FGD Mandailing Bukan Batak

Mandailing Tolak Disebut Batak Sejak 1922

Medan, (Analisa). Ternyata suku/etnik Mandailing bukan bagian dari Batak. Perdebatan etnik Mandailing untuk di kelomp0o­kkan  dalam etnik Batak telah berlang­sung lebih dari 100 tahun.

Hal ini terungkap dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk "Man­dailing Menggugat: Mengurai Latar Antropologis Historis Mandai­ling bukan Batak" digelar Yayasan Madina Centre di Hotel Madani, Senin (23/10) petang.

Tampil dalam FGD peneliti dan se­ja­rawan Dr Phil Ichwan Azhari, antro­polog Prof Usman Pelly, dan juga peneliti Pussis Universitas Negeri Me­dan (UNIMED) Dr Erron Damanik ser­ta puluhan peserta dari berbagai kalangan. Hadir juga kalangan warta­wan.

Antropolog Usman Pelly meng­ung­kapkan, tidak ada satu pun kata Batak yang bisa ditemukan dalam khasanah atau pun manuskrip kuno baik dari khasanah Toba, Angkola, Karo, Pak­pak, Simalungun apalagi Mandailing. "Misalnya dalam stempel Raja Sisi­ngamangaraja XII hanya tertulis Ahu Si Raja Toba, tidak ada si Raja Batak. Batak tidak ada dalam khasanah pus­taka baik Toba, Angkola, apalagi Man­dailing," papar Usman Pelly.

Hal ini merupakan pendapat aka­demis. Bukan pendapat untuk meme­cah belah persatuan apalagi pendapat dalam konteks kepentingan politik elektoral.

Ichwan Azhari mengungkapkan berdasarkan banyak literatur, Batak digunakan para peneliti asing untuk menunjukkan lokasi geografis masya­rakat.

Deskripsi

Batak digunakan untuk mendes­kripsikan masyarakat yang mendiami wilayah highterland atau dataran ting­gi. Sedangkan masyarakat pesisir dii­dentikan dengan Melayu.

Istilah Batak awalnya digunakan pe­neliti asing untuk menyebut masya­ra­kat tak beradab, atau istilah yang tidak diinginkan lalu bergeser menjadi istilah untuk menggambarkan masya­rakat di pegunungan, kemudian ber­proses menjadi identitas dan keban­ggaan.

Identitas ini kemudian mendapat perbantahan utamanya dari masyarakat Mandailing yang menolak disebut se­ba­gai Batak.

"Tidak ada yang konsisten menolak Batak selain Mandailing," papar Ich­wan.

Batak menurutnya, muncul karena adanya penulis yang setuju peng­gu­na­an istilah Batak untuk menggambarkan etnik-etnik yang ada mulai dari Man­dai­ling, Toba, Angkola, Karo, Pakpak hingga Simalungun.

Kondisi ini diperparah dengan mi­nim­nya riset yang dilakukan. Riset-riset selama ini justru didominasi pe­neliti asing. "Untuk bisa melawan itu sebanyak mungkin bisa menulis mela­kukan riset-riset, kegelisahan-kege­lisahan ini bisa melahirkan kajian-ka­jian," ungkapnya.

Erron Damanik secara rinci mene­gaskan dijadikan enam etnis menjadi sub etnik dalam Batak dimulai dari Pa­yung Bangun.

Payung kemudian menginspirasi an­tropolog Koentjaraningrat yang me­nulis buku "Manusia dan Kebudayaan" yang kemudian menjadi referensi.

Dalam salah satu bab buku tersebut, ada bab yang menjelaskan Batak dan memasukkan Mandailing, Toba, Ang­kola, Karo, Pakpak hingga Simalungun ke dalam Batak.

Sejak 1922

Dikatakannya, Mandailing telah menolak disebut Batak sejak 1922, Karo sejak 1952, Simalungun sejak 1963, lalu Pakpak menolak disebut Ba­tak sejak 1964, Nias sejak 1952, na­mun Toba dan Angkola tetap kukuh menerima disebut Batak. Mengutip Vinner (1980) perbedaan mendasar dari kelompok etnik yang disatukan adalah bahasa. Keenam etnik tersebut memiliki perbedaan bahasa yang men­colok.

"Tidak ada yang disebut Batak, yang ada  Mandailing, Toba, Pakpak, Karo, Simalungun dan Angkola. Batak ada­lah ahistoris," tegasnya. (aru)

()

Baca Juga

Rekomendasi