Banda Aceh, (Analisa). Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Pemerintahan (FISIP) Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh menggelar studium general (kuliah umum), Rabu (25/10) di kampus setempat, dengan menghadirkan mantan juru runding Gerakan Aceh Merdeka (GAM), M.Nur Djuli sebagai pembicara bertema; “MoU Helsinki, Sejarah, Harapan dan Hambatan”.
Dekan FISIP UIN Ar-Raniry, Prof Dr M Nasir Budiman, MA dalam sambutannya mengatakan, kuliah umum kali ini terasa spesial karena langsung menghadirkan pelaku sejarah sebagai pembicara. Sebagaimana diketahui, Nur Djuli merupakan mantan juru runding GAM dalam perundingan damai antara GAM dan RI di Helsinki, Finlandia lalu.
Kuliah umum yang dimoderatori Dr Abdullah Sani, MA itu, dihadiri ratusan mahasiswa FISIP UIN Ar-Raniry dan juga FISIP Unsyiah sebagai peserta. Selain itu, juga ikut hadir Shadia Marhaban, aktivis perempuan Aceh yang pernah berbicara di forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Teuku Hadi dan lainnya.
M. Nur Djuli dalam paparannya menyampaikan panjang lebar proses kelahiran MoU Helsinki, urgensi dan hambatan-hambatan yang dijumpai di lapangan dalam upaya mengimplementasikan poin-poin perundingan damai antara pihak GAM dan Pemerintah Republik Indonesia di Helsinki.
Diterangkan, syarat-syarat yang diajukan pihaknya saat akan melangsungkan perundingan dengan pemerintah pusat, yaitu dilepaskannya tahanan politik GAM di LP Nusakambangan, dilangsungkannya perundingan di Helsinki dan sebagai mediator tidak boleh NGO, melainkan negara supaya pelanggar poin-poin hasil perundingan kelak bisa dikenakan sanksi.
Nur Djuli juga mengupas arti pentingnya MoU Helsinki untuk perdamaian. “Kenapa ada damai, karena ada MoU Helsinki. Kalau tidak, maka perang akan terus terjadi, TNI di satu sisi dan GAM di gunung-gunung di sisi lain,” jelasnya seraya menambahkan, MoU Helsinki sebagai produk hukum yang mengikat mengingat Pemerintah RI sendiri sudah membawa draf MoU ke DPR-RI untuk dibahas dan akhirnya diterima.
“Kenapa kita sebut MoU Helsinki, ini sebagai hadiah Aceh untuk Indonesia. Aceh terikat dengan Indonesia saat ini adalah karena adanya MoU Helsinki. Jadi, MoU itu adalah hadiah Aceh untuk Indonesia,” sebutnya.
Bahkan MoU Helsinki ini lebih kuat dari konvensi PBB, karena dijamin oleh ASEAN dan diakui oleh PBB. Yang menjadi masalah dari MoU Helsinki saat ini adalah karena belum semua poin-poinnya diterjemahkan dalam wujud Undang Undang No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU-PA). Kemudian beberapa poin yang diterjemahkan, juga berbeda dari maksud MoU Helsinki sendiri. (mhd)