Oleh: Dr. Richard Daulay, MTh, MA.
Gereja Methodist Indonesia (GMI) adalah sebuah gereja yang unik di Indonesia, khususnya di Sumatera Utara. Paling sedikit ada tiga keunikan GMI. Pertama, berbeda dengan gereja-gereja di Sumatera Utara yang pada umumnya adalah “gereja suku”, GMI bukanlah gereja suku. GMI adalah sebuah gereja multi-etnis, yang di dalamnya terdapat kelompok etnis utama yaitu Batak Toba dan kelompok etnis Tionghoa, ditambah lagi kelompok etnis lain seperti Simalungun, Karo, dan lain-lain.
Kedua, GMI adalah satu-satunya gereja di Sumatera Utara yang bukan berlatar belakang zending Eropa (seperti HKBP, GKPI, GKPS, BNKP, GBKP) tetapi berlatar belakang misi Amerika. Itu sebabnya sistem organisasi GMI sangat kental dipengaruhi oleh sistem organisasi Gereja Methodist Amerika sama halnya dengan Gereja Methodist di Malaysia dan Singapura. Ketiga, sejak awal sejarahnya (1905) sampai sekarang GMI terkenal dengan kiprahnya dalam dunia pendidikan, mulai dari STK sampai perguruan tinggi. Di kota Medan saja, terdapat belasan Peguruan Kristen Methodist Indonesia (PKMI) yang mempunyai puluhan ribu siswa.
Sesuai ketentuan yang diatur dalam disiplin (peraturan) GMI, pada tanggal 18-22Oktober ini, GMI akan menggelar sidang Konferensi Agung (Konag) ke-13. Sidang empat tahunan ini mengambil tempat di tepi Danau Toba, Parapat, di Hotel Niagara, yang merupakan hotel termewah di Parapat saat ini, yang akan dihadiri sekitar 400 delegasi, di mana jumlah delegasi pendeta (rohaniwan) sama dengan delegasi warga gereja (lay people).
Ada tiga tugas pokok Konferensi Agung: (1) Merevisi (mengamandemen) Disisplin GMI; (2) Menetapkan program Kerja GMI empat tahun ke depan; (3) Memilih Bishop GMI. Sesuai dengan tradisi dan ketentuan dalam peraturan atau Disiplin GMI, buku Disiplin itu selalu diamandemen sekali empat tahun pada Konferensi Agung agar Disiplin itu mampu menjawab tuntutan pelayanan. Program kerja empat tahun juga harus ditetapkan yang akan mendasari misi dan kegiatan GMI selama empat tahun ke depan. Dan, untuk menjalankan kedua hal di atas (Disiplin dan Program), maka pemimpin (Bishop) dipilih juga dalam Konferensi Agung.
Mengembalikan GMI kepada sistem satu Bishop
Dari semua agenda-agenda tersebut di atas, ada satu masalah yang harus dipecahkan dalam Konag yang akan datang ini, yaitu mengembalikan GMI kepada sistem satu Bishop. Bukan rahasia lagi bahwa sejak tahun 2005 yang lalu sampai sekarang, GMI terus-menerus dilanda konflik internal yang sangat serius, yang sampai sekarang akar persoalan yang menimbulkan goncangan itu belum dipecahkan dengan tuntas.
Kita tahu bahwa selama periode 2005-2013 GMI di Wilayah I (Sumatera bagian Utara), yang saat itu dipimpin Bishop H. Doloksaribu, mengalami “perpecahan” dengan lahirnya Konferensi Tahunan Wilayah Sementara (KTWS) dipimpin oleh Pdt. Fajar Lim, yang didukung oleh enampuluhan pendeta GMI dan puluhan ribu warga jemaat GMI.
Secara organisatoris perpecahan ini dapat diselesaikan pada Konferensi Agung 2013 yang lalu di Jakarta, dengan keputusan merekonsiliasikan kedua belah pihak (Wilayah I dan KTWS) untuk kembali ke Konferensi Tahunan Wilayah I.
Saya dan beberapa teman pendeta berperan penting dalam proses rekonsiliasi itu. Anda dapat membaca buku saya berjudul “Episkopal Koneksional” (BPK-GMI, 2013) yang di dalamnya dimuat seluk-beluk persoalan, sampai kepada proses penyelesaian persoalan.
Ternyata, walaupun sudah ada rekonsiliasi tahun 2013, pada periode 2013-2017 ini muncul lagi persoalan lain dalam GMI, khususnya di Wilayah I. Tetapi sebagai GMI yang berciri koneksional, persoalan itu juga berimbas ke Wilayah II (Jawa dan sekitarnya). Sekarang ini, ada sekiar 26 orang pendeta GMI di Wilayah I, yang statusnya “terkatung-katung” karena Konferensi Tahunan Wilayah I membuat keputusan kontroversial terhadap mereka, yaitu “oknumnya ditolak”, hanya karena berbeda pandangan tentang masalah internal yang terjadi di GMI, berkaitan dengan isu-isu penyelewengan yang sempat menjadi urusan yang berwajib (polisi), yang sampai sekarang menciptakan pro-kontra dalam internal GMI.
