Panusur Sira dari Desa Dokan

Oleh: J Anto. MENGGALI kembali tradisi lisan yang terkubur lama dalam memori bawah sadar masyarakat Karo, menjadi salah satu konsen Rumah Karya Indonesia (RKI). Tradisi lisan merupakan bentuk ekspresi kebudayaan masyarakat  saat masih  hidup  dalam kultur lisan. Banyak pengetahuan lokal seperti nilai-nilai moral, nilai-nilai religi asli masyarakat, adat istiadat, mitos, peribahasa, nyanyian, serta mantra-mantra ritual religi  bisa diperoleh dari tradisi lisan.

Ragam bentuk tradisi lisan umumnya diwariskan para pelaku budaya dari satu generasi ke generasi. Masyarakat Desa Dokan yang terletak di Kecamatan Merek, Kabupaten Tanah Karo, menurut Ojak Manalu sarat menyimpan tradisi lisan seperti ritual Panusur Sira, Nutu I Lesung, Erdidong dan Erpoula. Di itu juga masih dijumpai artefak budaya siwaluh jebu, rumah adat Karo yang masih dihuni dari generasi ke generasi.

Ada lima buah siwaluh jebu yang masih terawat. Tak rela kekayaan budaya masyarakat itu punah, usaha untuk meruwat tradisi lisan pun dirintis para penggiat budaya RKI sejak 2013. Mereka mewawancarai sejumlah tokoh adat. Sejarawan, budayawan, rohaniwan diajak bicara dalam forum seminar untuk merekonstruksi ulang sejumlah ritual religi asli masyarakat yang pernah jadi bagian hidup mereka.

Usaha meruwat sejumlah tradisi lisan dilakukan lewat penyelenggaraan Festival Seni Dokanan yang diselenggarakan di Desa Dokan. Seni pertunjukan ritual Panusur Sira mengobati kerinduan masyarakat yang hadir dalam acara tersebut.

Ritual tersebut dulunya dilakukan masyarakat Karo untuk mengetahui hal baik dan buruk kepada Tuhan yang mereka percaya lewat mediasira, garam yang disimpan dalam tempat khusus dan disimpan di siwaluh jebu. Ritual ini biasanya dilakukan jelang datangnya  musim tanam, atau saat kaum laki-laki dulu hendak pergi berperang. Lewat ritual penurunan garam itu, masyarakat mememperoleh penanda, apakah nasib baik atau buruk yang akan dihadapi mereka

Ritual didahului prosesi merdang merdem, diwakili 25 perempuan dari siwaluh jebu. Mereka melakukan Rundang-Rundang Kampil   atau menyusun 6 jenis tanaman. Tiap tanaman punya  nilai filosofis.  Simbrabayak misalnya simbol kesuksesan, Betah-Betah simbol doa agar padi berisi, Selambing simbolk perkakas yang dipakai untuk bertani zaman dahulu, Daun Sangketen symbol doa agar hasil panen dapat mencukupi warga dan menjadi pundi-pundi), Sanggar simbol mengusir hama atau roh jahat), dan Bertuk atau Paula simbol  perlindungan.

Usai prosesi merdang merdem, kemudi dilanjutkan prosesi Nutuh Lesung, pengakuan kesalahan oleh warga yang menghalangi jalannya ibu-ibu yang melakukan merdang medeng merdem.  Penebusan dilkukan dengan garam, atau dengan hasil panen, tari-tarian (landek) sembari menabur beras, simbol doa dan berkat.

Posesi dilanjutkan dengan tari-tarian menyambut petinggi adat menuju rumah mbelin, rumah siwaluh jebu tempat garam berada. Di sanalah prosesi inti ritual Penusur Sira dilakukan. Para warga berkumpul untuk berdoa mengucap syukur, Nini Iting menyampaikan nasihat kepada para warga yang hadir menjelaskan singkat tentang garam yang akan diturunkan, dan bagaimana itu harus dijaga selalu oleh anak cucu warga Dokan.

Setelah itu, anak Beru  memanjat rumah sembari diteriaki alopa-lopa oleh warga, yang artinya adalah “Mari, ayok….” Garam lalu diturunkan setelah anak beru menggantung dedaunan tertentu sebagai syarat menurunkan garam tersebut. Tembikar tempat penyimpanan garam tersebut lalu dibawa kepada penatua adat, dibuka, dan diintip isinya.

“Dalam kepercayaan masyarakat Dokan, garam yang bentuk dan ukurannya seperti padi namun berwarna hitam, putih, dan kecoklatan ini, apabila dalam posisi berdiri artinya adalah sesuatu yang buruk, dan apabila garam dalam posisi tidur artinya sesuatu yang baik,” tutur Brevina Tatigan.

Karena saat itu garam dalam posisi tegak, maka masyarakat yan mengikuti ritual antusias meminta garam dari penatua. Selaku pimpinan grup musik De Tradisi, Brevin Tarigan menyebut sejumlah warga  memercayai garam itu sebagai obat, penjaga, doa, dan lain-lain. Brevin dan Ojak Manalu yang mengikuti ritual dan ikut mengecap rasa garam itu menyebut raga garam berbeda dengan umumnya.

“Seperti rasa mint, nggak asin,“ ujar Ojak.

Setelah acara pembagian garam, para penatua kemudian kembali menanam garam dengan sisa garam yang sengaja disisakan di tembikar. Prosesi penanaman garam dilakukan dengan mencampur daun sirih, irisan jeruk purut, perasan jeruk purut dan air di dalam bambu. Lalu beberapa warga diminta  menjumput campuran tersebut dan memasukkan ke dalam tembikar tempat garam. Air yang tersisa dari jumputan di tangan diusapkan ke wajah penatua.

Sudah empat kali seni pertunjukan ritual Panusur Sira diadakan RKI. Ritual yang dikemas sebagai seni pertunjukan itu  berhasil membangkitkan kembali gairah masyarakat untuk mengikuti ritual tersebut. Anak-anak muda Desa Dokan juga makin warisan budaya dari generasi pendahulu mereka. Pada helatan kelima pada  2018, RKI berencana menyerahkan kegiatan budaya di Desa Dokan kepada sekelompok anak muda yang sudah  terlibat sejak awal dalam meruwat ritual Panusur Sira itu.

“Kebudayaan itu milik masyarakat, tugas kami mengembalikan jika mereka sudah siap untuk mengelolanya sebagai seni pertunjukan,” tegas Ojak Manalu.

()

Baca Juga

Rekomendasi