Oleh: Su ie SS. Pak Sutopo masuk rumah sakit. Sakit perut yang amat melilit di tengah malam kemarin membuat istri dan anak-anaknya cemas. Mereka tak mau ambil resiko hanya memberikan obat pereda sakit. Mereka lebih memilih segera membawa ke rumah sakit. Dan beruntung setelah menjalani pengobatan selama beberapa hari di rumah sakit, kondisi kesehatan Pak Sutopo membaik.
Sesungguhnya Pak Sutopo sudah meminta pada istri dan anaknya agar diijinkan pulang. Ia juga sudah merasa baikkan dan ingin kembali ke sekolah memberilcan pelajaran pada anak-anak. Beberapa hari absen mengajar membuatnya merasa sudah menelantarkan kewajibannya menyampaikan ilmu pengetahuan pada murid-muridnya. Padahal guru lain beserta anak-anak yang tadi menjenguknya berharap Pak Sutopo sebaiknya beristirahat dulu. Mereka tak mau Pak Sutopo memaksakan diri mengajar bila kesehatannya belum pulih benar.
Dari segj usia, Pak Sutopo sesungguhnya sudah layak untuk pensiun jadi seorang pegawai negeri, terlebih pengabdiannya sebagai seorang guru. Anak dan istri bahkan cucu-cucunya juga pernah meminta agar kakeknya pensiun mengajar dan meluangkan waktu lebih banyak berkumpul dengan keluarga. Tapi Pak Sutopo merasa masih perlu menurunkan ilmu pengetahuan yang ia miliki. Bukan ia tak mau mengalah pada generasi yang jauh lebih muda dan enerjik dalam mengajar. Ia juga menerima diberi honor seadanya. Dengan mengajar, ia merasa bahagia pengetahuan yang ia miliki bisa ia bagikan pada murid yang lain.
Di sekolah itu, guru-guru muda lainnya sangat menghormati Pak Sutopo. Bahkan mereka menjadikan Pak Sutopo selain sebagai kepala sekolah, juga seorang guru tempat mereka saling bertukar pikiran. Mereka juga banyak menimba ilmu dari pengalaman Pak Sutopo dalam mengajar. Terlebih mengambil hati setiap anak-anak. Bagaimana teknik mengajar yang baik sehingga anak-anak tidak gampang merasa bosan. Semua tips mengajar yang baik ia turunkan tanpa terkecuali.
Alhasil nyaris tak ada kesenjangan komunikasi antara guru dan murid. Bahkan murid-murid di sekolah itu rata-rata patuh dengan disiplin dan tata-tertib sekolah. Dan itu membuat Pak Rian sang ketua yayasan merasa kian bangga memiliki seorang guru senior seperti Pak Sutopo.
Siang itu Pak Sutopo tengah beristirahat. Kondisi kesehatan perutnya sudah sangat baik. Tapi anak dan istrinya baru memutuskan kesediaan dia untuk pulang dua hari lagi. Padahal Pak Sutopo sudah sangat kangen dengan sekolah, pulpen dan buku. Bahkan ia sudah sangat rindu untuk berkicau di depan murid-muridnya dalam menerangkan setiap pelajaran. Ia sengaja menggunakan istilah berkicau sebagai uraian pelajaran yang ia ingin sampaikan.
Karena merasa suntuk berbaring terus, Pak Sutopo ditemani cucu tercinta berjalan keluar dari ruang perawatan. Ia sempat memberi salam pada beberapa suster yang berlalu-lalang di hadapannya.
Safitri cucu tercinta mendorong kursi roda yang diduduki kakek tercinta ke sebuah taman yang ada tak jauh dari halaman rumah sakit. Taman itu kelihatan sangat indah dan banyak pasien yang tengah bersantai di sana.
Saat Sutopo menikmati pemandangan air kolam yang jernih dengan beberapa ekor ikan yang tengah berenang, seseorang menyapanya. Pak Sutopo sejenak merasa asing dengan suara orang yang barusan menegurnya.
