Penelitian

Cara Jitu Capung Purba Goda Betina

CAPUNG jantan purba Yijenplatyc­nemis huangi memanfaatkan kaki-kakinya yang seksi untuk menarik perhatian betina.

Resin berusia 100 juta tahun menyim­pan kaki-kaki seksi de­ngan warna atraktif milik pejantan capung jarum yang biasa digunakan untuk menggaet para betina.

Baru-baru ini tiga pejantan tadi ditemu­kan terawetkan di dalam resin dari era Cretaceous. Mereka kini menghadirkan pe­mahaman baru mengenai cara capung jarum kawin dengan pasangannya.  Para pe­neliti mengatakan, bagian seru­pa kelo­pak di kaki serangga tersebut mem­beri pe­tunjuk tentang ritual pacaran yang mirip na­mun lebih rumit daripada yang diprak­tikkan oleh spesies capung modern.

Proses kawin yang terjadi pada capung jarum (Zygoptera) dan kerabatnya, yaitu kelompok capung Anisoptera, telah dije­laskan sebagai kombinasi rumit dari kerja­sama dan konflik. Dalam beberapa spesies, para pejantan mengejar dan meringkus si betina sebelum pasangan tersebut bergulat dalam posisi kawin yang khusus.

Serangga purba itu, yang dinamai Yi­jen­platycnemis huangi, lebih besar dibandingkan capung jarum yang ada saat ini dan memiliki ciri khas dari struktur ka­­kinya yang menonjol dan dihiasi dengan tanda serupa mata.

Bintik besar berbentuk mata yang nam­pak di kaki Y. huangi diketahui berguna se­bagai mekanisme pertahanan diri, de­ngan menakut-nakuti predator atau menang­kis serangan terhadap sayap-sayap mereka. Namun menurut Zheng Daran dan Wang Bo dari Nanjing Institute of Geology and Paleontology, Chinese Academy of Sciences, hiasan tadi digunakan untuk menarik perhatian betina.

Capung jarum memiliki penglihatan yang baik, dan bintik yang menonjol tadi dapat mempermudah menarik perhatian si betina, meningkatkan kemungkinan untuk kawin.

Saat ini, beberapa pejantan capung ja­rum menggoyangkan kaki mereka sebagai ritual kawin, walaupun penampilan me­reka jauh lebih tidak menyolok.

Melissa Sanchez Herrera, seorang pe­nerima beasiswa dari National Geographic dan pakar capung, mengatakan bahwa struk­tur kaki serangga era Cretaceous yang le­bih besar itu telah pudar seiring waktu ka­rena ter­nyata hiasan tadi menarik per­hatian predator. Selain itu, kaki yang besar dapat mem­perlambat kecepatan dan efisiensi terbang si pejantan.

Apapun alasan perubahan tersebut terjadi, Sanchez Herrera yakin bahwa se­rangga yang ditemukan terperangkap tadi merupakan sebuah temuan hebat, karena telah memberikan para pene­liti kesem­pa­tan untuk memahami evolusi dari struktur tubuh yang berbeda di antara capung jarum kuno dengan yang hidup saat ini. “Pene­muan ini merupakan keberun­tungan, ha­nya keberuntungan,” jelas Herrera.

Pura-pura

Sementara itu, ilmuwan tak sengaja menemukan perilaku capung betina yang berpura-pura mati ketika dikejar oleh satu atau dua pejantan yang tak diinginkan.

Ketika telah berpasangan, seekor capung betina hanya ingin bertelur dan me­lanjutkan hidupnya.

Oleh karena itu, ketika sedang dikejar oleh satu atau dua pejantan yang tidak di­inginkan, dia akan jatuh ke tanah dan pura-pura mati, ungkap Rassim Khelifa da­lam jurnal Ecology.

Khelifa, seorang murid PhD di Department of Evolutionary Biology and Environmental Stu­dies, University of Zurich, tidak sengaja menemukan perilaku capung tersebut ketika sedang mengumpulkan telur capung Aeshna juncea di pegunungan Alpen.

Tujuan awalnya adalah untuk mem­pelajari efek perubahan iklim pada capung dengan meng­amati telur-telur tersebut ketika diletakkan pada temperatur yang berbeda-beda di laboratoriumnya. “(Pe­nemuan) ini merupakan hasil sam­pingan dari penelitianku,” ujarnya kepada Live­Science.

Khelifa mengatakan bahwa strategi per­tama yang digunakan oleh capung betina untuk menghindari pejantan adalah dengan bertelur di area yang tertutup ta­na­man. Na­mun, mereka masih dapat di­ganggu oleh pejanta ketika dalam perja­lanan dari dan menuju area tersebut.

Di sinilah mereka menggunakan stra­tegi pura-pura mati.

Dari 35 betina yang diamati oleh Khe­lifa, sebanyak 27 jatuh ke tanah atau se­mak-semak untuk pura-pura mati. Namun, ha­nya 21 di antaranya yang berhasil mengelabui pejantan. Selain itu, dia juga mengungkapkan bahwa 71 persen memilih untuk jatuh di area semak-semak daripada lahan terbuka.

Hal ini karena seekor capung pejantan yang sedang mengudara hanya dapat mendeteksi lingku­ngannya dari gerakan dan warna. Dengan diam di tanah atau se­mak-semak, seekor betina dapat menyem­bu­nyikan dirinya dari pandangan pejantan.

Lalu, ketika sang pejantan sudah pergi, capung betina tersebut akan kembali ter­bang dan melanjutkan perjalanannya. Se­baliknya, capung betina yang tetap ter­bang akan disergap oleh pejantan di udara.

Strategi ini, menurut Khelifa, mem­bantu capung betina untuk meng­hindari konflik seksual de­ngan pejantan.

Diaf mengatakan bahwa berpasangan dengan satu pejantan saja dapat membuahi semua telur yang dimiliki oleh seekor ca­pung betina dan berpasangan dengan pe­­jantan lain setelahnya cenderung ber­akhir agresif.

“Ketika seekor penjantan berkopulasi dengan betina, hal pertama yang dilaku­kannya ada­lah mengeluarkan sperma milik pejantan sebelumnya dan perilaku ini dapat merusak saluran reproduksi betina. 

Oleh karena itu, berpasangan berkali-kali tidak menguntungkan bagi betina,” ka­tanya. (sww/ngc/kc/ar)

()

Baca Juga

Rekomendasi