Oleh: Iptu Rismanto J. Purba,S.H.,M.H
SEBELUM melakukan pembahasan lebih lanjut, diawal tulisan ini perlu penulis tandaskan bahwa kita semua tentu sepakat bahwa yang namanya korupsi haruslah diberantas, karena korupsi adalah perbuatan tercela yang bertentangan dengan ajaran agama manapun, dan secara nyata-nyata akan berimplikasi pada terhambatnya program pembangunan disegala bidang yang telah direncanakan pemerintah, dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merupakan cita-cita bangsa kita ini.
Sederhananya korupsi itu juga dapat dipahami sebagai “pencuri”, karena mengambil dan menikmati sesuatu yang bukan haknya, karena didalamnya ada hak-hak masyarakat kecil yang diambil untuk menambah pundi-pundi diri sendiri dengan cara tidak berbudi pekerti. Sehingga tidak ada kata lain siapun yang melakukan korupsi harus diganjar hukuman.
Praperadilan Setya Novanto dikabulkan
Jumat, 29 September 2017, Hakim tunggal Pengadilan Jakarta Selatan Cepi Iskandar memutus mengabulkan permohonan praperadilan Setya Novanto dalam dugaan perkara korupsi kartu tanda penduduk elektronik (KTP-E). Pasca putusan, sejumlah media langsung menjadikan putusan praperadilan tersebut menjadi topik pemberitaan sejumlah media online dan cetak pada hari Sabtu tanggal 30 September 2017.
Kompas.com mengangkat judul Penjelasan KPK Terkait Penetapan Tersangka Novanto di Awal Penyidikan, Detiknews mengangkat judul Novanto Menangi Praperadilan KPK: Dia Ngak akan Bisa Lari, Harian Kompas mengangkat judul Novanto Bisa Tersangka Lagi, Harian Analisa mengangkat judul Putusan Hakim Dinilai Janggal dan Harian Tribun Medan mengangkat judul Lima Pria Tegap Kawal Hakim Setya Novanto.
Secara umum pemberitaan media adalah mengungkapkan kekecewaan atas putusan praperadilan perkara Setya Novanto, karena dinilai tidak mendukung semangat pemberantasan korupsi.
Penetapan tersangka yang prematur
Pertimbangan Hakim Cepi Iskandar dalam membuat putusan. Pertama, Cepi menilai penetapan tersangka Novanto oleh KPK sudah dilakukan diawal penyidikan. Padahal, menurut Hakim, harusnya penetapan tersangka dilakukan diakhir tahap penyidikan suatu perkara, Kompas.com Jumat, 29 September 2017 dengan judul berita Ini Pertimbangan Hakim Cepi Batalkan Status Tersangka Setya Novanto.
Untuk memastikan hal tersebut kita dapat melakukan pengecekan berita diberbagai media salah satunya di Kompas.com tanggal 17 Juli 2017 dengan judul berita Jadi Tersangka, Setya Novanto Pimpin Rapat DPP Golkar di Kediamannya. Artinya bahwa penetapan tersangka terhadap Setya Novanto dilakukan pada tanggal 17 Juli 2017, bersamaan dengan dengan penerbitan surat perintah penyidikan yang kemudian turut dibatalkan oleh Hakim Cepi melalui putusan praperadilan.
Dari keadaaan ini maka kita para praktisi hukum yang tentu memahami hukum acara (pidana) akan sangat paham dengan putusan Hakim Cepi, karena bagaimana mungkin surat perintah penyidikan baru terbit sudah ada tersangkanya, terkecuali dalam hal tertangkap tangan sebagaimana rumusan Pasal 18 ayat (2) KUHAP.
Sementara perkara Setya Novanto bukanlah perkara tertangkap tangan! Sehingga penetapan tersangka yang dilakukan penyidik KPK memang adalah penetapan tersangka yang prematur.
Pengertian penyidikan
dan penetapan tersangka
Bahwa Pasal 1 angka 2 KUHAP sudah sangat jelas merumuskan tentang defenisi Penyidikan yang diartikan sebagai serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu menjadi terang tentang tindak pidana yang terjadi dan menemukan tersangkanya.
