Niat dan Nilai Perbuatan Manusia

• Oleh: Drs. H. Ahmad Bangun Nasution, MA

Innamal A’malu binniyaat wainnama likullimri’in maa nawaa

Ruang lingkup ibadah pada prinsipnya ada dua yaitu ibadah mahdhah (khusus) ibadah yang telah ditentukan tata caranya, waktu dan tempatnya, oleh syari’at dalam rangka hubu­ngan khusus seorang hamba de­ngan Allah. Contoh ibadah mahdah, seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan lainnya. Sedangkan ibadah Ghairu Mahdah/umum (tidak murni) atau ibadah umum, yaitu segala bentuk hubungan manusia dengan manusia atau manusia dengan alam yang memiliki makna ibadah.

Niat harus ada pada permulaan melakukan perbuatan, sedangkan tempat niat adalah di dalam hati. Niat, di samping sebagai alat peni­lai perbuatan, juga bisa merupakan ibadah tersendiri seperti yang difahami dari hadis Nabi yang berbunyi : “niat seorang mukmin itu lebih baik daripada amalnya (tanpa perbuatan).” Artinya se­orang mukmin untuk niat beramal kebaikan karena Allah, kemudian dia tidak dapat melak­sanakan niat tersebut maka ia akan mendapatkan pahada dari Allah. Jadi dengan demikian seorang mukmin beramal saja tanpa dibarengi dengan niat kerena Allah maka tidak menda­patkan pahala. Kesimpulannya, segala sesuatu perbuatan yang dila­kukan baik ia sebagai suatu kebia­saan (`adah) yang tanpa diba­rengai dengan niat, maka perbuatan itu bukan merupakan ibadah kepada Allah SWT.

Selain itu, satu ibadah yang dilakukan harus ada aturannya, tata caranya, atau aturan syari`atnya. Sesuatu yang dilakukan itu harus berdasarkan norma atau hukum yang ada, jika tidak sesuai dengan aturan yang ada maka perbuatan itu akan menghasikan sesuatu yang tidak bernilai dalam pandangan Islam khususnya dalam pandangan Allah SWT. Nabi Muhammad saw. telah membuat suatu garis atau aturan tentang segala perbuatan manusia harus berdasarkan atas niat sesorang, niat itu yang lebih utama dan yang paling utama dalam melaksanakan segala sesuatu.

Hadis Nabi tentang signifikansi niat itu yang artinya: “Dari Amiril Mu`minin Abi Hafsh Umar bin Khattab r.a. telah berkata: aku telah mendengar Rasulullah saw, ber­sabda bahwasanya segala amal perbuatan tergantung pada niat, dan bahwasanya bagi tiap-tipa orang apa yang ia niatkan. Maka barang siapa yang berhijrah menuju (keri­dha`an) Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya itu kea rah (keri­dha`an) Allah dan rasul-Nya. Dan barang siapa yang hijrahnya itu karena dunia (harta atau kemegahan du­nia), atau karena seorang wanita yang akan dikawi­ninya, maka hi­jrah­nya itu kea rah yang ia tuju tersebut". (HR. Bukhari dan Mus­lim).

Sejalan dengan hadis di atas, bahwa segala perbuatan hamba Allah harus disertai dengan niat yang baik, jika tidak dibarengi dengan dengan niat maka perbua­tannya akan jatuh kepada perbuatan yang tidak punya nilai ibadah apapun. Jika tidak punyai nilai ibadah maka ia jatuh kepada `adah atau kebiasaan semata, tidak akan memberikan nilai ibadah dalam pandangan Islam sejalan dengan hadis yang disebutkan di atas.

Untuk lebih jelasnya dibuat con­toh perbuatan atau aktivitas hidup, seseorang yang makan dan minum tidak dinilai sebagai sebuah ibadah bila ia bermaksud atau be­niat bahwa makan dan minum­nya itu hanya untuk menghasilkan energi semata bagi tubuhnya. Akan tetapai jika ia berniat makan dan minum untuk mendapatkan energi dan agar bisa melakukan ibadah, baik ibadah mahdhah atau ibadah ghairu mahdhah maka perbuatan tersebut menjadi satu nilai ibadah baginya, karena diawali dengan niat yang baik, maka hasilnyapun kebaikan.

