Ayam di mata Pelukis

Oleh: Azmi TS

TERINGAT kepada lukis­an yang pernah dibuat Affandi dan Popo Iskandar menerap­kan objek he­wan dalam kreasi­nya. Kedua pe­lukis beda gaya inipun punya cara (kiat) kon­sep tersendiri saat ber­krea­si di atas kanvas. Lantas apa yang menjadi keunikan “hewan” ji­kalau ditelusuri dari sisi estetik hing­ga tafsiran makna dibalik objek lu­kisan itu?

Bahkan Affandi pernah me­lukiskan tema ayam dengan pemi­lik­nya, atau Popo Iskan­dar meng­isah­kan ayam dari si­si lainnya. Sosok ayam Popo lebih menge­de­pan­kan ciri khas hewan itu sendiri ber­bentuk simbol keperkasaan dan kejan­ta­nan.

Berbeda dengan gores­an dan warna begitu realis ke­tika Affandi melukiskan ayam se­ba­gai peta­rung. Kelincahan ge­rakan sang ayam melompat tinggi diikuti terjangan maut menghampiri lawannya begi­tu gamblang pada karya Affandi.

Kesan liar pun terpatri kuat saat ber­hadapan dengan lukis­an “ayam” karya Affandi.  Sa­ngat mudah di­jumpai sebab te­ma ini jadi kesu­kaan­­nya pu­la.

Terfavorit bagi Affandi ten­tu ten­tang potret dirinya sendi­ri. Ke­cin­taannya kepada diri­nya sendiri me­lebihi dari sega­lanya. Mungkin dari sekian lu­ki­san potret yang dicip­takan, pasti terselip tema lain. Diri pribadinya sendiri dijadikan me­dan magnet untuk memacu krea­tivitas terbaru.

Begitu pula Popo Iskandar. Se­masa dia hidup banyak ma­syarakat men­­julukinya seba­gai pelukis “ku­cing”. Gelar yang dilekatkan oleh para peng­gemar fanatik lukis­an ter­sebut, hingga sepanjang hayat­­nya.

Pelukis kelahiran Garut, 17 Desember 1927, selain banyak pengalaman menulis, juga ba­nyak melahirkan kader muda. Dia alumnus ITB tahun 1958. Selalu me­man­cing “mood atau keinginan” me­lukis­nya diawa­li konsep bina­tang.

Mengamati karakter bina­tang da­lam lukisan ayam Popo Iskandar sama halnya menelu­su­ri ketajaman intuisi yang be­gitu tinggi. Ayam se­bagai sim­bolik dari hasrat Popo yang me­ledak-ledak. Ayam-ayam itu bisa dibuatnya variatif bah­kan tam­pilan goresannya bisa liar, ber­jejak spontan dengan gestur bera­gam.

Ada ayam yang bermah­ko­ta melebihi dari yang biasanya, pene­g­as­an itu terlihat pada war­na merah menyala yang di­terakan.

Selain kucing yang domi­nan sering dibuatkan lukisan oleh Popo adalah ayam dengan taji (tanduk yang tumbuh dekat kaki) bentuk­nya panjang. Di­ikuti bentuk tubuh ayam yang pipih dan meliuk-liuk, hingga ekor yang menyusur tanah. Se­­mua itu bagi Popo adalah se­ma­cam mendalami karakter ayam, hing­ga sedetail mung­kin. Tak mengherankan lukis­an ayam Popo, bukan sekadar memindah karakter, juga selu­ruh prilaku harus ada.

Ayam di mata pelukis Popo Iskandar, banyak menumbuh­kan krea­tivitas yang tak pernah kendur. Dia juga penerima Anu­­grah Seni pada tahun 1980.

Lukisan ayam Popo menca­pai pun­cak idealisme pada pe­riode 1970, hingga 1980-an. Se­habis itu dia sangat jarang melukiskan tema ayam. Popo beralih ke kucing de­ngan se­gala aspek prilakunya. Ada ku­cing yang sangat lucu, binal, man­ja bahkan di mata Popo he­wan satu ini hewan paling pa­tuh.

Selain melukis, Popo juga seo­rang pendidik yang handal. Banyak ide-ide, spirit yang di­sarankan itu jadi acuan berka­rya rupa para mu­ridnya. Popo seorang seniman be­sar yang per­nah meramaikan kan­cah senilukis nusantara. Sejak ke­pergiannya untuk menghadap Illahi pada 29 Januari  2000, ba­nyak menyisakan cerita lu­kisan ayamnya yang spesial itu.

Belum banyak yang meng­ungkap makna cerita tentang te­ma lukisan binatang (ayam+kucing) ini. Belum lagi kalau memban­ding­kan ayam bergaya Affandi atau pe­lukis yang menyukai tema itu. Pas­tilah banyak sesuatu yang bisa kita telusuri baik secara este­tik, simbo­lik dan seterusnya. Ternyata ayam ada­lah karakter lain. Berhasil di­tang­kap mak­na­nya oleh para maestro di atas, kemudian dengan bera­ni menorehkannya ke atas kan­vas.

Bagi Popo dan Affandi be­rani men­jadikan ayam sebagai ikon, tentu percaya dengan ca­ranya tertentu mampu meng­eks­presikan minat dan kecin­taan. Keinginan yang kuat di­sertai kecintaan mam­pu meng­hasil energi maha dahsyat. Ke­­dua seniman itu melakoni seni lukis penuh dengan rasa ke­cintaan, ma­kanya dengan “ayam” saja su­dah seperti itu. Apalagi tema yang terkait de­ngan ikon yang lain, tentu ce­ri­tanya juga jadi panjang lebar lagi.

()

Baca Juga

Rekomendasi