Dispepsia Fungsional, Penyakit Lambung Menahun

Oleh: dr. Ramos Siahaan

GEJALA gangguan lambung banyak dialami di dalam masyarakat mulai dari perut terasa cepat penuh saat makan, sering merasa mual, sendawa berlebihan, rasa panas atau nyeri pada ulu hati.

Tidak jarang gejala tersebut me­nye­babkan gangguan saat berak­tifitas. Kumpulan geja­la ini sering di­sebut masya­rakat sebagai penyakit maag atau dalam dunia medis dise­but sebagai dispepsia. Gejala atau ke­luhan ini dapat dise­babkan ber­bagai penyakit, tentunya terma­suk penya­kit pada lambung.

Penyakit hati, pankreas, empedu, dan gangguan ke­rongkongan, lam­bung meru­pakan penyebab tersering di samping beberapa penyakit lain yang dapat menim­bul­kan gejala dis­pepsia.  Berda­sar­kan beberapa pe­ne­litian, sekitar 30 % populasi ma­sya­rakat memiliki gejala ge­jala tersebut, dan sebagian be­sar dari mereka tidak me­miliki bukti gangguan struk­tur atau organ. Gejala gang­guan lam­bung tanpa ditemu­kan gangguan struk­tur atau organ setelah dilakukan pe­meriksaan menyeluruh itulah yang disebut sebagai dispep­sia fungsional.

Dispepsia fungsional me­nurut konsensus Rome IV ada­lah suatu kon­disi medis yang mengganggu ke­giatan sehari hari. Hal ini dikarak­te­ris­tikkan dengan sa­tu atau lebih ge­jala seperti rasa pe­nuh berlebihan pada lambung sehabis makan, mu­dah ke­nyang, nyeri ulu ha­ti, dan ra­sa pa­nas pada daerah ulu hati. Tidak ditemukan kelainan struktur setelah dilakukan ber­bagai pemeriksaan medis untuk dapat menjelas­kan pe­nyebab gejala yang sudah di­alami pasien dalam kurun waktu kurang lebih tiga bu­lan. Gejala yang dialami pa­sien terkesan samar dan sulit dijelaskan, baik oleh pasien, dokter, dan tenaga kesehatan lain.

Dispepsia dapat dibedakan men­jadi dua jenis berdasar­kan gejala yang lebih dirasa­kan oleh pasien, ya­itu Postprandial Distress Syndrome dan Epigastric Pain Syndrome. Postprandial Distress Syndrome ditandai dengan ge­jala gejala yang muncul se­habis makan. Gejala tersebut dapat berupa rasa penuh pada perut sehabis makan, sehing­ga mengganggu akti­vitas dan perasaan cepat ke­nyang. Pa­sien tidak mampu mengha­bis­kan makanan dengan ukur­an porsi biasa.

Sedangkan Epigastric Pain Syndrome ditandai de­ngan rasa nyeri pada uluhati dan atau rasa panas atau ter­bakar pada uluhati yang parah sampai dapat mengganggu aktivitas. Rasa nyeri atau pa­nas dapat muncul sehabis ma­kan ataupun saat puasa. Pe­­rasaan kembung, sendawa ber­le­bihan, dan mual dapat me­nyertai ge­jala di atas.

Penyebab dari dispepsia fung­sio­n­al masih belum da­pat dijelaskan de­ngan baik. Hal hal yang menye­bab­kan pe­nyakit ini kompleks dan ba­nyak faktor yang berperan. Faktor fak­tor tersebut dapat berupa gang­guan pergerakan dan sensorik lam­bung serta usus, gangguan integritas mu­­kosa lambung, aktivasi sis­tem imu­nitas tubuh, in­fek­si saluran pen­cernaan, ma­kanan, merokok, dan gang­gu­an regulasi hubungan otak dengan sistem pencernaan.

Makanan dapat merang­sang tim­bulnya gejala gejala dispepsia fung­sional. Pada suatu percobaan pem­berian makanan terhadap 218 pa­sien de­ngan dispepsia fung­sional di­dapatkan pada seki­tar 80% pasien timbul gejala dispepsia 15 menit setelah pemberian makanan. Makan­an makanan tinggi lemak, ke­biasaan mengkonsumsi makanan dengan cepat, serta jadwal makan yang tidak ter­atur juga berhubungan de­ngan gejala gejala dispepsia.

