Oleh: Syafitri Tambunan.
FASILITAS publik dalam bentuk gedung pemerintahan memang menjadi salah satu poin penting bagi kelengkapan sebuah daerah. Karenanya, desain gedung pemerintahan di setiap daerah terkadang memiliki kesamaan, namun ada juga yang menggunakan keunikan tersendiri sebagai pembeda.
Bangunan berarsitektur rumah panggung di Kabupaten Batubara misalnya, menjadi salah satu fasilitas gedung pemerintah yang cukup unik di Indonesia. Berlokasi dekat dengan Jalan Lintas Sumatera Kabupaten Batubara, Kantor Camat Air Putih terlihat artistik. Biasanya, gedung-gedung pemerintahan hanya didesain sesuai fungsinya, namun Pemkab Batubara merasa perlu mengedepankan arsitektur vernakular khas bangunan pesisir.
Arsitektur vernakular adalah arsitektur yang terbentuk dari proses yang berangsur lama dan berulang-ulang sesuai dengan perilaku, kebiasaan, dan kebudayaan di tempat asalnya. Vernakular, berasal dari bahasa Latin, vernacullus yang berarti lokal, pribumi (penduduk asli). Dalam kaidah arsitektur, vernakular menunjuk pada tipe arsitektur yang asli dengan waktu atau tempat tertentu (tidak mengadopsi bentuk dari luar daerah).
Antara arsitektur vernakular dengan arsitektur tradisional memang punya konsep yang berhubungan. Arsitektur vernakular dapat diambil dari solusi yang diterima secara kultural, tapi apabila hanya melalui pengulangan saja maka dapat menjadi suatu arsitektur tradisional. Beberapa hal yang mempengaruhi arsitektur vernakular, yaitu: iklim, budaya, temat tinggal, lingkungan, dan bahan bangunan.
Struktur arsitektur vernakular pada bangunan Kantor Camat Air Putih di Jalan Jenderal Sudirman Indrapura in, didominasi serba cokelat. Bangunan khas rumah panggug ini bermaterial utama kayu dengan dua jalur masuk ke pintu utama melalui dua tangga di kanan-kiri balkon fasad depannya.
Sentuhan bangunan modern ada pada atap seng birunya yang dipadu unik dengan lisplang berornamen pucuk rebung khas rumah tradisional Melayu pesisir. Desain atapnya juga unik yang semi-limas bertingkat. Kompleks perkantoran ini ramai didatangi masyarakat setempat untuk berurusan atau mendapatkan layanan administrasi dan kependudukan.
Setidaknya ada tiga bangunan berarsitektur vernakular di kompleks kantor camat tersebut. Pertama, gedung inti dengan dua sisi anak tangga menuju balkon depan. Uniknya, balkon ini tidak hanya menampilkan kesan khas dan berseni, namun juga berfungsi sebagai ruang tunggu yang dilengkapi furnitur kursi dan meja.
Pada bagian belakang bangunan inti, juga terdapat balkon dan kamar khusus di bawahnya. Khas rumah panggung ini kolongnya cukup tinggi atau seukuran 1,5 kali tinggi orang dewasa, sehingga bisa leluasa dilewati.
Beberapa meter dari sisi kanan bangunan inti, juga berdiri bangunan bertipe vernakular yang diperuntukkan sebagai kantor staf. Sedikit berbeda dengan bangunan inti, bangunan kantor staf ini terlihat melebar dari tampak depan. Pembeda lainnya juga terdapat pada penempatan dua tangga utamanya yang berada di setiap ujung kanan-kiri bangunan, sehingga titik temunya dipisahkan sebuah ruang yang memanjang.
Di sisi kiri bangunan inti terdapat musala yang ukurannya terlalu kecil dibanding kedua bangunan tadi. Meskipun tampilan bentuk dan warnanya tetap senada dengan kedua bangunan di sisinya.
Keunikan kantor camat ini memang menjadi daya tarik tersendiri. Namun secara fungsional sebagai kantor layanan publik, idealnya bangunan pemerintahan dapat mengikuti standar desain yang ada. Agar masyarakat yang datang untuk mendapatkan layanan tidak repot mengakses gedung pemerintahan ini.
Praktisi Arsitek, Peranita Sagala, mengakui jika bangunan tersebut memang unik. Namun dari sisi desainnya menyalahi kelayakan sebuah kantor pemerintahan. "Yang paling mudah dilihat (kesalahan desainnya), minim akses bagi penyandang difabel. Tidak memiliki lift atau setidaknya ram."
Untuk bisa sampai di bagian atas harus menaiki sejumlah anak tangga, begitu juga saat turun. Ketiadaan lift atau ram menyulitkan warga yang berkebutuhan khusus, seperti difabel dan para lansia. Semestinya kantor camat (gedung pemerintahan) bisa memudahkan semua warganya. "Difabel dan para lansia pasti kesulitan menaiki anak tangga itu. Tidak ergonomis, sebab idealnya anak tangga sektiar 15-18 cm, namun di bangunan ini mencapai 20 cm lebih," paparnya.
Meski ide kekhasan budaya pada bangunan berarsitektur vernakular itu bagus, namun semestinya tidak mengabaikan fungsionalnya sebagai area publik. Karena itu harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakatnya yang beragam. "Idenya bagus. Tapi perlu penyesuaian dengan pengguna bangunan agar mudah diakses semua warganya,” jelasnya.