Oleh: S. Satya Dharma. LELAKI berjenggot tipis itu tersenyum puas. Sangat puas. Dia sudah berhasil menumpahkan semua rasa kecewanya. Membuang jauh-jauh rasa muak yang selama ini mengelilinginya. Kini ini teruskan langkahnya. Menurutkan kemana ayunan kaki membawanya. Dengan tas ransel butut di pundaknya, lelaki berjenggot tipis itu menyusuri selasar bangunan tua kota M yang berdebu. Kini, dia sudah menemukan jawab untuk semua pertanyaan yang diajukan kepadanya.
Ketika teman-temannya sibuk mengajukan diri menjadi calon anggota parlemen, lelaki berjenggot tipis itupun menanggapinya biasa-biasa saja. Tanpa ekspressi.
“Silahkan saja,” katanya pada orang-orang yang mengabarkan hal itu kepadanya. Begitu juga ketika sejumlah petinggi satu partai politik datang ke rumahnya. Mereka menawarinya untuk maju jadi caleg dari partai mereka, dia hanya tersenyum tipis. Tak bicara sepatah kata. Bahkan saat isterinya, sambil berandai-andai mendorongnya untuk bersedia jadi caleg Partai Nganu, lelaki itu cuma tertawa.
“Tak usah kau garami air laut, dik,” katanya.
“Awakni apalah...” katanya lagi. Isterinya cuma melotot. Tak paham apa maksudnya.
Begitu juga ketika hari ini dia hadir di satu ruang pertemuan yang tak terlalu besar di kota M. Hadir sebagai undangan khusus pertemuan para mpu. Lelaki berjenggot tipis itu tetap diam saat orang-orang ribut. Mereka saling debat dan bersitegang urat leher tentang siapa yang paling pantas diberi gelar mpu di antara mereka. Siapa yang paling pantas disebut jawara olah kata. Siapa paling tajam penanya. Siapa paling berjasa dalam jagat selebar tempurung kelapa yang entah kenapa diberi nama Susastra itu. Ketika seseorang mencolek pinggangnya, bertanya kenapa dia tetap membisu; setengah bergumam dia cuma bilang; “Awak ni apalah…”
Tak paham orang-orang itu apa maksudnya. Lelaki berjenggot tipis itu tak perduli. Bahkan ketika dia didapuk untuk bicara, lelaki itu dengan suara setengah bergumam hanya berkata; “Awakni apalah…”
Pada mulanya orang-orang tak ambil pusing dengan pernyataan pendeknya itu. Lama-lama orang jadi jengah juga. Merasa dia sengaja meremehkan niat baik orang-orang. Sebab kalimat itu terus juga diulang-ulangnya. Tak hanya kepada setiap orang yang menemuinya, juga pada siapa saja yang coba memancing jawaban darinya. Lelaki berjenggot tipis itu seakan tak punya perbendaharaan kalimat lain kecuali; “Awak ni apalah…”
Orang-orang itupun merasa dilecehkan.
Orang-orang itupun merasa disepelekan.
“Apa bung memang sudah tak mau bicara?” tanya Hamir, salah seorang kenalannya.
“Awakni apalah…….”
“Kenapa?” timpal Risdi, kenalannya yang lain.
“Awak ni apalah…”
“Payah. Sombong kali dia. Apa dia pikir dengan tak bicara, maka semuanya menjadi lebih baik?” Ujar Noviar, kenalan barunya, emosi.
“Bung, ayo bicaralah. Mumpung ada kesempatan. Mumpung mulut bung belum terkena sariawan,” pinta Risdi setengah memohon.
“Ah, awak ni apalah…….”
Orang-orang saling pandang. Lelaki dengan jenggot tipis itu tetap membisu. Hilang kesabaran, orang-orang pun meninggalkannya. Sayup-sayup dia masih mendengar orang-orang bergumam; “Uh, apa dia pikir sudah hebat kali dia tu? Sudah maestro? Persetan dengan dia…”
Lelaki dengan jenggot tipis itu cuma tersenyum kecil. Dia kemudian mengambil buku notes kecil dan sebuah pena dari dalam tas ransel bututnya. Tangannya lincah menari-nari di atas buku notes. Tak lama kemudian tangannya berhenti menulis. Terlihat gambar sejumlah wajah di atas kertas notes itu. Di bawah wajah-wajah itu tertulis dengan jelas kata-kata; Munafik... Munafik... Munafik... Munafik... bertumpukan, tak beraturan, saling tindih dan centang perenang.