Dispepsia fungsional se­ring di­hubungkan dengan gangguan perge­rakan lam­bung yang berupa lam­bat­nya pengosongan isi lambung se­habis makan. Normalnya setelah meng­konsumsi ma­kanan puncak lam­bung akan berelaksasi, yang akan me­nimbulkan perasaan ke­nyang.

Pada sekitar 40% pasien dis­pepsia fung­sional didapati gangguan relak­sasi dari pun­cak lambung dan ini berhu­bungan dengan perasaan ce­pat merasa keyang. Pada be­berapa pa­sien dispepsia juga ditemukan sen­sitif terhadap peregangan lambung. Ke­tika makanan terisi penuh maka lambung akan meregang dan akan menimbulkan gejala ge­jala mual dan perasaan penuh pada ulu hati.

Penelitian penelitian ter­baru ba­nyak mengedepankan tentang hu­bu­ngan usus halus sebagai jalur pen­cernaan ma­kanan setelah lambung dan kaitannya dengan gejala ge­jala dispepsia. Pada beberapa penelitian ditemukan bahwa asam lambung yang terdapat pada makanan yang masuk ke usus halus dapat merang­sang senyawa senyawa ki­mia­wi di usus yang dapat me­nimbulkan gang­guan perge­rakan usus dan gejala ge­jala seperti nyeri dan panas pada da­erah ulu hati. Selain asam lambung, beberapa makanan juga dapat me­nim­bulkan res­pon alergi dan gejala ge­jala yang sama. Rokok ternyata ju­ga dapat meingkatkan risi­ko pele­pasan senyawa-se­nya­­wa kimia­wi yang mempe­rantarai timbulnya gejala ge­ja­la tersebut.

Penyakit infeksi saluran cer­na juga belakangan ini di­hubungkan de­ngan penyebab timbulya dispepsia. Infeksi sa­luran cerna bisa berupa in­feksi oleh bakteri maupun virus de­ngan gejala paling sering adalah diare maupun nyeri perut. Beberapa peneli­tian menemukan orang de­ngan riwayat infeksi saluran cerna se­be­lumnya memiliki risiko 2,5 kali lebih tinggi un­tuk menimbulkan gejala gejala dispepsia.

Beberapa penelitian juga menun­juk­kan bahwa bakteri H. Pylori, bak­teri normal yang hidup da­lam lam­bung kita, memiliki kaitan yang erat dengan tim­bulnya gejala dispepsia. Pengobatan jangka panjang dengan antibiotik untuk mencega pertum­buhan bakteri tersebut disarankan bagi pasien yang gagal de­ngan pe­ngo­batan pengobatan awal.

Stress psikologis yang ber­asal dari pikiran juga ber­pengaruh dengan dispepsia, terutama perasaan cemas, dep­resi, dan marah berle­bih­an. Pada suatu penelitian di­temukan orang de­ngan pera­saan cemas yang berle­bihan memiliki ke­mung­kinan un­tuk me­nimbulkan gejala dis­pepsia 8 kali lebih tinggi di­bandingkan orang normal. Orang yang pernah meng­alami trauma fisik maupun emosional dalam hidupnya juga berpengaruh terhadap dispepsia.

Tanda tanda bahaya (alarm sign) dan usia pasien harus diperhatikan pada orang de­ngan dispepsia karena akan berpengaruh terhadap tin­dak­an diagnosis dan peng­obatan yang akan di jalani. Pa­da pasien-pasien dis­pe­p­sia dengan usia di atas 60 ta­hun atau dengan tanda-tanda ba­haya seperti pendarahan yang keluar dari saluran cerna be­ru­pa muntah darah atau buang air bersar berdarah, ane­mia, berat badan turun drastis dalam 3 bulan ter­akhir, kesulitan menelan makanan yang semakin lama sema­kin berat, nyeri saat me­nelan, muntah terus menerus, adanya riwayat pe­nyakit kan­ker atau keganasan lam­bung dalam keluarga, riwayat pe­nya­kit ulkus atau perlu­kaan lambung, pem­besaran kelen­jar limfa, dan ben­jolan pada daerah perut, sangat disa­ran­kan melakukan pemeriksaan en­doskopi atau teropong sa­luran cerna untuk memeriksa secara langsung kelainan ke­lainan yang teradapat dalam saluran cerna.

