Mendadak Sejarawan

Oleh: Fajar Fahmi

SEJARAH bukan sekadar melahirkan cerita dari kejadian masa lalu sebagai masalah. sejarah tidak sekedar kejadian masa lampau, tetapi pemahaman masa lampau yang di dalamnya mengandung berbagai dinamika, mungkin berisi problematika pelajaran bagi manusia berikutnya." Begitulah penuturan seorang Moh. Hatta yang dikenal sebagai salah satu bapak proklamator.

Semenjak akan adanya wacana tentang pemutaran kembali film 30S/PKI, banyak terjadi polemik dikalangan masyarakat. Menimbulkan pro dan kontra. Bagi kalangan masyarakat yang mendukung, pemutaran kembali film tersebut merupakan suatu proses penyegaran kembali ingatan masyarakat atas kekejaman "PKI" dimasa lampau. Namun bagi yang kontra, film tersebut merupakan suatu distorsi sejarah yang fakta kebenaran masih abstrak dan perlu dikaji ulang.

Dilansir dari detiknews.com. Pemutaran kembali film "30S/PKI", diklaim atas ucapan Panglima TNI Jenderal Gatot Nur­mantyo bahwa; "Sejarah itu jangan mendiskreditkan. Ini hanya mengingatkan pada anak bangsa, jangan sampai peristiwa itu ter­ulang. Karena menyakitkan bagi semua pihak. Dan korban­nya sangat banyak sekali". Dari pernyataan tersebut, sebenar­nya ada niat baik beliau untuk memutarkan film tersebut. Namun, niat baiknya tidak memperhatikan dampak yang buruk terha­dap proses perkembangan ilmu pengetahuan sejarah dan meto­dologi penelitian ilmu sejarah. Walaupun demikian, perin­tah yang diucapkan beliau membuahkan hasil dengan banyak­nya acara "Nobar Film 30S/PKI" disetiap pelosok negeri ini.

Film "30S/PKI" bukan hanya saja ditonton oleh masyarakat, bahkan Presiden pun tak mau kalah. Dikutip dari liputan6.com. Bahwa Presiden Joko Widodo atau Jokowi bersama Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo terlihat serius menyaksikan film Pengkhianatan G30S/PKI di lapangan teknis Makorem 061/Suryakancana, Kota Bogor, hingga tuntas pada Sabtu, 30 September 2017 dini hari. Dengan demikian, atas diputar­kan­nya lagi film yang penuh kontroversi di kalangan sejarawan, ter­nyata atas antusias yang tinggi dari masyarakat bahwa film itu masih laku dan banyak dirindukan.

Mengerti Sejarah

Pengajaran sejarah memang dapat dipergunakan untuk me­la­tih warga negara yang setia jika memang kisah tanah airnya dapat menimbulkan rasa bangga pada diri kaum patriot atau jika kisah itu dapat demikian diubah dan disesuaikan sehingga nampaknya lebih mulia. Namun di dalam pendidikan pemuda sekalipun apabila kebenaran dapat ditetapkan dengan peng­gunaan metode sejarah, barangkali lebih baik disajikan secara murni. Masalahnya terdapat pada bidang pendidikan dan tidak pada bidang penelitian. Pastilah sejarah memiliki metode yang ilmiah, dari metode sejarah yang analistis. Dalam batas-batas tertentu metode sejarah adalah ilmiah, yakni hasilnya harus da­pat diverifikasi dan dapat disetujui atau ditolak oleh para ahli.

Sejarah tidak dapat direkonstruksi, masa lampau manusia untuk sebagian besar tidak dapat ditampilkan kembali. Bahkan juga mereka yang dikarunia ingatan yang tajam sekalipun tidak akan dapat menyusun kembali masa lampaunya, karena dalam hidup semua orang pastilah ada peristiwa, orang, kata-kata, pi­kiran-pikiran, tempat-tempat dan bayangan-bayangan yang ketika terjadi samasekali tidak menimbulkan kesan, atau yang kini telah dilupakan.

