• Oleh: Muhammad Hisyamsyah Dani
“Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuatlah baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan. (Q.S al-Qasas : 77)
Setiap pribadi Muslim senantiasa berkeyakinan diri bahwa kehidupan di alam dunia hanyalah sementara. Kehidupan yang sebenarnya lagi kekal adalah kehidupan di alam akhirat kelak. Oleh karena itu, segala aktifitas yang menjadi rutinitas sehari-hari, termasuk giat bekerja, harus diniatkan karena menjalankan perintah Allah Swt. Hal tersebut mestilah dibuktikan dengan rangkaian efektifitas kerja keras sebagai landasan dalam meraih kesuksesan dunia dan akhirat, termasuklah giat bekerja, jujur, serta pekerjaan tersebut tidak melalaikan daripada mengingat Sang Ilahi Robbi, Allah Swt. Kita semua, kapan dan dimana saja berada, Sang Maha Agung akan selalu mengawasi apa yang kita perbuat.
Sebagai orang Islam, kita mestilah yakin bahwa kehidupan bukanlah hanya di dunia, melainkan ada kehidupan akhirat. Kita tidak dapat mementingkan satu segi kehidupan saja, apakah itu dunia atau sebaliknya yaitu alam akhirat. Misalnya, kita beribadah terus-menerus dan meninggalkan kehidupan dunia atau kita bekerja terus-menerus sehingga melupakan ibadah kepada Allah Swt. Allah Swt telah banyak menerangkan dalam Firman-FirmanNya tentang keharusan bekerja dengan giat. Bahkan, seorang muslim sekalipun, sangat dilarang Allah untuk berpangku tangan menunggu datangnya keajaiban dari langit.
Berbicara mengenai etos kerja muslim maka akan kita dapatkan bahwa Allah sendiri pun tidak menyukai hamba-hambaNya yang hanya berpangku tangan menunggu belas kasihan saudaranya, apalagi lebih menyibukkan diri dalam beribadah, namun meninggalkan kegiatan dunia yang seharusnya ia penuhi juga sebagai sarana ibadah kepada Sang Pencipta. Dalam surah pengantar di awal artikel ini ( Q.S aL-Qasas : 77 ) Allah menerangkan bahwa keseimbangan hidup antara dunia & akhirat mestilah dipahami setiap pribadi muslim dengan baik.
Menyeimbangkan Dunia & Akhirat
Dalam awal ayat ini, Allah Swt. Memerintahkan orang-orang yang beriman agar dapat menciptakan keseimbangan antara usaha untuk memperoleh keperluan duniawi dan keperluan ukhrawi. Tidak mengejar salah satunya dengan cara meninggalkan yang lain. Rasulullah Saw, sangat mencela orang-orang yang hanya mengejar akhirat dengan meninggalkan duniawi. Apalagi, kalau menjadi beban orang lain dalam masalh nafkah. Nabi Muhammad Saw. Pernah mendapati seorang anak muda yang selalu berada di masjid untuk beribadah. Kemudian, beliau bertanya kepada para sahabat, “siapakah yang memberi nafkahnya? “, para sahabat menjawab, “ayahnya wahai Rasulullah“, beliau melanjutkan perkataan bahwa ayahnya lebih baik daripada anaknya. Dia semestinya mencari nafkah sehingga tidak menjadi beban orang lain.
Pada saat beribadah, hendaknya kita bersungguh-sungguh dan penuh penghayatan. Kita berusaha untuk melupakan semua urusan duniawi dan hanya mengingat kepada Allah Swt. Kita berusaha memusatkan perhatian hanya kepada Allah Swt. Sebaliknay jikalau kita sudah selesai beribadah kita hadapi urusan dunia kita dengan penuh perhatian dan kesungguhan. Kita berusaha dan bekerja keras untuk memperoleh keuntungan duniawi dengan cara yang baik dan benar. Kesadaran yang mesti dibangun adalah bahwa semua perbuatan kita kelak akan dipertanggung jawabkan kelak di Mahkamah Allah Swt.
Manusia adalah makhluk yang terdiri atas jasmani dan rohani. Sebab itulah, manusia dituntut untuk melakukan kompromi dalam memenuhi kepentingan keduanya. Artinya, memenuhi kepentingan fisik dalam batas-batas yang diperkenankan oleh Allah Swt. Pada saat yang sama juga memenuhi berbagai kepentingan spiritualnya. Dalam Islam tidak terdapat kependetaan yang menentang pemenuhan dorongan fisik. Sebaliknya, dalam Islam juga tidak terdapat nihilisme mutlak yang mengijinkan pemenuhan dorongan fisik. Islam menyerukan penyeiringan dorongan tubuh dan jiwa serta menyelaraskan aspek materiil maupun moriil dalam tubuh manusia itu sendiri.