Pasien dengan usia di ba­wah 60 ta­hun dan tanpa ada­nya tanda bahaya (alarm sign) dapat melakukan pengo­batan awal dengan obat-obatan di­ser­tai perubahan gaya hidup dan ma­ka­nan. Obat obatan penghambat pompa pro­ton dan antagonis reseptor H2 yang bekerja menghambat asam lam­­bung efektif dalam pengobatan dispepsia fung­sional. Jika gejala ma­sih juga timbul maka dokter dapat memberikan obat obatan pe­ningkat ge­ra­kan saluran cer­na untuk mem­per­cepat waktu pencernaan maka­nan. Jika ge­jala masih timbul juga de­­ngan pengobatan di atas, tak jarang dok­ter menyarankan dengan obat oba­tan anti dep­resi maupun kon­seling de­ngan psikiater.

Selain obat obatan, memi­lih jenis ma­kanan juga dapat membantu pe­ngobatan dis­pep­sia. Banyak pene­litian yang mencari hubungan an­tara je­nis makanan dan hu­bungannya de­ngan kejadian gejala gejala dispepsia namun belum ditemukan titik temu yang pasti. Beberapa jenis ma­kanan dapat menimbulkan gejala gejala dispepsia mela­lui tiga mekanisme, pere­gang­an dari lambung yang ber­lebihan, sensitifitas sa­luran cerna ter­hapat beberapa jenis makanan, dan bahan ba­han kimia yang terdapat da­lam makanan tersebut yang me­rang­sang sistem saraf pen­cernaan.

Makanan makanan de­ngan rantai gula yang pen­dek, makanan yang mu­dah difermentasikan, makanan tinggi lemak dan makanan dengan ba­han kimia salisilat dapat me­nim­bul­kan gejala ter­sebut. Makanan ma­kanan tersebut yang sering dalam menu sehari hari adalah susu sapi, yog­hurt, keju, santan, es krim, apel, mang­ga, se­mangka, ceri, alpukat, je­ruk, bro­koli, labu, jamur, kol, gan­dum, rum, alkohol, kopi, dan sirup. Na­­mun tidak se­mua pasien yang meng­­­kon­sumsi makanan di atas me­nim­­­bulkan gejala dispepsia ka­rena senitifias saluran pen­cernaan setiap orang berbeda dengan orang lain. Ma­kadari itu, pa­sien dengan gejala dis­pepsia diha­rap­kan dapat meng­inden­tifikasi makanan yang me­nimbulkan gejala ter­sebut dan meng­hindari­nya.

Berikut adalah tips yang dapat di­la­kukan untuk pasien dengan dispep­sia untuk men­cegah timbulnya ge­jala-geja­la dispepsia  (1) Meng­hin­dari obat-obatan pereda nyeri go­longan NSAID dan konsul­ta­sikan kepada dokter anda mengenai obat tersebut. (2) Menghindari cemas dan stress berlebihan. (3) Mengu­rangi konsumsi rokok, kopi, teh, makanan tinggi lemak, dan alkohol yang se­cara umum dapat menimbulkan ge­jala dispepsia. (4) Meng­ubah pola makan dengan mengurangi porsi atau ukur­an makan, menambah fre­ku­ensi makan menjadi lebih se­ring, dan makan secara per­lahan atau se­cara mudah de­ngan cama makan me­njadi lebih sedikit namun sering.

Dengan melakukan peng­obatan rutin, mengenali tanda tanda bahaya dis­pepsia, serta melakukan peruba­han gaya hidup serta makanan diha­rap­kan pasien mengontrol ge­jala gejala dispepsia. Ja­ngan ragu untuk konsultasi ke­pada dokter anda jika tim­bul gejala gejala dispepsia yang mengganggu kesehari­an anda.

()

Baca Juga

Rekomendasi