Mempertanyakan Akurasi PDB

Oleh: Pramudito

DALAM khazanah dunia ekonomi terkenal istilah PDB (Produk Do­mestik Bruto). Itu sebenarnya terje­mahan dari Gross Domestic Products (GNP) atau Gross National Products (GNP). Dalam kenyataan istilah GNP ini lebih sering di pakai dalam perca­kapan sehari-hari, pemberitaan atau tulisan di media. Sudah banyak diketahui bahwa PDB menjadi tolok ukur resmi untuk menilai kemajuan ekonomi suatu negara.

Menilik sejarahnya PDB sebe­narnya bukan sesuatu yang re­latif lama, karena diperkenalkan pada dekade ketiga abad ke-20. Diki­sahkan, pada tahun 1932, seorang ekonom AS, Simon Kuznets men­dapat order dari Department of Commerce AS untuk meneliti keadaan ekonomi AS dalam situasi eko­no­mi dunia yang tengah mengalami de­presi saat itu. Depresi itu lebih dikenal sebagai malaise. Kuznets berhasil mene­mu­kan metode dengan cara mengukur jumlah produksi nasional AS dan pengeluaran/pere­darannya dalam kurun waktu seta­hun. Metode Kuznets yang awalnya disebut GNP kemudian disebut GDP dinilai berhasil setelah diterapkan oleh ekonom Keynes dengan duku­ngan kuat pemerintah AS pada waktu itu, untuk mengatasi kesulitan eko­nomi AS dari dampak malaise.

Metode yang berasal dari Kuznets dan diterapkan oleh Keynes diatas terus dilanjutkan menjelang Perang Dunia II oleh AS digunakan untuk meningkatkan produksi domes­tik­nya berupa antara lain pesawat tempur, tank, senjata tempur dan berbagai produk turunannya. Semua produk tersebut sa­ngat dibutuhkan selain AS juga negara-negara lain selama ber­langsungnya perang. AS kemudian berhasil menjadi negara dengan ke­majuan ekonomi paling pesat. Seusai Perang Du­nia II ketika Eropa masih lumpuh, maka AS sebagai peme­nang utama perang keluar seba­gai negara yang terkaya di dunia dan mampu menjadi motor pengge­rak dalam membang­kitkan kembali eko­nomi dunia, sementara banyak negara-ne­gara lain yang mengalami kelum­puhan akibat pe­rang dunia itu.

Sejak saat itu hingga kini PDB terus berkembang dan po­puler digu­nakan sebagai tolok ukur untuk menilai kemajuan ekonomi suatu negara di seluruh dunia. Namun lama kelamaan metode PDB tersebut dalam perkembangannya banyak mendapat kritikan dari kalangan pakar ekonomi, sebab metode perhi­tungan PDB dinilai “absolete” , karena kurang akurat dan tidak memadai lagi dengan perkembangan pesat ekonomi dunia. Secara umum, Kuznets dinilai kurang menyadari kele­mah­an metode hasil pene­muan­nya karena antara lain tidak mem­pertimbangkan perkembangan sosial dan lingkungan yang juga besar pengaruhnya terhadap perkemba­ngan ekonomi.

Pakar ekonomi seperti Paul Sa­muelson berpendapat bahwa se­lama ini banyak variabel tidak diper­hitungakan dan tidak dimasukkan sebagai alat penilaian terhadap kemajuan eko­nomi dan kesejah­teraan masyarakat suatu negara. Sebenarnya Kuznets sendiri dengan jujur pernah menyatakan adalah naïf apabila suatu negara masih meng­gunakan PDB (GNP, GDP) melulu sebagai tolok ukur untuk menilai kemajuan ekonomi dan kesejah­teraan masyarakatnya, karena sudah tidak sesuai lagi dengan kenyataan perkembangan ekonomi dan kondisi sosial masyarakat. Bahkan Joseph Stiglitz, salah satu ekonom peme­gang hadiah Nobel Ekonomi me­nyebut dengan sinis sebagai “GDP fetishism” (sebagai jimat, pemujaan yang berlebihan).

Lantas apa dampaknya terhadap ekonomi negara berkem­bang? Se­orang pejabat tinggi sekaligus penu­lis terkenal India, Dilip D’Souza sering menulis artikel tentang con­toh-contoh nyata mengenai ekonomi dan sosial masyarakatnya sendiri di India. Menurutnya, secara garis besar PDB sudah ti­dak layak lagi untuk digunakan sebaga tolok ukur dalam menilai kemajuan ekonomi dan sosial kemasyarakatan suatu negara.

Dikatakan antara lain, me­tode PDB berdampak sangat luas terhadap penilaian eko­nomi di negara-negara ber­kem­bang yang mengalami ke­sulitan untuk mengatur ma­suknya investasi baik asing maupun domestik. Wa­­laupun dipersyarat­kan agar para calon investor ha­rus memperhatikan masalah sosial dan lingkungan di ne­gara tersebut, namun sulit dihindari adanya tindakan manipulasi terselubung ten­tang kemajuan ekonomi dan sosial yang sebenarnya. Aki­batnya tidak sedikit investor asing yang jadi kurban dan sebagian pa­kar ekonomi dan sosial yang kritis menuduh pemerintah ne­ga­ra berkem­bang menggunakan metode PDB sebagai alat pro­pa­gan­da untuk meyakinkan investor agar mau menanam­kan modalnya di negara itu. Tapi dalam waktu yang bersama­an MNC (Multi National Cor­porations) dan para kapi­talis besar juga melakukan lobi-lobi untuk memenga­ruhi kebijakan eko­nomi pe­merintahan di suatu negara guna lebih mengun­tung­kan bisnis mereka dan mengabai­kan kemaslahatan umum pen­duduk di negara berkem­bang tersebut.

Perkembangan mutakhir, beberapa waktu yang lalu, sebuah institusi di California, AS yakni Redefining Progress telah meng­­usulkan alat ukur pengganti PDB de­ngan istilah Ge­nuine­ Pro­gress Indicator (GPI) yang merupakan per­luasan dari me­­tode PDB. Pa­da metode GPI telah di­masukkan seki­tar 23 vari­abel baru yang se­lama ini belum masuk dalam unsur-un­­sur PDB, antara lain mengenai: distribusi penda­patan, penge­­luaran kon­sum­si masyarakat, nilai output eko­nomi rumah tang­­ga dan ma­syarakat, bi­aya polusi udara, perusa­kan lingkungan dan lain-lain.

Walaupun metode GPI belum sempurna, namun ja­uh lebih baik daripada me­tode PDB yang sudah tidak memadai lagi untuk meng­ukur kemajuan dan kesejah­teraan ekonomi ma­sya­rakat yang sesuai dengan kenyata­an sebenarnya dalam suatu negara. ***

Penulis, pemerhati ekonomi internasional, mantan diplomat

()

Baca Juga

Rekomendasi