Festival Kue Bulan, Festival Kaya Makna

Oleh: J Anto

MITOLOGI Chang Er dan ‘kelinci giok’ yang terbang ke bulan, menjadi latar munculnya tradisi Festival Kue Bulan (Zhong Qiu Jie). Melestarikan suatu tradisi adalah bagian dari eksistensi manusia sebagai makhluk budaya. Namun, saat agama menyerap unsur suatu tradisi, tak pelak, sebuah makna baru dihadirkan untuk memaknai relasi umat dengan Tuhan.

Handy talky di tangan Marwin Tan (39) berkali bersuara, memotong wa­wan­cara. Malam itu, ratusan orang telah menyesak halaman Maha Vihara Mae­triya di Kompleks Perumahan Cemara Asri. Arakan liong dan atraksi barongsai baru saja berlalu. Hujan telah reda cukup lama, menyisakan hawa sejuk umat dan pengunjung Moon Cake Festival Maha Vihara Maitreya. Puluhan tenant kuliner vegetarian dan permainan anak ramai disesaki pe­ngunjung.

Namun di langit, bulan seolah malu-malu menampak­kan diri, bersembunyi dari gumpalan awan hitam yang terben­tuk karena hujan yang mengguyur cukup lama sejumlah kawasan Kota Medan sejak Rabu (4/10) sore.

"Biasanya pukul 20.45 WIB, bulan akan muncul penuh dan pada saat itu kita mulai melakukan ritus sembahyang kue bulan," ujar Ketua Sub Bidang Event, Bidang Pengembangan Mapan­bumi Wilayah IV Sumut, Marwin Tan. Perkiraannya tak terlalu meleset. Tepat pukul 19.42 WIB, bulan tak malu-malu lagi memperlihatkan wajahnya yang bulat putih, mencorong dari gerumbul awan hitam.

Metafiria (21), Dicky Paska Rianto (22), dan Hendy (19) segera mengajak umat untuk sembahyang. Sebuah altar sudah disiapkan di pelataran vihara. Di atas meja altar tersaji beberapa hi­dangan. Ada kue bulan yang dipotong-potong dan ditaruh di atas piring styrofoam bertutup plastik, jeruk bali, jeruk manis, apel, dan nenas. Juga tentu saja lilin dan dupa.

Dipimpin Maha Pandita Citrawira dan Maha Pandita Anna Monita serta pandita lain, sembahyang kue bulan diikuti puluhan umat, di bawah siraman cahaya bulan yang hanya bersinar sekian menit, sebelum kembali disem­bunyi awan hitam.

"Sembahyang ini intinya berisi permohonan kepada Tuhan agar negara kita diberi ketentraman dan kedamaian. Juga doa ungkapan syukur atas kese­hatan dan rezeki dari Tuhan,” ujar Marwin Tan. 

Begitu ritus sembahyang selesai, acara hiburan pun segera digeber. Di atas panggung, sudah bersiap grup sandiwara membawakan lakon legenda Dewi Bulan Chang Er. Para pemain barongsai dan liong juga mulai bersiap. Atraksi mereka jadi pamungkas malam itu.

Mitologi Chang Er

Setiap 4 Oktober Yanglek (Masehi), atau 15 bulan kedelapan dari kalendar Imlek, memang diperingati oleh seba­gian besar orang Tionghoa di berbagai benua sebagai hari Festival Kue Bulan atau festival musim gugur.

Menurut kepercayaan rakyat Tiong­hoa, pada tanggal itu bulan berada di posisi paling dekat dengan bumi, berdampingan dengan batas langit dan bersinar kemerahan. Ada dua mitologi terkenal tentang asal usul Festival Kue Bulan atau Thiong Chiu Pia (Hokkien).

Mitologi pertama berkisah pemanah terkenal Hou Yi dengan isterinya Chang Er. Konon, zaman dulu  di langit ada  10 matahari. Akibatnya bumi jadi panas, ladang, sawah terpanggang hangus, binatang ganas merajalela dan umat manusia menderita. Suatu hari, Hou Yi menaiki Gunung Kunlun dan memanah jatuh 9 dari 10 matahari itu.

Sejak itu, Hou Yi jadi pahlawan yang dihormati rakyat. Ia menikah dengan gadis cantik dan baik hati, Chang Er. Pasangan suami-istri itu saling mencin­tai dan hidup bahagia. Banyak orang belajar memanah dari Hou Yi. Salah satunya Peng Meng.

Suatu hari Hou Yi bertemu Ibu Suri Raya Langit dan diberi obat awet muda seumur hidup. Siapa pun yang minum obat itu bisa terbang ke langit dan menjadi dewa. Hou Yi tidak mau mi­num obat itu karena tidak tega mening­galkan is­trinya. Obat itu lalu disimpan Chang Er. Peng Meng menge­tahui hal itu dan ingin mencu­rinya. Saat Hou Yi pergi berburu, Peng Meng ma­suk ke kamar Chang Er bermak­sud merebut obat itu. Namun Chang Er melawan dan lang­sung menelan obat itu.

Setelah itu tubuh Chang Er menjadi ringan dan ter­bang ke langit. Karena Chang Er sangat kangen dengan suami­nya, ia akhir­nya memilih terbang ke bulan, bintang yang paling dekat dengan bumi. Hou Yi sangat sedih  mengetahui insiden itu. Sembari melihat ke arah bulan, Hou Yi ber­te­riak memanggil nama istrinya.

