Tak Pernah Terpikirkan

Oleh: Karahayon Suminar

Kadang aku terperogok per­­tanyaan yang seminggu ini se­lalu datang tanpa beruluk sa­lam, pertanyaan tentang mamaku berkaitan dengan siklus kehi­dupan. Akhir-akhir ini mama se­perti membuka mataku tentang itu. Minggu lalu, mama berulang tahun yang ke 61. Cukup tualah. Cuma syukurlah mama masih se­hat. Sepertinya, mama belum pu­nya larangan dokter tentang ma­kanan yang boleh dan tidak bo­leh untuk dimakan.

Di mataku,  menapaki kehidu­p­an di usia ke 62 tahun, mama se­pertinya sedang berproses ke putaran siklus hidup itu. Dulu se­waktu kecil latihan merang­kak, berdiri dan berjalan, kini ma­ma juga begitu. Jika bangkit dari duduk setelah baca koran mi­salnya, perlahan-lahan, jalan­nya mulai seperti unta. Perlahan dan tertatih. Gigi mama juga ting­gal sedikit. Persis seperti anak-anak 4-5 tahunan yang be­lum genap tumbuhnya.

Aku jadi ingat inang/ibu te­manku yang mulai mengompol ke­tika duduk menonton tivi. Su­dah dol klep urinenya ngkali. Ada beberapa hal yang pantas aku syukuri.

Pertama: Mama belum dan mu­dah-mudahan tidak seperti inang temanku yang mudah ngom­pol di  sembarang tempat. Bahkan kata temanku - ngompol ketika sedang berjalan. Sedih­nya, katanya tak terasa lagi jika sedang ngompol. Kececeran. 

Kedua: Mama masih ‘waras’ pi­kiran dan nuraninya. Maksud­ku, bicaranya masih bagus, kritis dan bermutu. Itu pertanda semua masih normal. Belum ‘didik’ se­perti layaknya orang-orang yang kelewat tua mau kembali ke ke­kanak-kanakan.

Ketiga, inilah perubahan nya­ta dan besar, sangat jelas aku ha­da­pi. Mama tambah sensi. Mu­dah tersinggung. Gampang ter­pancing emosinya yang lalu ek­sekusinya kadang sedikit lebay/berlebihan. Jika sedang memun­cak, sering mengagetkan. Seperti berteriak tak peduli setan, me­mancing mang Badar dan bik Nur. Dua pembantu setia kami ber­larian ingin tahu  apa yang se­dang terjadi.  Atau memban­ting pintu lalu mengunci diri di kamarnya dan baru keluar setelah  cooling down.

Sebagai anak, tentu aku harus pandai bertahu  diri. Karena aku sangat paham dan meyakini, mama sebenarnya orang baik. Sangat baik pun.

Keempat: ini paling penting dan super penting. Kami, aku dan mama adalah sama-sama sa­tu-satunya. Aku anak satu-satu­nya mama dan mama juga satu-satunya keluargaku. Memang ma­ma punya satu abang satu ka­kak. Rasanya jauuuh... kali. Mereka dan keluarganya tinggal di kampung. Di Tiganderket sana. Belum tentu dua atau tiga tahun pun untuk sekali-sekali me­nengok kami di Medan. Kami maklum. Karena saudara-sauda­ra mama peladang yang harus te­­rus menerus mengurus dan men­jaga  ladang. Bukan maksud menghina, kami memak­lumi ke­a­daan mereka secara eko­nomi. Pas-pasan.

Aku dan mama saling  punya ko­mitmen. Walau tak  terucap­kan, maupun tertulis, untuk sa­ling menjaga. Saling momong. Ju­ga saling menyayangi pasti­nya. Walau kadang kami sangat menyadari - ibarat gelas piring, se­sekali pasti berantuk juga.

