Pesona Gunung Everest (North Face) di Tibet

Oleh: Meiling, Jap. Setiap tahun sekitar 600-700 orang berjuang untuk sampai ke puncak Everest. 1,5 persen diantaranya tewas. Selain membutuhkan fisik dan mental yang kuat, ekspedisi ini membutuhkan biaya yang besar serta kemauan yang intens. Pertanyaan yang sama muncul di kepala saya. Kenapa?

Sebagai gunung tertinggi di bumi, Everest bagaikan magnet bagi para petualang dan pemanjat dari berbagai bangsa. Bagi mereka berdiri di puncak dunia ini adalah puncak kemenangan dalam menaklukkan tantangan dan terlebih, diri sendiri. Magnet ini jugalah yang menarik saya untuk pergi ke Tibet, di mana sisi Utara Everest berada.

Di ketinggian 3.600 m s/d 5.200 m di atas permukaan laut, oksigen yang beredar tinggal 50 persen. Sakit ketinggian/altitude sickness menjadi mimpi buruk yang bisa menjadi kenyataan. Masalahnya kita tidak pernah tahu sebelum kita tiba. Jadi, aklimatisasi adalah kunci untuk bertandang ke atap dunia ini. 

Ada beberapa cara untuk sampai ke Tibet:

1. Terbang langsung dengan pesawat ke Lhasa:  Tidak dianjurkan

2. Naik kereta api dari Beijing, Chengdu atau Kunming: Kurang efektif

3. Tinggal di kota Xining, ibukota propinsi Qinghai beberapa hari untuk aklimatisasi, lalu dengan kereta api menuju Lhasa: Pilihan terbaik

Agensi perjalanan akan membantu anda membeli tiket kereta api yang selalu penuh dan susah dibeli ini. Siap-siap untuk perjalanan 21 jam melewati danau Qinghai dan padang gurun tidak bertuan. Melintasi stasiun Tanggula, menembus terowongan Fenghuoshan, keduanya adalah stasiun dan terowongan tertinggi di dunia. Pernah dengar lagu Tian Lu/Road to Heaven yang dibawakan Han Hong? Lagu ini berisi pujian tentang jalur kereta api Qinghai-Lhasa, salah satu pencapaian luar biasa negara Tiongkok di abad 21.

Lhasa

Semua kegiatan harian berpusat di Barkhor square. Alun-alun ini dipenuhi  masyarakat setempat dan turis yang berkunjung. Sejak pagi antrian panjang sudah dimulai untuk memasuki biara Jokhang, pusat spiritual Tibet. 

Tidak jauh dari Biara Jokhang berdiri istana Potala yang dramatis. Dibatasi hanya untuk 1.600 pengunjung setiap hari dengan jam kunjungan yang telah ditetapkan, dipastikan tempat ini berada di urutan pertama daftar tempat yang wajib dikunjungi di Tibet.

Sempat frustrasi dengan makanan Tibet, akhirnya kami menemukan gerai ayam goreng Kentucky di pusat kota. Gerai ini dipenuhi wisatawan seperti kami yang putus asa dengan daging dan susu yak. Siang itu kami ditraktir Dhargyal, guide kami minum teh. Cerita mengalir dari Barat ke Timur. Ternyata orang Tibet tidak makan ayam karena ayam makan cacing (nah loh). Tidak makan ikan karena ikan dianggap suci.

Sky burial adalah prosesi pemakaman yang dipraktekkan di sini. Setiap orang yang sudah meninggal mayatnya akan dibawa ke gunung, dipotong dan dijadikan makanan burung nasar. Kadang karena alasan tertentu, potongan mayatnya sama sekali tidak disentuh burung. Untuk kasus seperti itu, mereka akan membuangnya ke danau. Sekarang mengerti toh kenapa mereka tidak makan ikan. Teh susu yang saya minum langsung terasa hambar.

Saya membuang pandangan ke jalan.  Lelaki dan perempuan lalu lalang dengan praying wheel (roda doa) di tangan, rupa dan dandanannya mirip dengan suku Indian Amerika. Yup, nenek moyang mereka kabarnya memang satu asal. Dataran yang terbelah memisahkan mereka sampai akhirnya berpencar ke Tibet. Konon begitulah ceritanya. Kehidupan difokuskan pada hal-hal spiritual, sisa waktu dihabiskan di rumah teh ngobrol sambil minum bertermos-termos teh susu.

