Catherine, Svetlana, dan Pancasila

Di tengah polemik dan kontroversi mengenai kebangkitan komunisme atau Partai Komunis Indonesia (PKI), persahabatan Catherine Pandjaitan dan Svetlana Dayani patut dikemu­kakan kembali untuk menggambar­kan betapa luka masa kelam sejarah bangsa tahun 1965 tak perlu dipoliti­sasi. Catherine dan Svetlana merupa­kan bagian dari orang-orang yang mengalami masa kelam itu.

Catherine, putri sulung Mayjen (Anumerta) Donald Issac Pandjaitan, harus menjadi yatim pada usia 17 tahun karena ayahnya ditembak mati oleh sekumpulan tentara pro-PKI, Jumat (1/1/1965) dini hari. Ia histeris menyaksikan ayahnya dibunuh di de­pan rumahnya saat dibawa paksa oleh sekelompok tentara.

Svetlana, putri bungsu pasangan mantan Menteri Negara/Wakil Ketua Committee Central PKI Njoto dan RA Sutarni, juga menjadi yatim pada usia sembilan tahun karena ayahnya dieksekusi tentara dalam penumpasan PKI dan ibunya yang berasal dari ke­luarga ningrat kerabat Keraton Mang­kunegaran dipenjara.

Seiring perjalanan waktu, kedua perempuan itu menjadi “kakak-beradik” dalam keluarga yang sama-sama mengalami tragedi 1965.

Keduanya pernah hadir sebagai peserta dan memberikan kesaksian pada “Simposium Nasional Membe­dah Tragedi 1965, Pendekatan Kese­jarahan” yang diselenggarakan Ke­men­terian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Komnas HAM, dan Dewan Pertimbangan Pre­siden di Jakarta, 18-19 April 2016.

Svetlana menceritakan, Catherine sudah dianggapnya sebagai kakak sendiri karena sangat memperhatikan dan mengurusinya. Dikatakannya, orang lain yang melihat persahabatan mereka pasti heran.

Selama berpuluh tahun, Svetlana hidup dalam ketakutan, menyem­bunyikan identitas karena takut terjadi sesuatu yang buruk kepada orang yang telah berbaik hati menam­pungnya.

Dia yang tak tahu di mana jenazah ayahnya dimakamkan, men­ceritakan, dia pernah sekali menginap satu malam di rumah pamannya. Sejak saat itu, pamannya ditahan berbulan-bulan karena menampung­nya. Gerak­nya terbatas. Dia tak bisa melakukan hal yang diinginkan karena takut identitasnya terbongkar.

Catherine pun tak pernah melu­pa­kan peristiwa yang merenggut nyawa ayahnya, meski telah me­maaf­kan orang yang dengan keji membu­nuh sang ayah.

Dia menyaksikan sang ayah dijem­put paksa segerombolan orang berse­ragam hijau. Dari lantai dua rumah mereka di Blok M, Jakarta, dia ber­sama adiknya menyaksikan orang-orang tersebut menyuruh ayahnya hor­mat, tetapi DI Pandjaitan menolak, ma­lah mengangkat tangan seraya berdoa.

Mungkin mereka marah dan lang­sung menembak kepala ayahnya. Ca­therine berlari ke lantai bawah tetapi ayahnya sudah tidak ada, dibawa per­gi. Dia hanya melihat darah mem­bent­uk garis memanjang ke luar rumah se­perti bekas seretan.

Ayahnya tewas dibantai, begitu pu­la dengan sembilan orang lain yang ke­mudian dikenal sebagai 10 pahlawan revolusi.

Meski tak melupakan kejadian itu, Catherine menyadari bahwa ada orang yang hidupnya lebih menyakitkan dibanding dirinya.

Setidaknya dia tidak perlu sem­bunyi-sembunyi seperti mereka yang pernah dicap PKI. Catherine langsung memeluk mereka satu per satu dan me­minta maaf saat dipertemukan dalam sebuah acara di stasiun televisi.

Catherine mengatakan sudah saat­nya semua pihak saling memaaf­kan dan tidak menyimpan dendam dan ti­dak mewariskan dendam kepada anak cucu.

Persahabatan Catherine dengan Svet­lana bisa menjadi inspirasi bangsa ini untuk menyongsong masa depan tanpa bayang dendam.

Pengalaman masa lalu yang sangat buruk semestinya menjadi pelajaran sangat berharga untuk kehidupan bang­sa yang lebih baik dalam NKRI ber­dasarkan Pancasila.

Saya Pancasila

Pemerintahan Presiden Joko Wido­do berupaya keras membumi­kan Pan­ca­sila. MPR RI pun melakukan sosia­lisasi tanpa henti meng­enai empat pilar kebangsaan yakni Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan RI, dan Bhin­neka Tunggal Ika.

Bahkan untuk pertama kali dalam sejarah, peringatan Hari Lahir Panca­sila 1 Juni tahun ini ditetapkan peme­rintah sebagai hari libur nasional.

Peringatan ini berlatar belakang ra­pat para pendiri bangsa dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemer­de­kaan Indonesia (BPUPKI) di Gedung Chuo Sangi In, Jakarta, yang pada ma­sa kolonial Belanda merupakan Ge­dung Volksraad dan sekarang dikenal sebagai Gedung Pancasila.

Dalam rapat BPUPKI pada 1 Juni 1945, Soekarno menyampaikan pidato mengenai lima dasar negara yang dia sebut dengan nama Pancasila.

Selain memperingati Hari Lahir Pancasila, bangsa ini setiap tahun juga memperingati Hari Kesaktian Pancasi­la tiap 1 Oktober sejak 1965. Namun, se­sungguhnya, Kesaktian Pancasila itu untuk siapa?

Pancasila selain menjadi ideologi dan dasar negara juga menjadi sumber dari segala sumber hukum di Indonesia dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pancasila, yang lahir dari akar sejarah budaya bangsa, me­ngandung nilai-nilai luhur universal yang menjadi pedoman bagi bangsa In­donesia.

Tetapi apakah Pancasila telah be­nar-benar diamalkan oleh seluruh ko­mponen bangsa Indonesia? Di negara berlandaskan Pancasila, mengapa ma­sih terjadi radikalisme dan ekstremis­me serta ideologi lain yang bertenta­ngan dengan Pancasila?

Mengapa di negara yang berasas­kan Pancasila praktik korupsi justru marak, ketidakadilan merebak, pem­bu­nuhan sadis dan di luar nalar terjadi, masyarakatnya mudah diadu domba, dan ada penging­karan terhadap Ketu­hanan dan nilai-nilai agama?

Memperingati Hari Kesaktian Pan­casila tidak sepenting meng­amalkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan berne­gara sehari-hari. Karena pengamalan inilah yang akan menjaga nilai-nilai luhur Pancasila tetap ada, tidak luntur.

Sudah saatnya Pancasila direvita­lisasi sebagai dasar falsafah negara dan menjadi prinsipa prima bersama nor­ma agama. Sebagai prinsipa prima, ma­ka nilai-nilai Pancasila dan norma-norma agama merupakan dasar untuk seluruh masyarakat Indonesia berbuat baik. (Budi Setiawanto/Ant)

()

Baca Juga

Rekomendasi