Oleh: Robert, S.H., M.H
APABILA kita bertanya kepada para mahasiswa baru fakultas hukum baik pada perguruan tinggi negeri maupun swasta, apa yang menjadi alasan dan motivasi mereka masuk ke fakultas hukum? Jawabannya sungguh beragam, ada yang ingin menjadi hakim, pengacara, jaksa hingga notaris bahkan terkadang muncul jawaban yang tidak terduga lainnya. Tidak dapat dipungkiri, 4 profesi hukum tersebut di atas menjadi "primadona" bagi mahasiswa-mahasiswa fakultas hukum, walaupun profesi hukum di Indonesia sebenarnya tidak terbatas hanya pada 4 profesi tersebut.
Berdasarkan pengalaman pribadi penulis, mahasiswa fakultas hukum yang bercita-cita menjadi notaris tidak sedikit jumlahnya. Dalam perspektif orang awam, notaris merupakan suatu profesi yang sangat menjanjikan dari aspek finansial dan resiko yang ditanggung lebih minim dibandingkan dengan profesi hukum lainnya. Dikatakan profesi notaris sangat menjanjikan secara finansial karena fee yang diterima oleh notaris dalam jasa pembuatan akta adalah tidak sedikit. Resiko yang lebih minim dalam menjalankan profesi notaris dibandingkan dengan profesi hukum lainnya disebabkan notaris pada umumnya hanya berkerja dalam bidang pembuatan akta dan hal-hal lainnya yang terkait dengan akta. Profesi hukum lain seperti hakim, jaksa dan pengacara yang mana kesehariannya berhadapan langsung dengan para pelaku hukum baik dalam proses litigasi maupun non-litigasi. Kondisi yang demikian tidak menutup kemungkinan terjadinya hal-hal beresiko tinggi kepada mereka, seperti ancaman terhadap keselamatan diri sendiri dan/atau anggota keluarga, praktik KKN, mafia hukum, serta hal-hal beresiko lainnya. Resiko yang demikian akan jarang ditemui oleh notaris.
Menurut Pasal 1 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2014 Jo. UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (untuk selanjutnya disebut sebagai UUJN), yang dimaksud dengan Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya. Salah satu persyaratan yang wajib untuk dipenuhi oleh calon notaris agar dapat diangkat menjadi notaris menurut UUJN di samping merupakan seorang WNI, bertakwa pada Tuhan YME, berusia sedikitnya 27 tahun serta sehat jasmani dan rohani, ialah seorang calon notaris wajib berlatar belakang pendidikan strata satu hukum dan strata dua kenotariatan. Dengan kata lain, seorang calon notaris wajib memiliki gelar akademik S.H. (Sarjana Hukum) dan M.Kn. (Magister Kenotariatan).
Kewajiban di atas bersifat imperatif, artinya tidak dapat dikesampingkan dengan alasan apapun karena sudah merupakan perintah dari undang-undang. Akan tetapi, belakangan ini timbul suatu turbulensi dalam kepastian hukum terkait syarat yang harus dipenuhi oleh seorang calon notaris agar dapat diangkat menjadi notaris. Penyebab turbulensi tersebut adalah Keputusan Menteri Riset dan Pendidikan Tinggi No. 257 Tahun 2017 tentang Nama Program Studi Pada Perguruan Tinggi. (Selanjutnya disebut Kepmenristek)
Kepmenristek dimaksud dengan tegas menetapkan nama dan gelar akademik dari semua program studi pada seluruh perguruan tinggi baik negeri maupun swasta di Indonesia. Salah satu program studi yang ditetapkan perubahan gelar akademiknya oleh Kepmenristek dimaksud adalah program studi magister kenotariatan yang gelar akademiknya berubah dari M.Kn (Magister Kenotariatan) menjadi M.H. (Magister Hukum).
Hal ini secara jelas telah menimbulkan kegelisahan bagi para mahasiswa program studi magister kenotariatan yang notabene merupakan para calon notaris. Kegelisahan tersebut dikarenakan terhitung sejak bulan September 2017, gelar akademik yang akan mereka terima setelah menyelesaikan studi apabila mengacu pada Kepmenristek dimaksud adalah M.H. (Magister Hukum), bukan lagi M.Kn. (Magister Kenotariatan). Keadaan yang demikian sungguh bertentangan dengan perintah dari UUJN tentang syarat adanya gelar akademik S.H. dan M.Kn bagi seorang calon notaris untuk dapat diangkat menjadi seorang notaris. Para mahasiswa magister kenotariatan merasa khawatir akan mengalami kesulitan dan ketidakpastian dalam hal pengurusan persyaratan agar dapat diangkat menjadi seorang notaris di kemudian hari.