Lelaki berjenggot tipis itu, merobek kertas notes tersebut. Meremas-remasnya dan melemparkannya ke tong sampah. Selanjutnya dia bangkit dari duduknya dan perlahan pergi meninggalkan ruang pertemuan. Di luar udara sangat terik. Dia tak perduli. Dengan pasti dia melangkah. Mengayun kaki menuju jalan raya. Matanya awas kalau-kalau ada angkutan kota yang melintas.
Di langit kota M matahari membara tepat di atas ubun-ubunnya. Lelaki berjenggot tipis tak peduli. Di antara lalu lalang kendaraan cukup padat, dia terus melangkah. Sesekali menoleh ke arah kanan jalan menanti kalau-kalau angkutan kota yang ditunggunya datang.
“Ah, kalau saja aku punya kendaraan sendiri,” pikirnya. Dia segera sadar akan kenyataan hidupnya. Pikiran itu segera pula dia buang jauh-jauh.
“Awakni apalah…” gumamnya.
Tiba di sebuah persimpangan jalan, lelaki berjenggot tipis berhenti. Menoleh kanan kiri. Da tetap tak melihat ada angkutan kota melintas. Lelaki itu merogoh saku celananya. Mengambil sebungkus rokok kretek dari dalamnya dan membukanya. Tinggal sebatang. Dia selipkan rokok itu ke bibirnya. Mengambil mancis dari saku lainnya dan menyulut kretek di bibirnya itu. Di panas yang terik itu, dia menghisap dalam-dalam nikotin yang tersembunyi di dalam kretek. Menghembuskan asapnya dengan tarikan nafas yang panjang. Nikmat sekali rasanya.
Sedang dia menikmati tarikan-tarikan panjang asap kematian itu, tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya. Lelaki berjenggot tipis tersentak kaget. Rokok yang terselip di bibirnya nyaris meloncat ke luar.
“Apa kabar? Kenapa bung tinggalkan pertemuan?” Seseorang itu, tanpa menghiraukan keterkejutannya, langsung saja mengajukan tanya. Lelaki berjanggut tipis melongo. Mengamati wajah di depannya.
“Aduh bung. Lupa ya? Atau bung pura-pura lupa?”
“Maaf, beribu maaf. Saya sungguh tak ingat saudara. Awak ni....”
“Saya Togap bung. Saya yang nanti memberi pidato di pertemuan itu, bung. Kenapa bung pergi padahal saya belum naik ke mimbar?” Lelaki berjanggut tipis itu menganguk-angguk.
“Bung tak ingat saya? Dua kali saya jadi anggota parlemen, bung. Sekarang saya kandidat gubernur. Masa bung lupa? Dulu ‘kan bung yang membuat saya terkenal karena kritik-kritik bung di koran atas ucapan saya?”
“Ooo...” hanya itu yang keluar dari mulut lelaki berjanggut tipis itu.
“Bung ingat?”
“Kenapa kemari? Bukankah pidato bung di ruang pertemuan sana?”
“Masih lama, bung. Menurut jadwal sehabis makan siang.”
“Kenapa kemari? Jalan kaki dan berpanas-panas pula,” ujar lelaki berjanggut tipis seakan tak hirau atas penjelasan lelaki yang mengaku bernama Togap itu.
“Ah, bung ini. Macam tak tau saja. Ini ‘kan eranya menunjukkan jatidiri bung? Era menyerap aspirasi rakyat bawah. Berusaha menikmati kemiskinan kaum fakir.
“O...ya, ya, pencitraan maksudnya?”
“Hus, bung jangan bilang begitu. Ini program terjadwal demi kemajuan dan masa depan. Ini adalah agenda hati nurani saya demi mendengarkan kehendak rakyat untuk perbaikan. Bung tidak baca koran?”