Hadis di atas sejalan dengan qa`idah yang ada yaitu: “segala se­suatu (perbuatan) tergantung pada tujuannya (maksud niatnya).” Hal ini deperkuat oleh sebuah hadis yang berbunyi: yang artinya : “se­sung­guhnya manusia itu akan dibangkit­kan (untuk memperoleh balasan) sesuai dengan niat ma­sing-masing.”

Wudhuk dan mandi, bisa berla­ku sebagai ibadah, tetapi bisa juga untuk sekedar mendinginkan ba­dan atau membersihkannya. Mena­han diri tidak makan dan minum bisa sebagai ibadah (puasa) namun bisa juga untuk upaya penjagaan agar badan tidak terlalu gemuk (diet). Demikian juga halnya sese­orang yang duduk di mesjid, selain untuk ibadah dengan niat iktikaf, bisa jadi dia mempunyai niat hanya sekedar untuk istirahat atau untuk berteduh dari sinar matahari yang amat sangat terik di siang hari.

Memberi sejumlah uang kepada orang lain bisa sebagai hibah, atau sebagai ibadah seperti membayar zakat, sedekah, atau membayar kafa­rat. Demikian juga halnya da­lam menyembelih hewan ternak kambing atau sapi, bisa saja hewan itu disembelih hanya untuk kegia­tan pesta semata atau bisa juga dengan niat lain, yaitu untuk taqar­rub kepada Allah SWT. Dengan demikian, semua bentuk pelaksa­na­an suatu perbuatan bisa saja sama antara yang satu dengan yang lain­nya, akan tetapi kedudukannya tidak sama, tergantung pada niat masing-masing pribadi secara individu.

Niat harus ada pada permulaan melakukan perbuatan, sedangkan tempat niat adalah di dalam hati. Niat, di samping sebagai alat peni­lai perbuatan, juga bisa merupakan ibadah tersendiri seperti yang difahami dari hadis Nabi yang ber­bunyi: “niat seorang mukmin itu lebih baik daripada amalnya (tanpa perbuatan).” Artinya se­orang muk­min untuk niat beramal kebai­kan karena Allah, kemudian dia tidak dapat melaksanakan niat tersebut maka ia akan mendapatkan pahada dari Allah. Jadi dengan demikian seorang mukmin beramal saja tanpa dibarengi dengan niat kerena Allah maka tidak mendapatkan pahala. Kesimpulannya, segala sesuatu perbuatan yang dilakukan baik ia sebagai suatu kebiasaan (`adah) yang tanpa dibarengai dengan niat, maka perbuatan itu bukan merupa­kan ibadah kepada Allah SWT.

Akan tetapi boleh melakukan sesuatu yang menyalahi syari`at Islam jika hal itu merupakan keterpaksaan atau kondisi dharurat, jika tidak dilaksanakan akan memu­dhratkan bagi diri sendiri atau tidak akan terjadinya peroba­han sepanjang masa. Semi­sal sese­orang boleh melakukan riswah atau tindakan yang bertentangan dengan ajaran Islam, jika tidak de­ngan cara yang sedemikian rupa (tidak mau melaku­kan riswah) akan mustahil atau kecil kemungkinan untuk mem­peroleh jabatan atau posisi yang amat penting tersebut. Akan tetapi jika telah mem­peroleh posisi atau jabatan tersebut harus dengan niat yang kuat dia akan merobah semua tindakan yang salah atau yang bertentangan dengan aja­ran Islam selama ini yang telah dila­kukan masyarakat.

Demikian juga halnya dengan seseorang yang memakan makanan yang haram ketika masa paceklik, ia memakan makanan babi atau binatang haram lainnya, tapi ia memakannya hanya sekedar untuk menyambung hidup semata, hal demikian dibolehkan dalam ajaran Islam disebabkan kondisi darurat. Hal ini juga sejalan dengan kaidah hukum yang ada yang berbunyi : yang artinya: “Kemudharatan-ke­mudharatan itu membolehkan hal-hal yang dilarang”. Hal ini sejalan juga dengan firman Allah yang artinya: “Akan tetapi barang sia­pa da­lam keadaan terpaksa (me­ma­kannya) sedang ia tidak mengi­ginkan dan tidak pula melam­paui batas, maka tidak ada dosa bagi­nya”(QS. al-Baqarah 173).

Penulis dosen FITK UIN SU

()

Baca Juga

Rekomendasi