Tiba-tiba Hou Yi me­lihat bulan sangat terang dan seperti ada bayangan isteri yang sangat dirindukannya. Ia lalu menaruh meja di halaman, menye­dia­kan banyak manisan dan buah-buahan yang disukai Chang Er, dia pun bersem­bayang ke bulan, tempat Chang Er tinggal.

Mitologi kedua berupa kisah kelinci giok. Suatu hari Kaisar Giok menyamar menjadi seorang tua miskin, kelaparan, dan mengemis makanan dari kera, berang-berang, anjing hutan, dan kelinci.

Kera mengumpulkan buah dari pepohonan dan berang-berang me­ngum­pulkan ikan dari sungai. Anjing hutan mencuri seekor kadal dan sepanci dadih susu. Si kelinci, hanya bisa me­ngumpulkan rerumputan. Tahu bahwa rerumputan tidak bisa dita­warkan kepada manusia untuk dimakan, kelinci memutuskan untuk menawarkan tubuh­nya sendiri. Kelinci mengorbankan diri ke dalam api yang sudah dinyalakan pengemis tadi. Namun ajaib, si kelinci tidak terbakar. Orang tua tadi segera menunjukkan wujud aslinya sebagai Kaisar Giok.

Tersentuh atas pengorbanan tulus kelinci, Kaisar Giok lalu mengirim kelinci ke bulan untuk menjadi kelinci giok yang abadi. 

Ingat Makna

“Waktu kecil, saat dengar kedua cerita itu dari ayah, memang wow, kita terbuai. Tapi setelah SMP atau SMA, nalar kita berkembang, apa mungkin kelinci bisa terbang ke bulan, juga manusia seperti Chang Er?” ujar Dicky Paska Rianto. Bersama Metafiria dan David Candra (19), Andre Linardy (20) dan Hendy, kelimanya adalah maha­siswa dan relawan Festival Moon Cake 2017 Maha Vihara Maitreya.

Hidup-mati sebuah tradisi atau kebudayaan, sedikit banyak bergantung pada masyarakat yang menghidupi kebudayaan tersebut. Acapkali, invasi budaya asing yang masif membuat orang kepincut dengan kebudayaan etnis atau suku lain. Lalu lupa atau abai dengan kebudayaan sendiri.

"Kami tentu tak ingin keadaan seperti itu terjadi, semisal budaya Festival Kue Bulan," ujar Dicky, yang asal Pontianak itu. Disadari dari tahun ke tahun selalu ada pembaruan pada berbagai elemen perayaan.

"Dulu waktu SD, kalau ikut pawai meng­­gunakan lampion kertas minyak sekarang sudah pakai lampion eletronik. Isi kue bulan juga tak lagi kacang merah, kacang hijau atau telur kuning, sudah ada bluberry atau yang lain," tambahnya. Perubahan tak mungkin ditampik, yang penting generasi muda Tionghoa paham makna festival terse­but. Mereka jangan terpaku pada bu­daya material seperti kue atau lam­pion. 

Bagi mahasiswa fakultas ekonomi jurusan manajemen itu, sembahyang kue bulan harusnya jadi momen me­ng­ungkapkan rasa syukur atas rezeki yang telah dilimpahkan Tuhan. Ia misalnya bersyukur karena mendapat beasiswa hingga bisa kuliah di Medan. Setali tiga uang dengan yang diungkapkan Meta­firia, David Chandra, Andre Linardi, dan Hendy.  

"Kita juga mengucap syukur karena sampai saat ini masih diberi kesehatan dan prestasi akademik bagus," tambah David Chandra, mahasiswa jurusan fakultas sastra China ini.

Pada perayaan kali ini, Metafiria juga mendapat hikmah "baru". Menurut mahasiswi asal Samarinda itu, bentuk kue bulan yang bulat memberi pesan agar setiap keluarga senatiasa menjaga keutuhan dan keharmonisan.  "Walau saya seka­rang tak berkumpul dengan keluarga di Samarinda, namun di Medan saya juga punya keluarga baru, yakni sesama perantau yang bisa hidup saling membantu dalam keber­samaan."

Marwin Tan juga mengajak untuk belajar dari bulan. Saat bulan tertutup awan, bulan jadi gelap, tapi kala berhasil melewati awan hitam, bulan terang benderang. Sama seperti  manusia, ada kalanya mengalami penderitaan, ada kalanya mereguk kejayaan atau kesuk­sesan. Bulan juga menerangi kegelapan tanpa pamrih dan tanpa membedakan-bedakan. 

“Itu artinya perayaan kue bulan juga jadi pembelajaran umat yang tengah berjaya untuk berbagi dengan orang lain yang berkekurangan, tanpa pamrih,” ujarnya. Menurut Marwan, itu bagian dari penerjemahan budaya dunia satu keluarga.

(Analisa/junaidi gandy) Pemuda Buddhist sedang mempertunjukkan Tarian Naga pada acara perayaan Festival Kue Bulan di Maha Vihara Maitreya Cemara Asri.

(Analisa/junaidi gandy) Suasana keramaian malam perayaan Festival Kue Bulan di Maha Vihara Maitreya Cemara Asri.

Marwin Tan, Metafiri, Andre Linardy, David Candra, Hendy, dan Dicky P Rianto

(Analisa/junaidi gandy) Atlet pemula wushu yang berlatih di Yayasan Kusuma Wushu Indonesia mengikuti perlombaan makan kue bulan pada acara Festival Kue Bulan.

()

Baca Juga

Rekomendasi