendah dalam upaya mengkonservasi laut ini menjadi landasan Indonesia tidak bisa berdaulat di maritim. Tradisi yang didukung oleh regulasi Adat Laut di Aceh ini merupakan upaya mensosialisasikan betapa pentingnya mengkonservasi laut. Masyarakat Aceh khususnya di TPI Lampulo selalu menerapkan sistem pantang melaut yang bertujuan agar tidak terjadi eksploitasi terhadap sumber daya alam secara terus menerus. Kebudayaan kenduri laut yang memanfaatkan dan sekaligus mengkonservasi laut dengan baik dapat menjadi contoh bagi daerah-daerah lain di Indonesia.
Penguatan kebudayaan kenduri laut, akan berdampak pada peningkatan dan semakin menguatnya akar kebudayaan cinta tanah air, meningkatnya perekonomian nelayan, serta wilayah laut yang akan semakin bersih dan terjaga. Konsepsi budaya ini juga telah banyak diwarisi oleh para pendahulu kita, pengalaman, cita-cita, dan semangat perjuangan bagi kita semua, terutama dalam mewujudkan kemakmuran, kebahagiaan, serta kejayaan bangsa melalui bahari. (Djoko, 2005, h. 9)
Selain menjaga budidaya laut, budaya bahari juga berperan dalam peningkatan perekonomian dengan memegang prinsip dan semangat bahari. Semakin kuat budaya bahari ini kita tanamkan dalam diri masyarakat, niscaya kita mampu menjadi negara yang berpendirian teguh, kuat, dan mandiri. Indonesia pasti mampu menjawab tantangan perubahan politik lokal maupun internasional. ***
Penulis adalah mahasiswa.