“Siapa ya?”, ucapnya sambil menatap serius ke raut wajah seorang pria yang dari segi usia sesungguhnya tak terpaut terlalu jauh dengannya. Sayangnya pandangan mata Pak Sutopo agak kabur karena ia lupa mengenakan kacamata.
“Masak kamu sudah lupa dengan saya, Topo! Baru lima tahun saya nggak mengajar di sekolah itu kamu sudah lupa.”
“Mengajar? Maksudnya kamu itu guru. Guru di sekolah mana?”
“Pak Topo Pak Topo! Kamu benar-benar lupa atau merasa nggak mau lagi kenal dengan saya.”
“Saya benar-benar nggak ingat.”
“Tapi menguraikan mata pelajaran kamu kelihatan masih sangat tajam ingatan. Saya ini Subandi, guru bahasa Indonesia di sekolah yang sama.”
“Jadi kamu itu Subandi toh! Sori saya sampai nggak kenal. Soalnya saya lagi nggak berkacamata jadi agak susah menandai wajah kamu.Apa kabar? Senang bisa ketemu kamu.” Reaksi Pak Sutopo jadi sangat gembira. Kesuntukan yang tadi menyergap seperti lenyap tak berbekas begitu bertemu dengan teman satu profesi mengajar di gedung sekolah yang sama.
“Kabar saya baik, kabar kamu sendiri?”
“Kabarku sebenarnya kemarin lagi sakit. Tapi ini sudah baik kok. Kemarin aku sempat sakit perut.”
“Kamu masih suka makan pedas ya hingga perut kamu bermasalah?”
“Tidak juga! Bagaimana kabar teman kita yang lain seperti Pak Gandi?”
“Pak Gandi sekarang sudah menjadi seorang dosen. Saya masih sering ketemuan dan kontek dengannya. Kamu mau nomor hp nya?”, tanpa menunggu Pak Sutopo mengangguk. Pak Subandi mengeluarkan hp dan membacakan deretan nomor hp seprofesi itu. Pak Sutopo menyuruh cucu tercinta segera mencatat nomor itu di hpnya. Tak ketinggalan Pak Sutopo juga memberikan nomor handphonenya sesuai permintaan Pak Subandi.
Guna melancarkan sebuah komunikasi, mereka memilih duduk di bangku taman yang kebetulan ada yang kosong. Karena bangku itu tersisa dua. Safitri rela berdiri sambil sesekali berkeliling di taman. Ia tak mau mengganggu kesenangan kakek ngobrol dengan teman lama, sesama guru lagi.
Mereka terlibat obrolan yang cukup seru. Tapi pembicaraan mereka lebih banyak ke seputaran masa mengajar di sekolah.
“Topo! Aku salut sama kamu masih gigih mengajar di sekolah itu. Padahal dari usia, kamu itu seharusnya sudah pensiun dan berkumpul dengan anak dan cucu. Aku sendiri sudah nggak sanggup mengajar. Lima tahun terakhir sejak aku keluar dari sekolah itu, aku istirahat total. Aku gampang merasa capek dan anak-anak menganjurkan aku untuk berhenti mengajar. Karena itu permintaan mereka agar aku punya banyak waktu untuk kumpul bersama cucu, aku pikir ada benarnya juga. Meski sudah nggak mengajar, tapi pengetahuanku tentang pelajaran yang sering kuberikan tak kan pernah hilang begitu saja dalam ingatan. Kadang aku membantu cucu-cucuku saat mereka tengah belajar dan mengerjakan PR. Mereka kelihatan bangga punya kakek seorang mantan guru. Cucu-cucu kamu pasti juga begitu bangga kakeknya itu masih aktif menjadi guru.”
“Sebenarnya aku juga disarankan anak dan istri untuk berhenti mengajar. Tapi nggak tahu kenapa aku merasa masih senang bisa memberikan sesuatu di sekolah itu. Padahal banyak sudah guru-guru seangkatan kita pada keluar. Kalau berbicara tentang guru seangkatan kita, aku jadi kangen dengan mereka. Kapan ya kita bisa menggagas sebuah reuni antar guru?”
