Oleh: Dr. Armin Nasution, MA
DI dalam Alqur’an, Allah Swt. ketika mengungkit karunia dan nikmat pemberianNya menyebutkan prinsip-prinsip yang harus dipegang teguh demi tegaknya pertanian. Bumi ini Allah swt. jadikan untuk proses penumbuhan dan produktivitas. Karena itu dijadikan-Nya bumi ini mudah, jinak, dan terhampar. Dengan begitu, jadilah ia sebagai nikmat bagi makhluk-Nya, yang wajib diingat dan disyukuri.
Demikian pula air, Allah swt. telah memudahkannya. Diturunkan-Nya sebagai hujan atau dialirkan-Nya sebagai sungai dengan itu dihidupkan-Nya-lah-bumi ini setelah tadinya mati.
“Dialah yang menurunkan air dari langit maka dengan air itu ditumbuhkan-Nya segala tetumbuhan. Maka kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau, Kami keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang banyak” (Al-An'am: 99)
Sedangkan angin, Allah swt. kirimkan sebagai kabar gembira, mengarak awan, dan mengawinkan tumbuh-tumbuhan. Berkaitan dengan hal ini, Allah swt. berfirman,
“Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung. Kami telah menjadikan untuk kalian di bumi ini keperluan-keperluan hidup, Kami ciptakan pula makhluk-makhluk yang kalian bukan pemberi rezeki kepadanya. Tidak ada sesuatu pun melainkan pada sisi Kamilah khazanahnya, Kami tidak menurunkan kecuali dengan ukuran tertentu. Dan Kami telah meniupkan angin untilk mengawinkan (tumbuh-tumbuhan), Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami beri minum kalian dengan air itu, sekali-kali bukanlah kalian yang menyimpannya.” (Al-Hijr: 19-22)
Ayat-ayat itu semua mengingatkan manusia akan nikmat yang Allah swt berikan, berupa nikmat pertanian dengan kemudahan berbagai sarana pendukungnya.
“Tiada seorang muslim pun yang menanam bibit kecuali apapun yang dinamakan nenjadi sedehah, yang dicuri juga menjadi sedekah baginua “ (RH. Bukhari dan Muslim).
Kandungan makna hadist ini adalah bahwa pahala tetap mengalir selama tanaman atau semaian dimakan atau dimanfaatkan. Meskipun penanaman atau penyemaiannya telah mati, atau telah berpindah ke tangan orang lain. Para ulama mengatakan, “Di antara keleluasaan dan kumurahan hati Allah Swt adalah bahwa Ia tetap memberi pahala hingga setelah kematiannya, sebagaima Ia memberikannya saat masih hidup dalam enam hal: sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, anak yang shalih mendoakannya, tanaman dan penjagaan di perbatasan dari serangan musuh.”
Telah diriwayatkan bahwa seseorang melewati Abu Darda ra. yang sedang menanam buah pala. Orang itu bertanya, “Anda menanam pohon ini sedangkan Anda sudah tua. Pohon ini baru berbuah pada sekian tahun lagi”. Abu Darda menjawab, "Apa salahnya jika aku mendapatkan pahalanya sedangkan orang lain yang memakannya?”. Dari seorang sahabat Nabi saw. diriwayatkan bahwa ia berkata, Saya mendengar Rasulullah bersabda di kedua telingaku ini,
“Barangsiapa menancapkan pohon lalu ia bersabar menjaga dan merawatnya hingga berbuah, maka apa pun yang menimpa buahnya, ia akan mendapatkan pahala sedekah di sisi Allah swt."(RH. Ahmad)
Atas dasar hadits-hadits ini dan sejenisnya, sebagian ulama berpendapat bahwa pertanian adalah usaha yang paling mulia. Sebagian yang lain mengatakan bahwa industri dan kerajinan tangan yang paling mulia, sedangkan yang lain lagi mengatakan bahwa yang lebih mulia adalah perdagangan.
Sebagian peneliti mengatakan, masalah ini sangat kondisional. Bila kebutuhan akan makanan pokok lebih besar maka pertanian lebih utama agar masyarakat merasakan adanya ketercukupan dan kelapangan. Bila yang lebih dibutuhkan adalah perdagangan, karena jalan terputus misalnya, maka perdagangan lebih utama, dan begitu pula yang didahulukan adalah industri jika yang lebih dibutuhkan adalah barang-barang industri.
Setiap tumbuhan yang oleh Islam haram dikonsumsi, atau tidak diketahui manfaatnya kecuali untuk hal-hal yang berbahaya, maka menanamnya juga haram. Misalnya ganja dan sejenisnya. Contoh lain adalah tembakau. Jika kita mengatakan bahwa mengisapnya adalah haram, seperti dikatakan oleh pendapat yang paling kuat maka menanamnya juga haram. Jika kita mengatakannya sebagai makruh maka menanamnya juga makruh.
Bukan alasan yang bisa diterima jika seorang muslim menanam pohon yang diharamkan untuk dijual kepada non-muslim. Karena seorang muslim selamanya tidak pernah ikut menyebarluaskan yang haram, sebagaimana jika ia memelihara babi untuk dijual kepada orang Nasrani, misalnya. Kita sudah mengetahuijua bagaimana Islam mengharamkan penjualan yang halal kepada orang yang diketahuinya menjadikan anngur itu arak.