Imam Ahmad Bin Hanbal adalah seorang ulama besar yang sangat menjaga hidupnya agar tidak bergantung kepada pertolongan orang lain. Tersebut dalam riwayatnya, beliau hidup sangat sederhana. Beliau dengan senang hati bersusah payah mencapai etos kerja dalam memenuhi kebutuhannya. Beliau tidak suka berpangku tangan mengharap belas kasihan dan pemberian orang lain. Malah lebih suka dengan hasil keringat sendiri dalam menghasilkan apa yang dikerjakan. Sekalipun Imam Ahmad menjadi kuli, beliau tetap berpuas diri mencapai hakikat pekerjaan yang mulia, daripada berpangku tangan mengharap rezeki yang datang dari langit, begitulah sederhananya ulama besar ini.
Larangan berpangku tangan
Tak hanya itu, Rasulullah melalui hadits-hadits yang mulia banyak memerintahkan kepada umat Islam agar selalu bergiat dalam bekerja untuk mencukupi kebutuhan dunia guna mendapatkan kebahagiaan kelak di akhirat. Salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Anas bin Malik, Rasulullah Saw, bersabda, “Dari Anas Bin Malik r.a, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda, “Ya Allah, aku berlindung kepadaMu (agar terhindar) dari sifat lemah, malas, penakut, pikun dan kikir. Aku berlindung pula dari siksa kubur serta ujian hidup dan mati.” (HR. Muslim). Rasulullah berdoa agar selalu dijauhkan dari sifat-sifat diatas yang seyogianya adalah memang sifat yang menghalangi kinerja kerja manusia itu sendiri. Sebut saja, jika fisik kita lemah atau sakit, maka kita akan kesulitan menghasilkan sesuatu secara optimal. Sementara, lemah mental dapat menyebabkan seseorang tidak dapat berpikir dengan baik dan selanjutnya akan menyebabkan kebodohan yang tentunya akan bermuara pada menurunnya kinerja terbaik bagi setiap pribadi muslim. Dalam sebuah Hadis lain juga Rasulullah bersabda, “Orang Mukmin yang kuat lebih baik, dan lebih dicintai oleh Allah swt, daripada orang mukmin yang lemah”,
Tak hanya itu pula, selain manusia dituntut bekerja dan dibarengi dengan do’a, manusia juga dituntut untuk mnyeimbangkan usahanya antara kepentingan dunia dan akhirat, sebagaimana Hadits berikut, “Bukankah orang yang baik di antara kamu orang yang meninggalkan kepentingan dunia untuk mengejar alam akhirat atau meninggalkan akhirat untuk mengejar dunia, sehingga dapat memadukan antara keduanya. Karena kehidupan dunia menghantarkan kamu menuju alam akhirat, & janganlah kamu menjadi beban orang lain”. ( HR. Ibnu ‘Asakir ).
Hadits ini merupakan penegasan Rasulullah Saw, agar manusia menyeimbangkan usaha guna keperluan dunia & akhirat. Beliau sangat mencela orang-orang yang duduk di masjid, zikir, shalat, yang tujuannya agar kelak masuk surga. Akan tetapi, mereka lalaikan tugasnya sebagai makhluk sosial yng hidup di tengah-tengah masyarakat. Sebaliknya, beliau mencela orang-orang yang sibuk dengan urusan dunia untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya dan lupa akan Allah swt. Yang memang kewajibannya adalah untuk mengabdi kepadaNya. Sebab itulah harus arif dan bijaksanalah setiap insan agar porsi alam dunai serta akhirat dapat terus dibarengi dan menjadi jalan ibadah kepadaNya.
Sebagai sebuah kesimpulan, marilah kita selaku manusia yang telah dianugerahi pembekalan yang luar biasa dari Sang Maha Pencipta, bijak dalam melangkah, kerja itu sangat diperlukan guna mencukupi kebutuhan kelak yang akan menghantarkan kehidupan akhirat yang sukses, namun sekali lagi ingat hakikat kesuksesan akan diraih manakala manusia itu sendiri pandai dalam berolah dan memanajemen akan kebutuhan dunia dan akhirat, “Bekerjalah kamu untuk duniamu, seolah engkau akan hidup 1000 tahun lagi, & beribadahlah engkau seolah kau akan mati esok hari”, semoga ada manfaatnya bagi kita semua. Wallahu ‘Alam
Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Syari’ah Jurusan Siyasah (Hukum tatanegara Islam) Semester VII UIN SU Medan & Kru LPM Dinamika UIN SU Medan