* * *

Mejinku, mama mau ngo­mong. Dengarkan baik-baik dulu ya jangan terus marah. Kemarin bu Santi depan rumah kita ntu singgah kemari sebelum ber­angkat kerja. Dia bertanya sam­bil menyindir kurasa. Tentang dua maha­siswimu itu. Pagi Bu Ginting,... apa benar Bu Ginting sekarang buka kost-kostan ya, ada temanku lagi cari kost. Oh ya dua mahasiswi yang cantik-cantik itu orang apa sih Bu Gin­ting, kayaknya pada pelit senyum kutengok. Cuek bebek.“

“Jadi Mama ...?”

“Ya aku jawab apa adanya: O itu mahasiswinya anakku Bu Santi, sedang menyusun skripsi. Kebetulan, anakku dosen pem­bimbingnya...“

“Sampai segitunya ya Ma. Open betul dia ah.“ sambutku spon­tan. Memang ku­akui ada ra­sa ser di kepalaku. Aku harus sa­dar. Namanya juga hidup ber­tetangga. Selalu ada saja ‘bunga-bunganya’. Lagian memang itu­lah kenyataannya, banyak urban yang walaupun sudah bertahun-tahun sukses di kota tapi tak juga mengkotakan diri. Masih juga di­bawa-bawa budaya dari  kam­pungnya.

“Itulah... bagi mama, soal re­kening listrik naik dari 300.000 menjadi 500.000 aku nggak per­duli. Toh kau juga yang memba­yar. Soal beras serta mie instan, stok telur, gula  dan susu yang cepat habis itu juga urusanmu kan ?!  Cuma ya jujur saja karena mereka sudah hampir se­tengah bulan, mama mulai terusik nih. Kau tahu kan passion mama? Mama malu Mejinku,  jika harus berebut tivi.  Berebut kursi di ru­ang tamu. Kau tahu kan mama suka nyantai baca-baca di situ. Mama ini cuma tinggal ingin me­nikmati sisa hidup saja, Nak­ku. Entahlah Nakku, mama ka­dang menangis juga dalam hati me­lihat perilaku mereka. Sering mama pergoki lewat tengah ma­lam, mereka tidur di ruang tamu  mana kipas angin gantung itu menyala kencang, semua lampu hidup. Tivi juga hidup menonton mereka yang sedang nikmat dan lelap. Menurutku mereka macam hedonis berat ya. Anak-anak o­rang kayakah rupanya mereka ?”

Aku terpaksa harus diam. Ka­rena aku tahu dan sadar sesa­dar-sadarnya, Mama sedang me­muntahkan segala yang menye­sak di dalam dirinya. Ketika ma­ma menarik nafas aku mengang­guk-angguk kecil, menunjukkan aku sedang serius meresponnya.

“Mama cuma ingatkan kau, jangan sampai mereka juga menganggap bik Nur dan mang Badar adalah pembantu-pem­ban­tunya. Kau harus antisipasi si­kap open bu Santi itu. Jika go­sip itu sampai ter­dengar ke teli­nga perangkat kelurahan bisa-bi­sa kita ditegur. Kenapa tak la­por jika sudah buka usaha kost-kostan. Ingat dan pikirkan itu.” kata mama sambil berbalik ma­suk kamarnya.

“Ya Ma,” hanya itu yang sem­pat ter­ucapku. Semoga telinga mama menang­kapnya.

Di sebuah pagi. Aku terba­ngun­kan oleh ‘raungan-raungan’ mama yang kudengar nada-na­danya nyaris memun­cak. Aku ber­jingkat untuk tahu apa gera­ngan sedang terjadi. Kulihat ma­ma sedang menunjuk-nunjuk muka bik Nur. Karena melihat bik Nur sedang menggigil di­cengkeram takut, aku melangkah perla­han mendekati mereka.

“Kemarin, aku lihat kau cuci­kan juga baju-baju mereka! Di­bayar berapa kau? Dibayar bera­paaaa? Kau itu kerja sama siapa sih? Mereka itu bukan keluarga kita tahu?“ bentak mama. Bik Nur tak berani berkata sepatah­ pun. Sungguh aku tak tega meli­hat bik Nur ketakutan seperti itu. Bibirnya gemetar seperti sedang berhadapan dengan monster?

