Onan

Oleh: Roy Martin Simamora. DALAM bahasa Batak, kata Onan berarti pasar atau pekan. Secara eti­mologis, kata Onan berasal dari kata “on” dan “an” artinya “ini” dan “itu”. Lazimnya, ketika seorang ibu-ibu (inang-inang) membeli atau mena­war­kan sesuatu: sadia on? (berapa ini?), sadia an? (berapa itu?). Kalimat tanya ini kerapkali muncul ketika berbelanja di pasar. Karena itulah tempat kegiatan bertransaksi antara pembeli-penjual dinamakan Onan. Tiap-tiap daerah tentu memi­liki pena­maan tersendiri soal itu.

Dalam pengertian sempit, pasar didefenisikan sebagai tempat berte­mu­nya penjual dan pembeli yang mela­kukan transaksi jual-beli. Dalam buku Principles of Marketing, Kotler dan Amstrong (1999) mendefe­nisi­kan pasar adalah seperangkat pembeli aktual dan potensial dari sebuah produk atau jasa. Ukuran dari pasar sendiri tergantung pada jumlah orang yang menunjukkan kebutuhan, memiliki kemampuan dalam pertu­karan.

 “Beta tu onan!” (Ayo ke pasar!). Kalimat ajakan ini sering diucapkan oleh seseorang kepada teman atau tetangga. Orang-orang dari berbagai pelosok akan berangkat ke onan bersama-sama. Ada yang jalan kaki, naik angkutan umum, naik mobil pribadi, naik motor, naik perahu dan sebagainya. Tergantung dimana onannya dilangsungkan. Baik itu di darat atau di atas air.

Waktu kecil saya suka ikut ke onan dengan ibu saya. Lautan manusia memadati onan kala itu. Ke onan bersama ibu ber­belanja membuat saya mengenal orang lain. Dari situ saya tahu bagaimana cara pembeli mena­war harga barang dan bagaimana penjual membujuk para pembeli. Seni tawar-menawar menjadi kebiasaan unik di onan. Misalnya, mangga seki­lo dihargai dua puluh ribu, pem­beli dengan bujuk-rayu akan mena­war dengan harga delapan belas ribu atau harga dibawahnya. Penjual tidak mau kalah dengan menimpali bahwa harga mangga sebanding dengan rasa dan kualitas mangga. Pada titik ini, sangat menarik menyaksikan tran­saksi jual-beli antara penjual dan pembeli.

Onan biasanya berlangsung sekali dalam seminggu. Meski­pun di beberapa tempat ada juga yang fre­kuensinya dua kali dalam seming­gu. Tiap tempat memiliki hari onan yang berbeda-beda. Di tempat saya, onan Parlilitan dilangsungkan pada hari Selasa. Dibeberapa tempat seperti Hu­tagalung dan Parluasan dilang­sung­kan pada hari Senin. Di Lae Teras di­langsungkan pada hari Rabu. Di Siantar Dairi dilangsungkan pada hari Kamis. Di Pusuk dilangsungkan pada hari Sabtu. Sepenge­ta­huan saya, onan Parlilitan termasuk onan yang paling ramai diantara onan-onan lainnya. Orang-orang dari berbagai daerah datang berbelanja di onan Parlilitan. Dari berbagai struktur sosial akan berinteraksi di onan.

Di onan kita akan menemukan ada banyak sekali orang berbelanja. Interaksi antara pembeli-penjual akan terjadi disana. Onan biasanya didomi­nasi oleh kaum perempuan. Kendati­pun, kita juga akan menemukan kaum lelaki tetapi tidak sebanyak kaum perempuan. Berbagai macam barang dagangan dijual di onan. Misalnya, beras, pisang, sayuran, kopi, gula, kacang, ayam, bebek, buah-buahan dan masih banyak lagi barang dagangan yang diperjualbelikan.

Di onan ada tawar-menawar harga barang. Tawar-menawar antara pembeli dengan penjual. Biasanya, tawar-menawar ini bisa berlangsung lama. Pembeli akan melakukan basa-basi panjang lebar sehingga penjual luluh hatinya. Bisa jadi penjual menjual dengan harga murah atau dengan harga tinggi. Tergantung kuantitas dan kualitas dari barang yang dijual.