Konferensi Tahunan Wilayah II merasa prihatin dan terpanggil untuk mengintervensi konflik internal yang terjadi di Konferensi Tahunan Wilayah I itu. Itulah mengapa saat ini hubungan antara kedua Bishop (Wilayah I dan Wilayah II) sedang berada di titik nadir. Memang sejak adanya dua bishop di GMI (sejak 2001) hubungan kedua “bishop” tidak pernah serasi, tetapi berjalan sendiri-sendiri, jauh dari hakekat sistem “Dewan Bishop” (Council of Bishop) seperti yang berlaku di Gereja Methodist Amerika.
Persoalannya adalah, kendati GMI telah mengadopsi berbagai sistem organisasi Gereja Methodist Amerika, termasuk mempunyai dua Bishop, tertapi dalam kenyataannya GMI belum mampu memahami secara utuh sistem organisasi Gereja Methodist Amerika itu, termasuk ketika GMI mengadopsi sistem dua Bishop sejak 2001. Jadi GMI masih akan terus diterpa oleh konflik internal jika akar persoalan belum diputus. Itu makanya saya menyatakan GMI di persimpangan jalan.
Sebagai seorang pendeta senior, dan sebagai orang yang sering disebut para junior sebagai “pakar” sejarah Methodist di Indonesia, menurut diagnosa saya hal penting yang harus diputuskan dalam Konferensi Agung nanti adalah mengembalikan GMI kepada sistem satu Bishop, dengan beberapa Pimpinan Wilayah (istilah Gereja Methodist Singapura dan Malaysia “President”).
Sekarang ini GMI mempunyai dua Bishop yang secara konstitusional memimpin GMI secara bersama-sama melalui wadah “Dewan Bishop”, ternyata kepemimpinan “Dewan Bishop” seperti digariskan dalam Disiplin GMI tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya.
Sebaliknya, sejak GMI memutuskan mempunyai dua Bishop tahun 2001, selama 16 tahun ini GMI tidak pernah aman, tetapi selalu digoncang oleh berbagai konflik internal, seperti yang telah saya jelaskan tadi. Kedua wilayah dan kedua pemimpinan Wilayah (Bishop) tersebut terseret ke dalam persaingan, kecemburuan, bahkan mengutamakan kepentingan wilayah masing-masing.
Ego wilayah masing-masing menjadi semakin mengkristal yang melemahkan GMI itu secara keseluruhan.Hanya keledai yang terjatuh dua kali ke dalam lobang yang sama. Gereja yang bijaksana tidak mau terbentur dua kali ke tembok yang sama.
Lahirnya sistem dua bishop di GMI mempunyai mempunyai latar belakang sebagai berikut. Setelah adanya PW di Wilayah II, maka Bishop GMI yang berkedudukan di Medan (Wilayah I) merangkap sebagai Pimpinan Wilayah I dan sekaligus sebagai Bishop GMI secara keseluruhan. Kondisi ini ternyata menimbulkan kecemburuan, bahwa Konferensi Tahunan Wilayah I lebih “tinggi” dari Konferensi Tahunan Wilayah II, karena Wilayah I dipimpin oleh seorang Bishop sedangkan Wilayah II oleh seorang PW. Maka tokoh-tokoh GMI di Wilayah II bersama PW II mengusulkan ke Konferensi Agung 2001 supaya Wilayah II juga mempunyai Bishop.
Opini negatif
Posisi Bishop GMI Wilayah I (HD) saat itu sangat kritis, karena kepemimpinannya diterpa berbagai opini yang negatif, termasuk menyangkut statusnya dalam Konferensi Agung 2001 itu yang dianulir oleh Badan Pertimbangan Agung (BPA). Pendek cerita, Konferensi Agung 2001 akhirnya memilih dua Bishop, yaitu Pdt. Bakhtiar Kwee dan Pdt. RPM. Tambunan (yang sudah jauh-jauh hari mempersiapkan diri dalam satu paket). Dari sejak saat itulah sistem pemilihan dua Bishop selalu dilakukan dengan sistem “paket” yang secara sistematis telah merusak kesatuan GMI sebagai tubuh Kristus.
Mengenai ide kembali ke sistem satu Bishop itu, saya sudah menjelaskan kepada sejumlah pendeta dan warga gereja. Ide ini juga sangat disokong oleh Bishop RPM Tambunan, yang sudah mengalami langsung “mudarat” GMI berbishop dua orang. Saya sudah tanya Bishop Amat Tumino (Pimpinan Konferensi Tahunan Wilayah II, saat ini), dan beliau juga setuju GMI kembali ke satu Bishop. Bahkan Bishop D.M. Manurung, saya dengar, pada awalnya sangat setuju GMI kembali ke satu Bishop. Tetapi entah karena dipengaruhi oleh siapa, katanya beliau berubah haluan. Tetapi saya yakin, sebagai orang yang sudah mengalami langusng “prahara” yang terjadi selama 8 tahun dalam GMI, jauh di lubuk hatinya pasti lebih setuju jika GMI kembali ke satu Bishop.