“Maaa...” sapaku selembut mungkin. Mama yang tak me­nya­dari aku telah di belakangnya mengendurkan sedikit tali ke­kang kemarahannya.

“Ah kam pe. Sudahkah kam kasih tahu mereka ?” (Ah kam pe –Karo= Ah kau pun).

“Sudahlah Maaaa,” kataku te­tap selembut mungkin dengan ha­rapan mama cepat turun emo­sinya. Tiba-tiba kulihat kekang kemarahan mama menegang kem­bali. Kurasa mama benar-be­nar mendekati puncaknya, bi­birnya mulai bergetaran. Mama mulai menunjukkan telunjuknya ke mataku. Aku terkesiap. Seki­las, terpikir olehku. ‘Sinabung’ mau erupsi besar nampaknya.

Tiba-tiba mama berbalik. Ma­suk dengan membantingkan pin­tu kamarnya begitu keras. Secara refleks aku menoleh ke belakang. Mang Badar dan bik Nur sedang menggoyang-goyangkan telun­juk­nya. Sebagai isyarat agar ma­ma tak teruskan niatnya untuk meledak-ledak lagi seperti tadi.

Tak lama Bik Nur mendekati­ku yang masih agak syok. Ta­ngan­nya mem­bimbingku ke me­ja makan. Bik Nur mengetuk pin­tu kamar mama dengan hati-hati.

“Nya... Nyonya Rehulinaaa... pan­cake-nya sudah di meja ma­kan, Nya.” Kulirik bik Nur me­nempelkan te­linga­nnya ke daun pintu – menantikan jawab. Ya aku tahu, itu kebiasaan mama sarapan pancake.

“Ya Nur...Mejin suruh sarap­an dulu. Nanti terlambat.” Ada ra­sa ces yang sejukkan dadaku. Alhamdulillah. Mama telah men­dingin begitu cepatnya. Ter­bersit dibenakku, dengan me­mang­gil nama mama - Rehulina-kah, yang membuat mama begitu cepat dingin? Segera aku sarapan karena hari ini aku dapat mandat dari Kampus untuk jadi Korlap/Koordinasi Lapangan. Kampus ka­mi ikut  bazar di  farmasi USU.

“Maaa... Mejin berangkat.”

“Ya... hati-hati menyetir.” teriak mama - keibuan seperti bi­asanya,  semakin menenang­kan hatiku.

* * *

“Bik, aku mau tanya. Bibik ha­rus jawab dengan jujur ya.“ Bik Nur hanya mengangguk.

“Hari itu, pagi-pagi, ketika ma­ma menunjuk-nunjuk wajah­ku seperti mau marah besar, kuli­hat bik Nur dan mang Badar meng­goyang-goyangkan telun­juk seperti melarang mama untuk marah besar. Sebetulnya itu...”

“O tentang  itu Non Mejin.” sambar bik Nur sambil menarik ta­ngan mem­bimbingku ke dapur. Didudukkannya aku dan bik Nur duduk di depanku.

“Non nggak usah berpikir eng­gak-enggak. Bibik ni sama Mang Badar tu sudah puluhan ta­hun ikut di sini. Dari Non Mejin belum lahir. Non sekarang sudah 28 tahun kan? Jadi bibik ni sama mang Badar kira-kira ya 35 tahu­nanlah ikut keluarga sini Non.  Saya dan mang Badar tu ya dah pa­ham betullah sama mama Non. Umur saya sama mama Non se­pantar. Tua saya 6 bulan. Tentang jari telunjuk yang begini (bik Nur meng­goyang-goyangkan di depan matanya sendiri). I

Itu saya mengingatkan mama Non untuk tidak marah-marah be­gitu, tidak baik. Saya meniru­kan Biringnya Non, yang dulu su­ka melarang dengan begitu. He he he.“