Sebelum terbitnya Kepmenristek dimaksud, pernah terhembus wacana dari Kemristekdikti yang hendak mengeluarkan pendidikan kenotariatan dari salah satu program studi pada universitas menjadi pendidikan profesi yang mandiri seperti pendidikan profesi advokat yang diadakan oleh PERADI (Perhimpunan Advokat Indonesia). Adapun alasan yang diutarakan oleh Kemristekdikti terkait hal ini adalah guna mengembalikan posisi pendidikan kenotariatan sebagai pendidikan profesi, bukan sebagai pendidikan akademik, namun hingga saat ini wacana tersebut tidak pernah direalisasikan. Menurut hemat penulis, hal dimaksud belum dapat direalisasikan karena terdapat banyak sekali pemangku kepentingan (stakeholders) di dalam wacana tersebut. Stakeholders dimaksud tidak hanya semata-mata Kemristekdikti dan INI (Ikatan Notaris Indonesia) saja, melainkan juga sejumlah perguruan tinggi baik swasta maupun negeri yang telah lama mengadakan program studi magister kenotariatan. Dengan tidak adanya suatu konsensus dari para stakeholders, tidak mengherankan apabila wacana dimaksud tidak dapat direalisasikan.
Terlepas dari wacana tersebut di atas, Pemerintah dalam hal ini Kemristekdikti seyogyanya lebih bijaksana dalam menetapkan suatu kebijakan atau keputusan terlebih lagi kebijakan atau keputusan tersebut akan berdampak besar bagi suatu kelompok, dalam hal ini para calon notaris. Meskipun Kepmenristek tersebut telah ditetapkan dan dikeluarkan, namun masih terbuka kesempatan bagi perguruan tinggi penyelenggara program studi magister kenotariatan guna mengajukan penambahan dan/atau perubahan nama program studi kepada Menteri Riset dan Pendidikan Tinggi, hal ini sesuai dengan diktum ketiga dari Kepmenristek dimaksud.
Bahwa oleh karenanya, diharapkan para perguruan tinggi penyelenggara program studi magister kenotariatan dapat dengan tanggap mengajukan usulan kepada Menteri Riset dan Pendidikan Tinggi terkait perubahan gelar akademik pada program studi magister kenotariatan agar tetap menggunakan gelar akademik M.Kn., bukan M.H. Hal ini juga penting guna memberikan rasa kepastian hukum bagi para calon notaris agar mereka tidak perlu lagi gelisah dengan ketidakpastian yang muncul sekarang.
Peranan dari INI juga sangat diharapkan selaku organisasi kelak para calon notaris ini akan bernaung. Penulis berpendapat bahwa INI dapat bersama-sama dengan perguruan tinggi penyelenggara program studi magister kenotariatan mengajukan usulan kepada Menteri Riset dan Pendidikan Tinggi agar tidak dilakukan perubahan terhadap gelar akademik dari program studi magister kenotariatan yang berimplikasi langsung kepada syarat agar seorang calon notaris dapat diangkat menjadi notaris berdasarkan UUJN.
Diharapkan dengan adanya tindakan yang demikian dari perguruan-perguruan tinggi penyelenggara program studi magister kenotariatan dan INI, para mahasiswa magister kenotariatan selaku calon notaris tetap dapat fokus belajar dan mempertahankan semangatnya masing-masing sembari mempersiapkan diri agar dapat menjadi notaris yang baik di masa depan.
Jikalau tindakan yang demikian tidak efektif atau belum dilaksanakan oleh perguruan tinggi penyelenggara program studi magister hukum dan INI, diharapkan juga Kemristekdikti dapat memberikan penjelasan kepada publik terkait fenomena ini, misalnya bisa saja dengan tetap memberikan gelar akademik M.H. (Magister Hukum) kepada para mahasiswa program studi magister kenotariatan, akan tetapi harus terdapat suatu keterangan di ijazah mereka, yang intinya menjelaskan mahasiswa terkait merupakan lulusan program studi kenotariatan, bukan program studi magister ilmu hukum. Hal yang demikian juga dapat menjadi solusi alternatif sehingga tidak menimbulkan kegelisahan yang lebih lanjut bagi para calon notaris.
Di samping itu, diharapkan fenomena ini juga diharapkan dapat menjadi masukan yang berharga bagi Pemerintah khususnya Kemristekdikti agar lebih bijakasana dalam menetapkan suatu kebijakan, terutama memperhatikan dampak dari suatu kebijakan atau keputusan yang akan diambil. Penulis meminjam quote dari Elizabeth Dole, politisi Amerika Serikat, yang pernah menyatakan : "The best public policy is made when you are listening to the people who are going to be impacted". ***
* Penulis merupakan mahasiswa Program Studi Doktor (S3) Ilmu Hukum pada Universitas Indonesia