Akhirnya, semua terpulang kepada Konferensi Agung 2017 itu nanti. Yang pasti, dalam Konferensi Agung ini saya tidak mempunyai agenda pribadi. Saya tidak memenuhi syarat (usia) lagi mencalonkan diri sebagai Bishop. Saya juga tidak mempunyai “vested interest” tentang siapapun yang akan dipilih menjadi Bishop. Agenda saya hanya satu: semoga hidup saya dipakai oleh Tuhan menjadi berkat bagi GMI.
Bagaimana nanti cara kerja satu orang Bishop dan beberapa Pimpinan Wilayah itu nanti?Sudah ada contoh yang bagus. Di Malaysia dan juga Singapura hanya ada satu Bishop, dan beberapa Presiden (PW). Di Gereja Methodist Malaysia, Konferensi Tahunan diorganisir berdasarkan bahasa: Chinese, English, Tamil, Iban (Serwak).
Nanti, Bishop hanya merupakan pimpinan nasional secara umum, yang mengurusi masalah-masalah pastoral, kordinasi antar Presiden (Pimpinan Wilayah), seremonial seperti penahbisan pendeta, memimpin Konferensi Agung, membangun hubungan dengan mitra-mitra internasional dan perwakilan terhadap urusan nasional (Pemerintah), representasi GMI dalam gerakan ekumenis dan lain-lain. Bishop tidak lagi memimpin rapat kabinet dan tidak lagi terbeban mengatur penempatan pendeta. Sebagian Power Bishop itu dibagi (dedelegasikan) kepada Pimpinan Wilayah untuk mengurusi masing-masing Konferensi Tahunan, seperti memimpin Konferensi Tahunan, rapat Kabinet, membuat penempatan dan lain-lain. Jadi Bishop tetap merupakan “pimpinan Umum” yang mengordinasikan semua Pimpinan Wilayah melalui sidang-sidang rutin mereka. Tentu semua ketentuan-ketentuan berkaitan dengan hal-hal tersebut akan diatur dalam pasal-pasal Disiplin nantinya.
Dan, saya berpendapat dan akan mengusulkan agar Konferensi Agung nanti menetapkan sebuah “Konferensi Agung Istimewa” khusus membahas dan memutuskan amandemen Disiplin GMI, supaya hasilnya bisa mendekati sempurna, tentu setelah Panitia Disiplin atau tim yang dibentuk untuk itu mempersiapkan naskah Disiplin sebaik-baiknya.
Dengan adanya satu Bishop dan beberapa Pimpinan Wilayah, tidak terjadi lagi “perang syaraf” antara dua Bishop seperti selama ini. Tidak terjadi lagi dualisme dalam hubungan dengan mitra luar negeri, misalnya dengan General Board of Global Ministry, United Methodist Church, Amerika, seperti selama ini.
Tidak terjadi lagi kebingungan di PGI ketika hendak mengundang representasi GMI dalam sidang-sidang PGI seperti selama ini, dan seterusnya.
Bagi saya hal-hal di ataslah yang paling penting. Kalau soal siapa yang akan terpilih menjadi Bishop, bagi saya itu adalah soal kedua. Memang banyak orang datang ke Konferensi Agung hanya untuk “memilih Bishop”. Itu jelas salah besar. Keyakinan saya Tuhanlah yang memilih Bishop sebagai hambaNya. Memang ada Bishop yang “terpilih” dalam Konferensi, tetapi itu belum tentu “dipilih” oleh Tuhan. Seseorang “terpilih” (elected) atau “dipilih” (chosen), dapat dilihat dari buah dan kinerjanya nanti.
Kepada warga GMI saya ajak untuk berdoa kepada Tuhan, agar GMI kembali ke jati dirinya sebagai gereja, bukan orgaisasi sekuler seperti partai politik. Konferensi Agung sesungguhnya adalah “pesta iman”, sama seperti Konferensi Agung di Amerika, dan juga Sidang Raya PGI, yang didesain sebagai “Kebaktian Kebangunan Rohani” (KKR), di mana dalam acara pembukaan dan penutupan, bahkan setiap ibadah pagi dan malam, warga jemaat berbondong-bondong datang beribadah bersama.
Kepada semua peserta (delegasi) Konferensi Agung saya himbau agar menjauhkan diri dari segala jenis “politik uang” (money politic). Saya sangat yakin, jika kita menerima hadiah atau “uang” dengan janji mendukung seseorang, kita sedang mencuri “uang Tuhan”.
Dan harap diingat “Apa yang dicuri dari Tuhan, pasti akan dicuri oleh setan” (Natinagko sian Debara, ingkon ditanagko sibolis”). Akhirnya saya sampaikan kepada GMI: Selamat Berkonfrensi Agung.***