Menirukan cara Biringku? Ah! Aku tiba-tiba juga ingat Ne­nekku Sembiring yang dulu suka begitu. Memang dulu mama per­nah menerangkan padaku ketika aku tanya tentang Biringku. Ke­na­pa aku harus memanggil Bi­ring, padahal nenek bernama Ra­jua. Begitulah kita kalak Karo nakku, jawab mama. Kalau ne­nek ber­marga Sembiring, cucu­nya boleh me­mang­gilnya cukup dengan Biring. Jika nenekmu Tarigan kam boleh panggil de­ngan  Tigan. Tentang panggilan  Mejin yang dalam Karo berarti si jelek, itu cuma panggilan. Se­betulnya mama tuh sayang dan walaupun memanggilku si Me­jin/si Jelek. Itu panggilan sayang dimaknakan si Cantik. Karena adanya mitos tentang anak kecil yang sering dipanggil si Cantik, seringnya sakit-sakitan.

Di pagi lain. Dengan dramatis mama menarik tanganku sedikit kasar. Ya ampun. Aku berfirasat, ‘Sinabung’ mau erupsi lagi ?

“Lihat! Lihat, dengan seksa­ma.” Mama setengan berbisik, me­nunjukkan padaku. Dari celah pintu kamar aku lihat Juli dan Susi masih tidur sambil berpe­lukan?

“Apa mereka LGBT juga?” ta­nya mama lagi dalam bisik. Aku terkesiap dengan pertanya­an mama yang terasa seperti se­dang  ingin  menyudutkan. Sambil berdalih, aku me­ngisyarati mama dengan ssssttt... Tangan mama ganti aku tarik, aku bawa menjauh dari pintu ka­mar.

“Aduuuh kam pe. Tambah nggak nyaman aku. Di rumahku sendiri kok bisa begini? “ mama menunjuk kepalanya sendiri. Aku maknai supaya aku berpikir.

“Mama masih hidup Nakku, ini masih rumah mama. Kam ha­rus ambil kepu­tusan. Mama tak mau mereka bawa-bawa vi­rus aneh seperti itu. Mama tak ikhlas peraturan rumah mama ini  diinjak-injak semena-mena oleh mereka. Apa memang be­gitu mahasiswa-mahasiswi seka­rang. Macamnya benar juga  si­nyalemen banyak orang menga­ta­kan Mahasiswa-mahasiswi se­karang macam Kupu-kupu kertas ?! Kuliah pulang - kuliah pulang - kerjakan tugas. Terus wisuda. Padahal belum layak di­sebut sarjana ... mentah!”

“Mamaa..kita selidiku dulu. Mama jangan berduga sangka bu­ruk dulu.”

“Ih! Jadi kam membela me­reka itu? Bukti sangat meyakin­kan!“ bentak mama sambil me­nunjuk pintu kamar itu.

“Kau ini, mama juga pernah kost tahu? Apa kau sudah re­mehkan Mama juga yang cuma Spd. Ini? Mama juga pernah se­perti mereka, kost satu kamar,  tapi tidak berpelukan macam be­gitu. Tahu?”

“Mama! Dengar Mejin dulu,” tanpa kusadari suaraku terpan­cing meninggi.

“Ih, Beraninya kau bentak-ben­tak mama? Urus tuh maha­siswamu! Kasih tahu ke mereka bertamu itu tiga hari batasnya. Tiga hari. Kalau lebih tiga hari nggak pulang-pulang tuh nama­nya numpang hidup! Kalau kau nggak sanggup, biar mama yang ngomong kalau rumah ini bukan hotel.” teriak mama his­teris. Tiba-tiba, mama lunglai dan breg terkulai di lantai.

“Bik Nuuur... Mang Ba­daaar!“  pekikku dalam panik.

* * *

Sudah 2 hari mama opname di Rumah Sakit. Mama kena strook. Untung masih tergolong ringan. Penjelasan medis dari dok­ternya, insya Allah mama akan bisa pulih lagi. Dunia ke­dokteran sudah maju. Begitu ju­ga obat-obatan. Banyak yang cang­gih. Manjur.

Imbasnya, kami semua jadi kedodoran. Bik Nur mengaplus mang Badar yang jagain mama semalaman. Karena kebe­tulan aku pun sedang sibuk-sibuknya urusan Kampus, paling sore baru bisa njenguk mama. Mang Ba­dar-lah yang bertugas menjaga mama sampai pagi.