Islam memberi dukungan kepada usaha pertanian dan memuji keutamaannya, bahkan memberikan pahala yang luar biasa kepada pelakunya. Akan tetapi, Islam tidak suka jika aktivitas dan usaha umatnya terbatas pada pertanian, laksana keong yang hanya bergerak dalam rumahnya saja. Islam tidak ingin umatnya hanya dengan bertani lalu “memegang ekor sapi” saja dan merasa cukup. Ini adalah cacat yamg mengancam kejayaannya. Karena itu, tidaklah berlebian jika Rasulullah Saw menyatakan bahwa hal itu merupakan sumber keburukan, petaka dan kehinaan yang menimpa umat ini. Kenyataan inilah yang telah di buktikan oleh zaman dengan sebenarnya. Rasulullah Saw bersabda:
“Jika kalian berjual beli ‘inah (Praktik akal-akalan untuk mendapatkan riba), memegangi ekor sapi, puas dengan pertanian, dan meninggalkan jihad, niscaya Allsh sksn menimpakan kehinaan yang tidak akan dicabut-Nya hingga kalian kembali kepada agama kalian. (HR. Abu Daud).
Jika demikian, disamping pertanian, kita kita harus menekuni bidang industri dan skill (keterampilan) lainnya. Dengan begitu akan terlengkapilah unsur-unsur kehidupan yang sejahtera, pilar-pilar bangsa dan negara yang kuat, tangguh, kaya dan madiri. Industri atau skill yang lain itu bukan hanya mubah (boleh) hukumnya dalam syariat Islam, bahkan para ulama menetapkan sebagai wajib kifayah. Maksudnya adalah bahwa dalam masyarakat Isiam, harus ada SDM-SDM dalam berbagai ilmu pengetahuan, profesi, dan skill yang bisa mencukupi kebutuhan dan menegakkan eksistensinya. Apabila ada kekurangan pada salah satu bidarig ilmu atau skill tertentu, yakni tidak ada yang ahli dalam bidangnya, berdosalah seluruh masyarakat, khususnya ulul amri (pemimpin) dan para pemegang kebijakan (ahlul halli wal 'aqdi).
Imam Ghazali mengatakan, Adapun fardlu kifayah, ia adalah segala ilmu yang tidak mungkin diabaikan ketika hendak menegakkan urusan duniawi. Misalnya kedokteran, ia sangat penting untuk memenuhi kebutuhan kesehatan jasmani. Ilmu matematika, penting dalam interaksi ekonomi, pembagian wasiat, dan warisan. Demikian pula ilmu-ilmu terapan lainnya. Ilmu-ilmu semacam itu, bila suatu negeri tidak ada yang menguasainya, mereka akan mengalami kesulitan. Akan tetapi bila ada satu o¬rang saja yang ahli, cukuplah sudah, dan seluruh penduduk terbebas dari beban tanggung jawabnya. Karena itu, janganlah heran dengan pernyataan kami bahwa sesungguhnya kedokteran dan matematika termasuk fardhu kifayah, demikian juga dengan dasar-dasar perindustrian. Selain itu juga pertanian, pertenunan, perpolitikan, bahkan juga bekam (salah satu teknik penyembuhan dengan mengeluarkan darah kotor) dan jahit menjahit. Demikian itu karena jika suatu daerah tidak ada ahli bekamnya tentu akan cepat binasa, karena mereka sendiri yang membuka pintu kebinasaan itu. Dzat yang menurunkan penyakit juga menurunkan obatnya dan menunjukkan penggunaannya, bahkan menyiapkan berbagai unsur penyebab bagi proses kesembuhan. Karena itu, kita-tidak boleh menantang maut dengan jalan mengabaikannya.
Alqur’an telah mengisyaratkan kepada berbagai macam kegiatan industri dan menyebutnya sebagai nikmat dan karunia-Nya.
Selain itu, Alqur’an menyebutkan kisah Nuh as dan pembuatan kapal, diisyaratkan pula sebagai jenis kapal raksasa yang berjalan seperti gunung di lautan.
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah kapal-kapal di lautan seperti gunung-gunung.” (Asy-Syura: 32)
Dalam banyak surat-surat-Nya juga disebutkan keahlian berburu dengan berbagai bentuk dan macamnya. Penangkapan ikan dan kekayaan laut lainnya, perburuan binatang darat, keahlian menyelam untuk menggali (mengeluarkan) intan, permata, dan sejenisnya.
Di atas itu semua, Alqur’an mengingatkan akan nilai besi dengan peringatkan yang belum pernah dilakukan kitab-kitab agama maupun duniawi sebelumnya. Selelah Allah Swt menyebutkan diutusnya para Rasul kepada makhluk-Nya dan diturukannya kitab suci kepada mereka (al-Hadid: 25)
Semua jenis industri dan skill yang bisa memenuhi kebutuhan masyarakat atau memberi manfaat konkret dikategorikan sebagai amal salih jika pelauknya tulus dan itqan (cernat, gigih dan perpfesional).
Islam telah mengangkat beberapa propesi yang sebelumnya dipandang dengan hinadan menjadi olok-olokan. Pekerjaan sebagai gembala kambing misalnya, biasanya tidak diperhitungkan sama sekali, jangankan dihargai atau dihormati. Tetapi kata Nabi.
“Allah tidak mengutus seorang nabi pun kecuali ia pernah menggembala kambing. Mereka bertanya, “Apakah kau juga” “Ya, aku menggembalanya dan memberinya makan dengan upah untuk penduduk Makkah”.
Pemilis adalah Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Sumatera Utara