Pahlawan kenamaan tanah batak, Sisingamangaraja XII ternyata punya hubungan dengan peradaban Islam di masa lampau. Hal ini dikupas pada seminar yang digelar Pendidikan Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UINSU) Medan.
Seminar bertajuk ‘Hubungan Bendera Sisingamangaraja XII dengan Kesultanan Aceh dan Turki’, menghadirkan Prof Uli Kozok dari University of Hawai, USA. Kegiatan di Aula Pascasarjana UINSU Jalan Sutomo Medan, baru-baru ini.
Dalam pemaparannya, Prof Uli Kozok menampilkan ragam gambar pusaka peninggalan Raja Sisingamangaraja XII terutama bendera yang menjadi fokus bahasan. Tulisan Arab-Melayu, simbol bulan bintang dan pedang pada bendera Sisingamangaraja XII menunjukkan kemiripan dengan bendera kerajaan-kerajaan di Nusantara pada waktu itu.
"Hal ini wajar, karena Nusantara pada saat itu, khususnya Aceh, berada di bawah kesultanan Utsmaniyah. Fakta sejarah juga menunjukkan bahwa Sisingamangaraja belajar perang dengan Aceh," ujar Prof Uli dalam acara tersebut, baru-baru ini.
Spekulasi teoritis pun muncul dari peserta, bahwa Sisingamangaraja XII adalah Islam. Pada saat sesi tanya jawab, diskusi mengenai status kepercayaan berlangsung cukup lama, namun masih belum ketemu ujung pangkalnya, dalam artian masih misteri.
Terkait itu, Prof Uli hanya menjelaskan bahwa teori hanyalah sebatas teori dan belum bisa menunjukkan fakta sejarah terkait kebenaran keyakinan yang dianut oleh Sisingamangaraja XII. Menurutnya, Sisingamangaraja XII bukan Islam, bukan Kristen, dan juga bukan Parmalim. Lambang atau simbol Keislaman yang digunakan Raja Batak tersebut sejatinya sudah ada sebelum peradaban Islam muncul, dalam artian peradaban Mesopotamia, Yunani, dan Romawi juga memiliki lambang atau simbol yang mirip.
"Penggunaan tersebut justru menunjukkan keterbukaan Sang Raja dengan peradaban lain, yang pada saat itu dikuasai oleh Kesultanan Turki Utsmani," bebernya.
Selain itu, penggunaan aksara Arab, juga bukan berarti Sisingamangaraja Islam, sama halnya dengan muslim yang menguasai bahasa Inggris, bukan berarti Kristen.
Prof Uli menambahkan jika ada yang berlogika bahwa simbol-simbol, kebiasaan,dan istilah Batak pada masa Sisingamangaraja telah di "Islamisasi". "Maka pada saat yang sama kita juga harus setuju "Batakisasi" terhadap hal-hal yang diklaim Islami.
Di tengah peliknya diskusi, Prof Amroeni selaku guru besar Filsafat Islam UIN SU menengahi bahwa tidak penting status keyakinan Sisingamangaraja XII, apakah Islam, Kristen dan lain sebagainya. Menurutnya, tulisan Arab yang ada di bendera Sang Raja, merupakan teks yang perlu diungkap maknanya.
Prof Uli sendiri mengakui bahwa ia belum bisa menangkap isi pesan yang terkandung dalam tulisan bendera tersebut. Namun dari hasil pengamatan sementara, ia menemukan bahwa tulisan Arab tersebut sebagian besar berbahasa Aceh, dan sebagian lainnya merupakan kandungan dari Alquran.
"Ini sama dengan Kesultanan Utsmaniyah yang selalu menuliskan ayat-ayat Alquran dalam bendera, dan surat-surat mereka," ujarnya.
Sedangkan, katanya, bahasa Aceh menunjukkan kedekatan Raja Sisingamangaraja dengan para penguasa Aceh. "Saat ini, tulisan tersebut sedang dikaji oleh Hermansyah, akademisi asal Aceh yang dapat membaca Arab-Melayu yang ditulis dalam bahasa Aceh. Hasil bacaan tersebut diharap dapat menjadi tambahan fakta yang lebih akurat terkait bagaimana sebenarnya Sisingamangaraja," ungkapnya.
Terlepas dari itu semua, paparan Prof Uli telah menggungah para akademisi di Medan untuk lebih peka terhadap sejarah leluhur, dan menyisakan ruang-ruang baru terkait hal-hal yang perlu digali dari Sisingamangaraja XII.
Seminar tersebut dibuka Wakil Rektor 3 UINSU Prof Dr Amroeni Drajat MAg didampingi Direktur Pascasarjana UINSU Prof Dr Syukur Kholil dan Guru Besar Arkeologi Unimed Prof Phi Ichwan Azhari. Acara tersebut dihadiri sekitar 150 orang baik akademisi, peminat sejarah, dan juga tokoh Parmalim. (ahmad nugraha putra)