Dari rumusan tersebut sudah sangat jelas tergambarkan bahwa sebelum ditetapkan seseorang menjadi tersangka, maka ada kegiatan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu menjadi terang tentang tindak pidana.
Bukti-bukti tersebut dapat diperoleh penyidik dengan cara memeriksa saksi-saksi, memeriksa ahli, menerima bukti surat dan melakukan penyitaan terhadap barang bukti. Dalam melakukan semua kegiatan tersebut dibutuhkan waktu yang cukup lama, karena untuk memanggil saksi saja, dibutuhkan batas waktu yang wajar antara diterimanya panggilan dengan hari seseorang diwajibkan menghadiri panggilan sebagaimana rumusan Pasal 112 KUHAP, sehingga adalah sesuatu yang mustahil penetapan tersangka bersamaan dengan terbitnya surat perintah penyidikan.
Penetapan seseorang menjadi tersangka haruslah didasarkan pada ditemukannya bukti permulaan sebagaimana rumusan Pasal 1 angka 14 KUHAP yang membuktikan bahwa seseorang karena perbuatannya atau keadaannya diduga sebagai pelaku tindak pidana.
Kemudian putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 21 / PUU-XII/2014 dinyatakan bahwa frasa bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup dan bukti yang cukup sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus dimaknai sebagai minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP. Adapun alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP sebagaimana kita ketahui bersama adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.
Penemuan alat bukti
Bahwa dalam proses persidangan permohonan praperadilan Setya Novanto, Kepala Biro Hukum KPK Setiadi menyatakan bahwa KPK sudah memiliki sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang ditemukan dalam proses penyelidikan untuk menjadikan Setya Novanto sebagai tersangka, Kompas.com Jumat tanggal 22 September 2017 dengan judul berita KPK Sebut Dua Alat Bukti Keterlibatan Novanto Didapat Sejak Penyelidikan.
Menjadi sesuatu yang rancu, bagaimana KPK bisa menemukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti dalam tahap penyelidikan dihubungkan dengan dengan rumusan Pasal 1 angka 5 KUHAP yang mendefenisikan penyelidikan sebagai serangkain tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan atau sering juga diartikan untuk menentukan sebuah peristiwa merupakan tindak pidana atau bukan.
Alat bukti dipastikan tidak akan ditemukan dalam proses penyelidikan, alat bukti hanya akan ditemukan dari proses penyidikan. Kita bisa saja sangat percaya, bahwa dengan kemampuan personel penyelidik dan dukungan teknologi di KPK, dalam proses penyelidikan KPK sudah memiliki sejumlah bukti tentang dugaan seseorang telah melakukan tindak pidana korupsi, namun bukti-bukti penyelidikan tersebut tentu saja tidak bisa langsung menjadi alat bukti dalam penyidikan.
Bukti-bukti hasil penyelidikan harus terlebih dahulu dikonversi menjadi alat bukti dalam penyidikan dengan cara melakukan pemeriksaan (BAP) saksi, melakukan pemeriksaan (BAP) ahli, menerima bukti surat dan melakukan penyitaan terhadap barang bukti, dimana keseluruhan kegiatan tersebut hanya dapat dilakukan dalam proses penyidikan.
Penutup
Sebagai praktisi hukum tentu kita sangat memahami, bahwa setelah diterimanya permohonan praperadilan dari Setya Novanto, tidak menutup kemungkinan suatu waktu Setya Novanto kembali ditetapkan sebagai tersangka, karena KPK cukup menerbitkan surat perintah penyidikan yang baru, kemudian melakukan kegiatan mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi (tindak pidana korupsi), kemudian kembali melakukan penetapan tersangka.
Namun demikian ditengah tingginya ekspektasi masyarakat terhadap KPK dalam pemberantasan korupsi, seharusnya kesalahan-kesalahan yang bersifat sangat mendasar seperti ini jangan sampai terulang lagi, karena akan menimbulkan multi asumsi dan persepsi dalam masyarakat yang menguras energi dan mengganggu kondusifitas negeri, terlebih orang yang dijadikan tersangka yang kemudian dinyatakan tidak sah oleh pengadilan adalah pejabat publik dengan jabatan yang sangat prestisius. ***
Penulis adalah Perwira Urusan Bantuan Hukum (Paur Bankum) Bidang Hukum Polda Sumut