Pada zaman dahulu, onan tidak hanya sebagai tempat berdagang saja. onan juga dijadikan tempat perte­muan orang-orang di huta (kam­pung). Sebelum balai pertemuan ada, onan adalah tempat yang strategis melakukan pembicaraan seputar adat, horja, dan pertemuan lainnya.

Menurut Drs. Dannerius Sinaga, M.A dalam tulisan bertajuk “Fungsi Onan di Kalangan Orang Batak—termaktub dalam buku Pemikiran tentang Batak: Setelah 150 Tahun Agama Kristen di Sumatera Utara, ia menyebut bahwa onan dulunya me­mi­liki fungsi sosial. Jika ditilik dari fungsi sosial, onan sebagai tem­pat interaksi antar individu di ling­kungan sosialnya. Anak yang baru lahir bia­sanya diperkenalkan de­ngan lingku­ng­an­nya yang baru de­ngan menga­dakan upacara tertentu. Di­adakan upa­cara mangebang, berasal dari kata ebang yang artinya berjalan ke pasar (onan). Pada ke­sempatan inilah, si anak diper­kenal­kan kepada kerabat dan handai tolan (ale-ale).

Selain itu, fungsi onan juga sebagai tempat dilangsung­kannya mangadati (pesta adat), resepsi pernikahan dan mangulosi (memberikan ulos). Di onan misalnya, dilakukan resepsi pernikahan dan mangulosi. Peristiwa ini akan disaksikan oleh keluarga kedua mempelai dan kerabat dekat. Mereka akan memilih tempat strategis untuk melangsungkan prosesi adat Batak. Di atasnya digelar tikar sebagai tempat duduk para keluarga, kerabat dekat dan tamu undangan. Tidak hanya itu, acara makan dilakukan pada hari itu juga.

Onan sebagai tempat berinteraksi antar pembeli dan penjual bukan semata-mata hanya memiliki fungsi ekonomi saja, atau tawar menawar barang dagangan atau produk. Setelah membeli barang, lalu berlalu begitu saja tanpa makna apa-apa. Tetapi, onan lebih dari itu sebagai interaksi sosial antar elemen masyarakat yang berbaur. Onan sebagai tempat yang menyatukan keragaman dan mene­rima perbedaan. Orang-orang yang bertemu satu sama lain di onan tidak hanya sekedar “chit-chat” semata, tetapi ada pemaknaan tersendiri dari pertemuan tatap muka itu.

Onan hadir sebagai tempat yang pas ditengah arus modernisasi yang kian massif. Egoisme, etnosentrisme, dan fanatisme buta mengaburkan pandangan manusia terhadap manu­sia yang lain. Fanatisme buta mela­hirkan manusia yang antipati, antiso­sial, agitator, dan maunya menang sendiri. Emo Ergo Sum (aku belanja maka aku ada) adalah semboyan yang mengakar kuat di zaman sekarang ini. Manusia mulai melupakan dirinya sebagai makhluk sosial (zoon poli­ticon), makhluk yang membutuhkan bantuan manusia yang lain.

Momok “dunia instan” yang me­lang­gengi perkembangan zaman belakangan ini, memang menjadi ikon sekaligus ‘agama’ baru di masyarakat. Ketika suatu produk dikonstruksi serba instan, secara otomatis akan menggeser waktu konsumsi menjadi semakin pendek. Ber­tebarannya produk-produk sekali pakai yang terpampang di banyak media mas­sa, menambah pendek rentang waktu pakai suatu produk. Manusia tidak perlu lagi repot-repot berbelanja ke mall, pasar atau pusat perbelanjaan dengan mem­bawa tas dan keranjang. Lewat ponsel pintar cukup sekali sentuh, produk atau barang yang dibeli dapat di antar lang­sung ke alamat rumah yang dituju.

Sadar atau tidak, manusia zaman se­karang menjadi lupa diri. Jauh sebelum mall, pusat perbelanjaan modern dan gadget pintar ada—Onan telah lebih dulu membuktikan eksistensinya. Singkatnya, onan adalah interaksi tatap muka langsung antar pembeli dan penjual.

Saya tentu berharap agar onan terus dipertahankan dan dilestarikan se­bagai bagian dari kebudayaan manusia, khususnya di tanah Batak. Beta tu onan! ***

()

Baca Juga

Rekomendasi