Lelaki berjenggot tipis menggeleng.
“Televisi? Radio?”
Lelaki berjenggot tipis itu menggeleng lagi.
“Lalu apa yang bung baca? Apa yang bung dengar?”
“Kitab suci saya.”
“Apa?”
Matahari makin terik membakar. Lelaki yang mengaku bernama Togap itu menarik nafas. Jakunnya naik turun. Kemeja batik sutra yang dikenakannya basah oleh keringat. Angin musim kemarau membuat bau minyak wangi yang bercampur keringat dari tubuh lelaki itu menyengat hidung. Lelaki berjenggot tipis itu menutup hidungnya.
“Maaf, memang beginilah saya kalau di lapangan. Keringatan. Ayo bung, kita ke penginapan saya. Tak jauh, tuh di sana. Di gedung itu. Mobil dan orang-orang saya juga ada di sana,” ujar lelaki yang mengaku bernama Togap itu.
Lelaki berjenggot tipis melayangkan pandangannya ke arah yang ditunjukkan lelaki bernama Togap itu. Matanya segera menangkap sebuah gedung pencakar langit nan mewah di seberang jalan. Lelaki berjenggot tipis itu menarik nafas.
“Ayo, bung. Kita bicara sambil makan minum di sana. Biar lebih rileks. Saya ingin bung kembali mengeritik saya. Mengejek dan mencemooh cara kampanye saya. Seperti dulu, waktu saya maju jadi calon anggota parlemen. Pokoknya tugas bung hanya mengeritik saya saja, Selanjutnya biar jadi tugas orang-orang saya. Mereka yang nanti akan menjadikan kritik dan cemoohan bung viral di media massa.”
“Maaf, bung. Saya tak bisa.”
“Maksud, bung?”
“Awakni apalah...” ujar lelaki berjenggot tipis itu sambil ngeloyor pergi. Lelaki yang mengaku bernama Togap dan kandidat gubernur itu melongo. Mengeleng-gelengkan kepalanya dan mengumpat dalam hati. Baru sekali ini dia menemukan seseorang yang menolak tawarannya. Wajah lelaki yang mengaku bernama Togap itu menunjukkan kekecewaan yang bersangatan. Dia pandangi lelaki berjanggut tipis, hingga hilang di tikungan jalan.
Dia merasa sangat terhina. Sangat disepelekan. Langit kota M semakin terik. Dari dalam drainase yang mampet, udara menebarkan aroma busuk yang luar biasa.
Di pojok jalan, di selasar sebuah bangunan tua yang nampak rapuh, lelaki berjanggut tipis itu berhenti. Menyandarkan tubuhnya di tembok yang sudah kusam catnya, lalu mengeluarkan sebuah buku notes kecil dari dalam tas kain yang selalu di sandangnya. Dari dalam tas yang sama dia ambil sebuah pinsil lalu tangannya dengan lincah menari-nari membuat sketsa.
Tak lama, sesosok wajah tergambar di kertas notes itu. Sketsa wajah Togap. Wajah itu penuh dengan kata-kata yang sama. Membentuk garis-garis vertikal, horizontal dan melingkar-lingkar. Menutup hampir seluruh wajah Togap, politikus yang baru saja menemuinya.
Munafik... munafik... munafik..... munafik... munafik... munafik... munafik… munafik... munafik... munafik... munafik... munafik... munafik... munafik... Munafik... munaf munafik... munafik... munafik... munafil... munafik... munafik... munafik... munafik… munafik... munafik... munafik... munafik...
Lelaki berjanggut tipis kemudian menyobek lembaran sktesa yang dibuatnya. Meremas-remasnya dan membuangnya ke dalam got di depan bangunan tua tersebut. Air got yang tergenang menghitam dan berbau busuk langsung menelan kertas sketsa yang dilemparkannya, lalu membenamkannya hingga ke dasar.
Lelaki berjanggut tipis menarik nafas lega. Sangat lega! Matahari di atas kota M semakin membara...
Medan, Jelang Sumpah Pemuda 2017