Oleh: Fadil Abidin
Istilah pribumi kembali diperbincangkan ke publik. Padahal melalui UU No. 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, semua pejabat negara dan warga bangsa, agar menghindari pemakaian istilah pribumi.
Selain UU tersebut, hal ini juga diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 26 tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan Program, ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintahan.
Penggunaan kata pribumi dan non pribumi diganti dengan kata Warga Negara Indonesia (WNI). Istilah pribumi dan non pribumi jangan lagi dikemukakan di ruang publik untuk menghindari pertikaian antar etnis yang tengah mewabah di era reformasi saat itu.
Gubernur DKI Jakarta terpilih, Anies Baswedan menyampaikan pidato politik pertamanya setelah resmi dilantik oleh Presiden Joko Widodo. “Di Jakarta, kolonialisme itu di depan mata, dirasakan sehari-hari. Dulu kita semua pribumi ditindas dan dikalahkan, kini saatnya kita menjadi tuan rumah di negeri sendiri,” ujar Anies.
Ungkapan “pribumi” ini menjadi trending topic, menjadi perbincangan di media massa dan media sosial. Polarisasi pendapat pun terjadi, ada yang pro dan kontra. Munculnya istilah pribumi dan non pribumi kerap menjadi penyebab terpecah belahnya persatuan dan kesatuan bangsa. Biasanya orang yang merasa dirinya pribumi akan bertindak diskriminatif terhadap orang lain yang dianggapnya sebagai non pribumi, sehingga tidak terciptanya nilai-nilai Bhineka Tunggal Ika yang menyatukan seluruh warga negara Indonesia.
Pengertian pribumi secara genealogis disebut sebagai penduduk asli, yaitu setiap orang yang lahir di suatu tempat, daerah, wilayah atau negara, dan menetap di sana dengan status orisinal atau asli atau tulen (indigenious) sebagai kelompok etnis yang diakui sebagai suku bangsa bukan pendatang dari daerah, wilayah, atau negeri lainnya. Pribumi bersifat autochton (melekat pada suatu tempat). Secara lebih khusus, istilah pribumi ditujukan kepada setiap orang yang terlahir dengan orang tua yang juga terlahir di suatu tempat tersebut.
Dalam konteks “pribumi” kewilayahan atau daerah, pengertian ini menyebabkan, suku A yang bertransmigrasi ke daerah suku B, maka suku A tidak bisa disebut sebagai pribumi. Pengertian “pribumi” versi inilah yang kerap menyebabkan konflik antar etnis di masa lalu. Integrasi antar etnis di Indonesia tak mungkin tercapai jika istilah ini kemudian disalahartikan. Lalu dikeluarkanlah UU dan Inpres tersebut agar istilah pribumi dan non pribumi tidak dipakai lagi di perbincangan publik.
Istilah Pribumi
Pada masa kolonial Belanda, pribumi dipakai sebagai istilah bahasa Melayu untuk Inlanders, salah satu kelompok penduduk Hindia Belanda yang berasal dari suku-suku asli Kepulauan Nusantara. Oleh karena itu, penduduk Indonesia keturunan Cina, India, Arab (semuanya dimasukkan dalam satu kelompok, Vreemde Oosterlingen), Eropa, maupun campuran sering dikelompokkan sebagai non pribumi meski telah beberapa generasi dilahirkan di Indonesia.
Pengelompokan pribumi dan non pribumi di masa kolonial tidaklah bersifat rasisme. Tapi lebih kepada kepentingan pemerintah kolonial untuk memudahkan sistem hukum yang berlaku. Di masa itu, selain hukum kolonial buatan Belanda (yang sekarang menjadi KUHP), berlaku juga hukum adat berdasarkan sukunya, dan hukum agama berdasarkan agamanya (terutama yang beragama Islam) walaupun tidak secara keseluruhan.
Pengelompokan tersebut juga untuk menegaskan kelompok strata sosial. Orang Belanda atau orang Eropa lainnya akan diberi keistimewaan, baik dalam pekerjaan, penggajian, jabatan, kehormatan, larangan penggunaan bahasa Belanda untuk kelompok tertentu, dan sebagainya.
Saat ini sebenarnya tidak ada satupun produk hukum, undang-undang, atau peraturan yang menyebut istilah pribumi dan non pribumi. Yang ada ialah istilah warga negara Indonesia (WNI) dan warga negara asing (WNA). Pasal 26 UUD 1945 Ayat (1) : Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.
Dalam konteks pidato pelantikan Anies sebagai Gubernur DKI Jakarta, timbul pertanyaan. Pertama, siapa “pribumi” yang dimaksud? Apakah orang atau suku asli di Indonesia? Jadi apakah Arab, Cina, India, dan keturunan orang Eropa tidak termasuk dalam kelompok ini.
