Oleh: Syafitri Tambunan. ARSITEKTUR rumah berkolong menjadi bagian dari bangunan tradisional di Indonesia masa lalu. Kolong ini dibuat dengan tujuan mengantisipasi berbagai gangguan, misalnya ancaman banjir atau masuknya hewan liar. Selain fungsional, desain bentuk rumah berkolong (panggung) tersbut dibuat sesuai kebutuhan dan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat.
Bangunan berkolong ini sudah tak asing lagi bagi khasanah arsitektural nusantara. Dari beragam jenis bangunan tradisional, tipe ini menjadi arsitektur dominan bagi rumah tradisional Indonesia yang kini jumlahnya berkurang drastis.
Geografis Indonesia yang terdiri dari beberapa pulau, membuat bangunan vernakular ini menyebar dari Aceh hingga Papua. Di Pulau Sumatera saja, hampir setiap provinsi memiliki khasanah arsitektur tradisional rumah panggung.
Di Aceh, masyarakatnya menyebut sebagai rumoh Aceh atau krong bade. Rata-rata bertipe sama, dengan tiang penyangga dan kolong berstruktur tinggi 2,5 - 3 meter dari permukaan tanah. Keseluruhan rumah ini dibuat dari bahan kayu, kecuali atapnya berbahan anyaman daun rumbia atau daun enau, serta lantainya berbahan bambu.
Pada rumoh Aceh, kolong rumah biasanya digunakan sebagai gudang. Juga untuk aktivitas menenun bagi para wanitanya. Karena mempertimbangkan segi ketahanan, struktur bentuk, dan bernilai bagi kehidupan penghuninya, rumah ini pun tidak bisa dibangun sembarangan. Karena itu terdapat beberapa aturan wajib sebelum membangun rumah adat ini.
Kemudian di Sumatera Utara terdapat rumah bolon khas Suku Batak. Dahulu bangunan ini merupakan rumah kediaman bagi 13 raja-raja Batak. Seiring perkembangannya, bangunan ini kemudian digunakan sebagai rumah penduduk suku Batak. Karena sulit mendapatkan orang yang paham desain arsitektur aslinya, kini bangunan tersebut jarang dibuat kembali.
Rumah bolon sangat fungsional yang terbagi beberapa ruang berdasarkan peruntukannya. Pada kolong rumahnya, selain sebagai gudang juga untuk kandang ternak. Secara umum, bagian dalam rumah adalah ruang yang luas tanpa sekat, namun tetap dipisahkan oleh aturan adat yang membatasi dan mengikat setiap anggota keluarga maupun para tamu yang datang.
Selain kolongnya, ciri khas rumah bolon ada pada atapnya yang bentuknya seperti pelana kuda, dengan sudut yang sangat sempit sehingga cukup tinggi. Dindingnya pendek tapi cukup untuk berdiri karena rumah tidak dilengkapi dengan plafon. Dinding bagian atas dilengkapi dengan anyaman-anyaman yang mempercantik penampilan rumah.
Di atas pintu depan terdapat gorga atau lukisan hewan, seperti cicak dan kerbau yang didominasi merah, hitam, dan putih. Cicak merupakan simbol, masyarakat Batak adalah masyarakat yang memiliki rasa persaudaraan yang begitu kuat. Sedangkan kerbau sebagai simbol ungkapan terimakasih.
Rumah tradisional di Riau juga memiliki tipe yang hampir sama, yakni berkolong dengan tiang-tiang penyangga. Salah satunya rumah lontik atau rumah lancang atau juga pencalang. Nama lontik diberikan berdasarkan bentuk perabung atapnya yang lentik ke atas, sedangkan lancang atau pencalang karena bentuk hiasan kaki dindingnya berbentuk perahu atau pencalang.
Bentuknya persegi panjang dan bertipe bangunan berkolong. Kekhasnya ada pada atap yang kedua ujungnya melengkung ke atas. Hal ini mengandung makna bahwa awal dan akhir hidup manusia akan kembali kepada Tuhan Yang Maha Pencipta.
Bangunan tradisional lontik kaya ragam hias, mulai dari bagian bawah (tangga), atap sampai ke cucurannya. Dominsi warna pada ragam hias rumah lontik adalah hijau, bermakna kesuburan. Sedangkan warna lain, seperti kuning sebagai lambang kejayaan, putih sebagai lambang kebersihan, ketabahan hati, dan persaudaraan, merah lambang keberanian, biru lambang kedewasaan, dan hitam sebagai lambang kesungguhan.
Rumah Limas
Berikutnya, masyarakat Provinsi Sumatera Selatan mengenal bangunan tradisional rumah limas. Bangunan ini tentunya berbentuk limas dengan lima ruangan yang disebut dengan kekijing. Hal ini menjadi simbol atas lima jenjang kehidupan bermasyarakat, yaitu usia, jenis, bakat, pangkat, dan martabat. Detail setiap tingkatnya pun berbeda. Tingkat atau kijing yang pada rumah Limas menandakan garis keturunan asli masyarakat Palembang. Hiasan atau ukiran yang ada di dalam rumah tersebut memiliki simbol tertentu.
Rumah gadang di Istano Basa Pagaruyung, Sumatera Barat juga merupakan citra bangunan tradisional dengan tipe rumah kolong. Ciri khas dan keunikan ada di bagian atapnya. Istano Basa pernah terbakar dan dibangun kembali. Pada 2013 pembangunan kembali Istano Basa Pagaruyung rampung dan diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Keunikan rumah adat ini dari bentuk puncak atapnya yang runcing menyerupai tanduk kerbau. Dulu atap ini berbahan ijuk yang tahan sampai puluhan tahun, namun kini banyak yang beratap seng. Desain rumah gadang berbentuk empat persegi panjang dan dibagi dua bagian, muka dan belakang. Bangunan tradisional ini dibina dari tiang-tiang panjang, bangunan rumah dibuat besar ke atas, namun tidak mudah rebah oleh goncangan.
Wilayah Minangkabau sejak dulu rawan gempa karena berada di pegunungan Bukit Barisan, makanya arsitektur rumah gadang juga memperhitungkan desain tahan gempa. Seluruh tiang rumahnya tidak ditanamkan di tanah, tetapi bertumpu di atas batu datar (umpak) yang kuat dan lebar. Seluruh sambungan (pertemuan) tiang dan kasau (kaso) besar memakai pasak kayu.
Makanya ketika terjadi gempa, rumah tersebut akan bergeser secara fleksibel seperti menari di atas batu datar tempat tonggak atau tiang berdiri. Begitu pula pada sambungan berpasak, juga bergerak secara fleksibel.
Masih banyak daerah di Pulau Sumatera memiliki bangunan tradisional bertipe sama, yakni berkolong dengan desain yang berbeda. Beragam fungsionalnya juga menjadi keunikan tersendiri bagi kekhasan budaya masyarakat di Indonesia.
Kekhasan itu membuat pemerintahan setempat mengabadikannya sebagai citra bagi kota/kabupatennya. Namun sayangnya, masih ada pemkab/pemko yang belum memanfaatkan sebagai ikon penting bagi wilayahnya. Padahal bangunan bertipe kolong ini menjadi penanda peradaban masyarakat Indonesia dapat bertahan di masa lalu.