Alhamdulillah, mama tam­pak­nya cukup berkemajuan. Ta­ngan kanannya mulai membaik walau masih sedikit dingin. Su­dah bisa memelukku.  Cuma ada yang nembuatku heran. Mama tambah sentimentil. Sering air matanya sepertinya tak terben­dung. Bercucuran dengan sendi­rinya sambil mengarasi pelipis­ku. Dalam kali pandang matanya. Sempat terbersit, apakah ini me­ngisyaratiku, sebentar lagi mau pergi jauh? Ah, tidak. Tidak! Ya Tuhan, jangan panggil dulu ma­maku. Izinkan mama sembuh. Aku... aku....

* * *

“ Non Mejin, hari ini Non e­ng­gak ngajar di kampus kan? (aku hanya mengangguk). Mama Non ada pesan agar kita dua, jam 8 nanti ke rumah sakit. Mama bilang begitu...”

“Oh ya Bik, mungkin mama ingin kita ramai-ramai menjem­putnya. Kan mama udah sem­buh.” Bik Nur tersenyum lebar. Astaga. Betapa rasanya aku se­perti sedang disambar petir. Aku melihat mang Badar berpega­ng­an tangan dengan mama. Mang Badar mengecup kening mama? Mataku nanar seketika. Kunang-kunang meng­ganggu pemanda­ng­an­ku. Bik Nur yang ada di be­la­kangku memegangi kedua lenganku. Membimbingku untuk duduk di dekat mama.

“Non, mama mau menyam­pai­kan pesan dan sekalian ber­pamitan...” bisik bik Nur. Ke­sadaranku berangsur pulih. Mau berpesan? Mama sekalian berpa­mitan?  Kulihat bik Nur menger­dip, entah isyarat apa kepada ma­ma. Mama pun terseyum ma­nis....

“Mejinku, rasanya sudah tiba saatnya. Pagi ini mama mau ber­pamitan padamu. Kam sudah le­bih dari cukup dewasa. Lebih pen­ting, Tuhan telah tentukan jalan takdirku, takdirmu, takdir Bik Nur juga mang Badar. Kam jangan terkejut, jangan marah. Mama mau bicara tentang kebe­naran. Kebenaran kita semua. Mau tak mau suka tak suka, kam boleh marah, tapi inilah saatnya mama kasih tahu. Kam mejinku yang mama sayangi selama ini, kam itu an.... (mama tersendat bicaranya) .. kam itu anak adopsi mama. Makanya mau berpamit­an sama kam, jika kam berubah boleh tak sayang mama – mama sudah siap segalanya. Mama merasa sudah selesai membayar janji mama, untuk menjunjung tinggi kam sampai S2. Jadi Dosen, mama sudah laksanakan tugas semampu mama. Mereka­lah ayah ibumu.” kata mama sambil merangkul bik Nur dan Mang Badar.  

“Tidak Ma! Tidak mama jangan berpamitan begitu. Kam tetap mamaku. Aku tetap Mejin­ndu.” aku tubruk mama dalam de­raian air mataku.  (Mejinndu- Karo= Mejin-mu). Aku yakin, Tuhanlah yang telah mengge­rakkan kedua tanganku memeluk erat mama. Sebuah peristiwa be­sar baru saja aku terima dan rasa­kan. Peristiwa terbesar dalam hi­dupku.

“Anakku,” bisik bik Nur dan mang Badar ketelingaku. Entah­lah, secara naluriah aku rangkul juga kedua orang tua baruku.

Deli tua Maret 2017.

Catatan:

LGBT= Lesbian, Gay, Bisex, Transgender. Julukan untuk kumpulan orang-orang yang    pu­nya perilaku sex  menyim­pang.

-Hedonis= Pengikut Hedon - na­ma anak dewa di legenda Barat -  yang kerjanya cuma enak-enakan menikmati hidup dan kekayaan bapaknya.

()

Baca Juga

Rekomendasi