Kedua, apakah istilah “pribumi” berkorelasi dengan jabatan Anies sebagai Gubernur DKI Jakarta, untuk melindungi dan membebaskan “pribumi” Jakarta dari penindasan orang-orang non pribumi? Pribumi atau orang asli (indigenious) wilayah Jakarta adalah orang Betawi. Orang Betawi dari waktu ke waktu secara mayoritas memang terpinggirkan di tanah airnya sendiri.
Lalu, siapa yang menindas dan mengalahkan pribumi di Jakarta? Konteksnya dalam hal ini adalah lawan kata pribumi yaitu non pribumi. Apakah mereka Arab, Cina, atau India? Kita tahu ketiganya memiliki populasi yang cukup besar di Jakarta. Atau bisa juga yang menindas itu suku-suku di luar Betawi. Kenyataan memang, penguasaan tanah, perekonomian, dan jabatan-jabatan publik lebih banyak dikuasai mereka yang bukan Betawi. Bisa Jawa, Sunda, Batak, Padang dan lain-lain.
Apakah dengan nukilan pidato, “...dulu kita semua pribumi ditindas dan dikalahkan, kini saatnya kita menjadi tuan rumah di negeri sendiri,” ujar Anies. Sebagai Gubernur Jakarta, apakah “pribumi” Jakarta dalam hal ini orang Betawi akan diprioritaskan untuk menduduki jabatan atau diberi keistimewaan tertentu agar bisa menjadi tuan di tanahnya sendiri?
Kerancuan
Kerancuan terjadi karena Anies berpidato layaknya bukan sebagai Gubernur Jakarta, tapi sebagai Presiden Republik Indonesia. Sehingga istilah pribumi dan non pribumi pun menjadi rancu. Apakah pibumi yang dimaksud bersifat nasional sesuai pengertiannya yang ditetapkan pemerintah kolonial Belanda dulu. Atau pribumi tersebut sebagai istilah kedaerahan untuk membela dan melindungi warga asli Jakarta.
Kerancuan waktu juga terjadi. Apakah Anies berbicara tentang kembali ke masa lalu (ketika VOC melantik Gubernur Batavia). Atau Anies berbicara tentang masa kini? Tapi dengan menggunakan kata ‘kini’ yang menunjukan keterangan waktu. Anies sebenarnya sudah membuat batasan yang jelas antara periode Anies-Uno dengan masa gubernur DKI sebelumnya. Yaitu masa jabatan Jokowi-Ahok, Ahok-Djarot, serta puluhan gubernur-gubernur sebelumnya. Dari dulu, para gubernur sebenarnya telah membuat orang Betawi tidak menjadi tuan di atas tanah mereka sendiri. Dan kini saatnya, ketika Anies berkuasa, orang Betawi harus menjadi tuan rumah di negeri sendiri?
Sesungguhnya masyarakat mungkin bingung, bagaimana bisa Anies mengangkat isu ini. Karena beberapa waktu lalu beredar foto mesra Anies bersama pengusaha-pengusaha Tionghoa. Anies seolah ingin merangkul semua pihak untuk pembangunan Jakarta.
Mengangkat isu politik identitas sama saja membuat sebuah kemunduran. Bangsa Indonesia yang multi etnis dan berbagai agama ini harus lebih mengedepankan rasa nasionalisme. Tidak lagi bicara soal mayoritas dan minoritas, pribumi dan non pribumi, investasi asing atau investasi dalam negeri. Semuanya dibutuhkan dan harus berperan serta.
Tuduhan pribumi dan non pribumi bisa saja menjadi alasan bagi permusuhan antar suku di Indonesia. Misalkan, suku Jawa bukanlah “pribumi” di Pulau Sumatera, sehingga dilarang punya hak untuk hidup sejahtera atau dipilih menjadi kepala daerah, dan sebagainya. Terus terang politik identitas ini berbahaya bagi generasi muda kita.
Lagi pula jika belajar sejarah, tidak ada satu golongan pun yang tidak melakukan perlawanan terhadap penjajah. Semuanya ditindas oleh penjajah. Bahkan etnis Tionghoa yang selama ini dituduh mendapat keistimewaan di masa kolonial, ternyata beberapa kali “dibantai” oleh pemerintahan Belanda karena dianggap membangkang.
Saat ini semua harus memberikan kontribusi pada pembangunan Indonesia. Semua etnis dan agama bersama-sama mengharumkan nama Indonesia dengan berprestasi dalam berbagai bidang. Untuk menghilangkan isu pribumi dan non pribumi ternyata tidak cukup dengan UU dan Instruksi Presiden. Tapi kita harus bersama-sama membiasakan diri untuk tidak mengitimidasi dan membeda-bedakan suatu ras atau suku manapun. Kita adalah adalah sama-sama Indonesia. ***
Penulis adalah pemerhati masalah sosial-kemasyarakatan.