SASTRA koran memberi kontribusi penting lahirnya sejumlah sastrawan besar Sumatera Timur pada awal abad 19. Sanusi Pane, Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, Chairil Anwar, Hamka, adalah mereka yang saat muda ‘diduga’ akrab dengan karya-karya sastra koran yang dimuat seperti di Pewarta Deli, Sinar Deli, Soeara Djawa atau Perempoean Bergerak.
Bentuk karya sastra seperti puisi esai, judul puisi yang dipuisikan atau karya fiksi dalam bentuk surat juga sudah muncul seabad silam. Sebuah ‘harta karun budaya’ yang butuh ekplorasi lebih lanjut.
Sebuah riset awal dilakukan sejarawan Ichwan Azhari terhadap 32 eksemplar surat kabar terbitan Sumatera Timur selama periode 1916 – 1950. Ada cukup banyak temuan awal mengejutkan dan memerlukan penelisikan lebih lanjut. Tujuannya agar temuan itu bisa merekonstruksi wajah sastra Indonesia yang lebih membumi.
Total ada 103 puisi, 100 cerita pendek dan cerita bersambung yang dimuat di 32 surat kabar yang dikoleksi Ketua Pusat Studi dan Ilmu-Ilmu Sosial (PUSSIS) Universitas Negeri Medan itu. “Yang mengejutkan, ternyata puisi dalam bentuk esai atau surat sudah ditulis penyair Sumatera Timur seratus tahun lalu,” ujar Ichwan Azhari. Ahli filologi itu menjadi salah seorang pembicara dalam acara Omong-Omong Sastra (OMSAS) yang diadakan di Sanggar Generasi, baru-baru ini.
Pembicara lain, Damiri Mahmud. Penyair, cerpenis juga novelis senior Sumut itu sekaligus salah seorang dari tujuh inisiator OMSAS. Dua penulis muda tampil, Yulia Tasnim dan Salsa Putri Sihombing. OMSAS dihadiri sejumlah penulis dan pegiat sastra lintas generasi. Hadir Shafwan Hadi Umry, Mihar Harahap, Sugeng Setya Dharma, Nasib TS, Hidayat Banjar, Nevatuhella, Sartika Sari, Romulus ZI Siahaan, Sri RM Simanungkalit, Agus Susilo, dsb.
Karya Sastra Koran
Menurut Ichwan, tradisi koran di Medan memuat puisi, pantun, cerita pendek atau cerita bersambung sebenarnya meniru koran-koran Belanda seperti Deli Corant dan Soematera Post. Koran-koran Belanda menyediakan ruang khusus untuk karya sastra, mengingat orang-orang Belanda yang datang ke Sumatera Timur seiring perkembangan kapitalisme perkebunan, berasal dari kalangan kelas menengah, bukan kelas serdadu seperti yang datang ke Jawa.
Ia misalnya menyebut suami isteri Madelon Hemina Zekely dan Lulofs yang menulis novel Koeli dan Berpacu Nasib di Kebun Karet, yang diakui sebagai karya sastra dunia. Lulofs sendiri seorang administratur perkebunan. Elit pergerakan di Sumatera Timur yang umumnya mendirikan koran sebagai senjata perjuangan mereka meniru kebiasaan koran Belanda membuka rubrik budaya.
“Saya kira ini yang membuat sejumlah sastrawan angkatan Poedjangga Baroe, Balai Pustaka atau Angkatan 45 dari Sumut memiliki kekuatan dalam karya-karya mereka, sekalipun karya mereka lahir setelah tinggal di Jakarta,” ujarnya.
Ia memberi contoh Chairil Anwar yang sudah berkarya 9 minggu setelah tinggal di Jakarta. Menurut Ichwan, hal itu tidak terpisah dati embrio kepenyairan Chairil Anwar yang hidup dalam budaya sastra koran di Medan. Beberapa idiom yang dipakai Chairil Anwar seperti “beta” juga sudah ditemukan pada koran-koran di Medan seabad silam.
Soal bentuk karya sastra yang dipilih, para penyair di Sumatera Timur juga seperti mendahului zamannya. Pada 2016, publik sastra heboh atas terpilihnya buku kumpulan puisi esai Denny JA sebagai salah salah satu buku terpilih dari “100 Buku Sastra Indonesia yang Patut Dibaca”. Kumpulan puisi esai Denny JA dianggap telah memberi warna baru dalam proses karya puisi di Indonesia.
Namun seratus tahun lalu, penyair di Sumatera Timur, menurut Ichwan, sudah menulis puisi berbentuk esai. Ia memberi contoh editorial Pewarta Deli saat menyambut datangnya Idulfitri yang disampaikan dalam bentuk pantun:
Alam beredar sjahroe berbilang/Tibalah soedah tjahadja gemelang/Aidilfthri datang beroelang/Dalam kalangan Islam terbilang.