“Kamu tertarik membuat sebuah acara reunian?”
“Tertarik, tapi kendalanya aku nggak tahu alamat dan cara bisa mengundang mereka.”
“Jika kamu tertarik, aku bisa bantu. Beberapa mantan guru seangkatan kita itu kebetulan aku menyimpannya.”
“Kamu ya menyimpan nomor hp mereka nggak bilang-bilang. Kalau aku nggak menyinggung mau buat acara reuni untuk guru seangkatan kita, kamu pasti takkan memberi tahu keberadaan mereka.’
“Bukan begitu! Kamu juga nggak nanya kabar mereka. Kan nggak salah aku juga ikut diam karena kamu nggak singgung tentang mereka. Tapi tadi aku sebenarnya juga sudah mau menyinggung soal itu tapi sudah ke duluan sama kamu.”
“Ya sudah aku percaya kok. Tapi herannya kamu bicara ke aku kok nggak menggunakan bahasa Indonesia yang umum dalam sebuah pelajaran. Padahal kamukan guru bahasa Indonesia. Tidak memberi contoh yang baik berbahasa.”
“Bukan begitu! Ini dialog kita masak harus gunakan bahasa dan penggalan kata-kata yang umum dalam tatabahasa. Kita gunakan saja komunikasi yang biasa, lagi pula aku sudah lama nggak mengajar. Biar saat mengajar saja, perbendaharaan kata dan kalimat itu digunakan.Kalau jadi buat acara reunian, rencananya kapan reuni itu dilaksanakan?”
“Mauku secepatnya. Lokasinya kalau bisa di lingkungan gedung sekolah kita mengajar. Aku bisa meminta ijin sama anak yayasan yang sekarang mengurus sekolah itu. Pasti beliau setuju karena pesan almarhum Pak Tatang sendiri pernah memberi restu jika ada acara reuni baik reuni para pelajar atau reuni antar guru, bisa dilaksanakan tempatnya di sekolah ini. Tapi bisa juga bebas memilih lokasi lain. Kalau mereka nggak mau di gedung sekolah ini, bisa memilih tempat lain yang lebih menarik.”
“Menurut aku baiknya di sekolah itu. Biar bisa merasakan kembali suasana pernah mengajar di sana. Pasti rekan-rekan guru lain juga bernada sama.Tapi kalau mereka memilih lokasi penyelenggara tempat lain juga tak masalahkan?”
“Tak jadi masalah! Yang pasti acara reunian itu berjalan sukses dan ikut mengundang anak yayasan sebagai wakil dari ketua yayasan di mana Mta bernaung dan mengajar di sana.”
Mereka sepakat untuk menggagas acara reunian. Pak Subandi menghubungi nomor hp masing-masing guru yang pernah ia simpan. Ia juga menghubungi alamat twitter, email bahkan facebook mereka kala nomor hp tersebut tidak aktif. Saat mendapat respon dari media sosial, ia begitu gembira dan segera mengabari pada Pak Sutopo.
Pak Sutopo sendiri berhasil mendapatkan restu dari anak yayasan yang menangani sekolah itu. Bahkan Rian ketua yayasan sekolah itu menyediakan anggaran untuk keperluan makan, minum dan penyelenggaraan acara.
Reuni itu akhirnya digelar di gedung sekolah dan mereka memilih malam. Sekalian juga mereka mengundang murid-murid yang pernah belajar di sana maupun yang saat ini sedang belajar. Meski tak semua dari mereka bisa nadir, tapi reuni itu terbilang sukses bukan sekedar ajang untuk melepas rindu dengan sesama mantan guru yang pernah beraktivitas di situ. Tapi juga sebuah ajang silaturahmi dan saling tukar cerita maupun pengalaman pernah menjadi guru dan mengajar di sana. Juga setidaknya untuk ingat pernah jadi bagian yang berarti buat anak-anak yang sudah sukses menjadi orang yang lebih berguna dan berarti di tengah masyarakat.
Medan, 21 November 2013
SEKIAN