Everest Base Camp

Gunung Everest berdiri di dua negara. Sebelah Selatan menghadap Nepal, sebelah Utaranya berada di Tibet. Di Nepal, untuk sampai ke base camp harus mendaki selama 5 hari. Di Tibet, jalan mulus beraspal melingkar mengantar anda sampai ke tujuan. Lagi-lagi hasil karya Tiongkok yang spektakular.

Perjalanan dimulai dari Friendship highway yang menghubungkan Lhasa dengan Kathmandu. Tidak berlebihan kalau mereka menyebutnya sebagai jalan lintas dengan pemandangan terindah di dunia. Bagaimana tidak, sepanjang perjalanan kami melewati Danau Yamdrok yang berwarna hijau toska, beberapa perhentian tinggi dengan pemandangan gunung Makalu, Lhotse, Cho Oyu,  Everest (empat besar gunung di atas 8.000 m) menjulang di ketinggian. 

Melompat keluar dari Friendship Highway kami memasuki jalan alami. Hampir satu jam digoyang sebelum akhirnya kembali memasuki jalan licin beraspal menuju tenda perkemahan, tempat kami menginap malam ini. Awan tebal bergelayut di langit. Udara dingin di sore itu menembus terpal tenda yang tebal. Sempat ragu karena jam tangan sudah menunjukkan pukul 6.30 sore, akhirnya saya putuskan untuk jalan juga ke base camp yang jaraknya 4 km, diiringi pesan wanti-wanti dari guide bahwa perbatasan base camp ditutup jam 8 malam. Ya, itu semacam jam malam. 

15 menit setelah jam 8, saya dihentikan mobil patroli.  Apa boleh buat, dengan pasrah saya diantar pulang ke perkemahan, padahal base camp tinggal beberapa langkah lagi di depan. Bisa dimengerti kenapa peraturan demikian ketat di sini. Di malam hari area di luar perkemahan tidak ada satupun manusia yang tinggal, hanya alam yang liar dan kosong dengan cuaca yang sangat ekstrim. 

Base camp yang berada di kaki gunung Everest adalah tempat berkemah dan aklimatisasi pemanjat gunung sebelum memulai ekspedisi, dengan wajib memohon surat izin khusus di luar surat izin yang kami punya (izin masuk Tibet, izin identitas group dan izin alien).

Jam 6 pagi, alarm salah seorang group kami berbunyi. Di luar terdengar hujan rintik-rintik. Saya menarik selimut lebih tinggi. Separuh diri saya mengajak untuk tidur kembali, secara baru mau terlelap setelah semalaman bolak balik tidak bisa tidur. Separuhnya lagi adalah kebalikannya.

15 menit kemudian alarmnya bunyi lagi, kali ini disertai dengan lampu yang menyala dan hujan yang sudah berhenti. Masih mengantuk, saya turun dari tempat tidur, pakai sepatu, rapatkan jaket palka, dan hidupkan senter. 10 menit berikutnya kami sudah di luar menahan dingin menerobos pagi.

Berjalan di ketinggian 5.200 m rasanya seperti menyeret beban 50 kg, apalagi di pagi yang dingin dan gelap. Napas semakin pendek dan berat karena oksigen jauh lebih tipis di pagi hari. Sebenarnya kami bisa saja menunggu untuk naik bus kecil sampai ke base camp, hanya 25 Yuan. Namun...

Menunggu hampir satu jam di base camp, akhirnya langit berubah terang. Gunung Everest hanya terlihat samar-samar di balik gumpalan awan tebal dan kabut. Yaahhh saudara-saudara, apa hendak dikata. Kami sepakat untuk tinggal beberapa waktu lagi sambil berharap awan akan pecah sampai jari-jari yang mulai membeku mendesak kami segera kembali ke perkemahan. Kecewa ? Tidak juga. Dalam perjalanan pulang salju turun dengan derasnya di bulan Agustus. Semuanya berubah warna menjadi putih seperti kartu pos hari Natal. 

Kami bermalam di Shigatse sebelum kembali ke Lhasa. Perjalanan 3 hari yang lumayan melelahkan untuk ke base camp. Astaganya belum hilang rasa capek, dalam hati saya sudah sibuk menyusun rencana untuk kembali lagi di bulan Mei, di saat cuaca cerah dan langit membiru. Lagi ? Yah, karena dia selalu ada di sana, seperti yang diucapkan oleh George Mallory, pemanjat Inggris dalam film Everest. Sebuah jawaban yang menjadi sangat terkenal sesudahnya. ***

 

()

Baca Juga

Rekomendasi