Kaoem moeslimin semoea rata/Menaroreh girang bersoeka tjita/Baik di kampoeng doesoen dan kota/Tidak berbeda dipandang mata.
Toea dan moeda laki isteri/Tampaknja moeka wadjah berseri/Ibarat boenga kembang sehari/Toemboeh di taman kemala sari.
Kaoem kerabat djalang mendjalang/Makan djoedah diatas doelang/Girang nan boekan alang kepalang/Ampoen dan maaf tidak berselang/Nazam beralih kepada beta
Oetoesan bangsa pembawa warta/Pewarta Deli dagang jang lata/Dikota Medan tempat jang njata/Sambutlah toean wahai bestari/Oetjapan salam dagang sentari/Salam nan boekan sebarang peri/Selamat hari raja aidhilfitri.
Sjarikat Tapanoeli moeda asali/Dikota Medan tempat terdjalin/Doakan toen djanganlah chali/Selamat sapandjang nahar wallaili/Personel semoeaa dalam selamat/Berkatnja doa wali keramat.
Nama terpakoe bagai disemat/Soemoer doenia sampai kiamat/Sebarang maksoed disampaikan Allah/Membela bangsa djanganlah lelah/Biarpoen ramboet mendjadi soelah/Djera nan djangan memegang galah.
Memegang galah sambuil berdendang/Samnak soedara poela dioendang/Mari bersama kita menendang/Barang jang salah menoroet oendang.
Tammatlah soedah kalam berhenti/Karangan djanggal koerang berarti/Ibarat santan njatalah pasti/Dikinjam rasa tidak berpati.
Boekan sebagai orang jang ahli/Pandai mengarang berdjoeal beli/Mengarang sjair bertali-tali/Sadjaknya manis bagai tenggoeli
Achir kalam kita doakan/Oemoer oesia Tuhan lanjutkan/Rizki jang halal Ia berikan/Hadjat yang baik Ia sampaikan.
Penulisan editorial atau berita dalam bentuk syair juga dijumpai pada surat kabar di Minangkabau. Genre sastra tradisional Melayu dalam versi cetak muncul seiring keberaksaraan cetak. Bahkan menurut Adinegoro, seperti dikutip Sastri Sunarti, syair dan pantun menjadi salah satu bentuk tulisan yang disukai penulis dalam surat kabar dan majalah pada masa penghabisan abad ke-19 dan awal abad ke-20. Hingga berpolemik pun secara pujangga (menggunakan syair dan pantun). Kabar berita pun disampaikan dalam bentuk syair (Sastri Sunarti, Kelisananan dan Keberaksaraan: 2013).
Sastra koran di Sumut pada perkembangannya juga melahirkan dengan yang disebut “roman picisan”. Menurut Ichwan, mengutip data yang disampaikan Koko Henndri Lubis, ada 1.000 roman picisan yang pernah terbit di Medan. Di sisi lain, keberadaan Soeara Djawa yang terbit 1918 juga menunjukkan bahwa orang-orang yang datang ke Deli bukanhanya berasal dari kelas pekerja kuli, tapi juga ada elitenya.
Cermin Sastrawan
Sastra koran awal abad 19 menurut Ichwan, dapat menjadi cermin bagi sastrawan Sumut, khususnya bagi penulis junior agar terpicu menghasilkan karya sastra yang berkualitas. Di tengah sarana dan prasarana teknologi komunikasi yang lebih komplit dan canggih, serta pendidikan yang lebih baik, ia percaya hal itu dilakukan para penulis muda sumut.
Sayangnya, seperti diakui Yulia Tasnim, masih banyak penulis muda bergulat dengan tema-tema percintaan dan pergumulan diri. Mestinya mereka juga merambah ke masalah sosial. Sartika Sari, menyoal langkanya karya-karya penulis muda yang punya bobot ideologis seperti karya para senior. Tak heran jika polemik sastra pun sepi tak seperti terjadi pada era sebelumnya.
Sentilan datang dari seorang penyair, cerpenis, penulis dan pengasuh rubrik budaya di salah satu koran di Medan, Sugeng Satya Dharma. Ia mengritik penulis senior yang suka melambung-lambungkan perempuan muda penulis, tapi akhirnya hilang dari peredaran setelah berkarir dan berumah tangga. Orangnya eksis tapi karyanya tidak ada.
“Terus terang saya agak pesimis dan sinis terhadap perempuan penulis. Sejarah membuktikan tidak ada satu pun penyair atau sastrawan perempuan yang bertahan sampai mati sebagai penulis, kecuali beberapa orang saja, apalagi di Medan,” katanya. Ia juga menengerai perjuangan penulis muda agar karya mereka dimuat di surat kabar, tak lagi seberat masanya.
Suara lebih moderat datang dari Saiful Amri, ia melihat penulis muda lebih banyak butuh apresiasi dibanding kritik. Begitulah OMSAS memang bukan sekadar omong-omong, apalagi kombur.
Foto-foto: Rima