Menurut Kuntowijoyo, dalam bukunya "Pengantar Ilmu Sejarah" beliau berpendapat bahwa sejarah menyuguhkan fakta secara diakronis, ideografis, unik, dan empiris. Sejarah bersifat diakronis karena berhubungan dengan perjalanan waktu. Se­mentara itu, sifat ideografis karena sejarah menggambarkan, memaparkan, dan menceritakan sesuatu. Sejarah bersifat unik karena berisi hasil penelitian tentang hal-hal yang unik dan se­cara khas hanya berlaku pada sesuatu. Selain itu, sejarah ju­ga bersifat empiris, yaitu sejarah bersandar pada pengalaman manusia yang sungguh-sungguh terjadi. Dengan demikian, sebenarnya mempelajari sejarah tidaklah mudah. Ilmu sejarah tidak bisa hanya didapatkan melalui sebuah tontonan ataupun hanya melalui cerita-cerita dongeng yang fakta dan kebe­narannya masih dipertanyakan.

Di dalam mempelajari ilmu sejarah, kita bukan dituntut untuk mencari pembenaran atas kejadian masa lampau. Sebab, berdasarkan materi pokoknya, sejarah berbeda dengan disiplin ilmu yang lain. Sejarah bukan bagian dari ilmu pasti. Tentunya untuk mencari pembenaran akan sangat sulit dan memang me­mer­lu­kan sumber-sumber yang banyak dan tidak bisa hanya dengan satu sumber. Dalam buku pengantar ilmu sejarah, Moh. Ali menyatakan bahwa sejarah adalah sejumlah proses peru­bahan, kejadian, dan peristiwa yang ada di sekitar kita. Menu­rutnya, sejarah adalah cerita tentang proses perubahan dalam kehidupan manusia dan seperangkat ilmu yang menyelidiki perubahan itu. Menurut saya, dengan berbagai proses yang panjang dalam mempelajari sejarah, semestinya masyarakat bijak dalam upaya memahami sejarah secara kritis.

Mendadak Sejarawan

Akhir-akhir ini, dengan diadakannya nobar pemutaran film "30 S/PKI". Banyak sekali saya membaca pernyataan liar yang tak bertanggung jawab di sosial media. Tanpa mikir dan ana­lisis logika. Salah satu kalimat yang saya baca diantaranya; "Siapa yang tak menonton fim 30 S/PKI dialah PKI". Seolah-olah yang mengeluarkan statement itu adalah sejarawan besar. Sebenarnya saya biasa saja menanggapinya, namun setelah ba­nyak yang mengikuti pernyataan liar itu, saya jadi sedikit me­rasa kasihan atas kesalahan berfikir yang langsung menjus­tifikasi. Pernyataan demikian, sebenarnya tidak pantas bagi kita yang memiliki akal budi untuk berbicara seperti itu. Pada­hal, banyak kalangan sejarawan yang meragukan bahwa PKI yang terlibat dalam tragedi berdarah 30 September. Lalu, apa­kah kita pantas menyebutkan mereka PKI?

Pada Harian Analisa, edisi 26 September 2017, saya mem­baca opini seorang penulis bernama Meryani dengan judul "Nobar Film 30S/PKI". Dengan tegas, dia sangat tidak setuju bahwa hanya dengan menonton film tersebut, kita sudah meng-amin-kan bahwa itu merupakan fakta kongret yang terjadi pada waktu kejadian '65. Meryani menambahkan lagi, seharusnya proses rekonsiliasi segera direalisasikan guna menuju pemben­tukan moral untuk saling memaafkan. Hemat saya, tragedi pada tahun '65, hanya merupakan salah satu contoh yang tak perlu dikhawatirkan lagi. Komunis sudah mati dan berat untuk hidup lagi. Mengapa kita harus takut? Kalaupun ada ya kita lawan. Namun, apa buktinya mereka saat ini ada? Kalaupun ada anak cucu mereka yang saat ini masih ada, apakah mereka tidak bisa kita bina? Mereka pun saudara kita. Tidak pantas meng­hakimi seseorang, kalau dia sendiri tidak paham atas kesalahan­nya. Pada saat ini isu yang sangat eksis selalu dikaitkan dengan ke­bangkitan dan bahaya laten "PKI". Seolah-olah, yang mem­buat negeri ini tidak stabil adalah mereka berdua. Betulkah?

Presiden Joko Widodo pada 10 Juli 2017 telah menanda­tangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor: 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Un­dang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Dalam Perppu ini (Perpu Nomor 2 Tahun 2017) ditegaskan, bahwa Organisasi Kemasyarakatan yang selanjutnya disebut Ormas adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan ke­sa­maan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi ter­capainya tujuan Negara Kesaturan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Nega­ra Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan demikian, sebe­narnya kalau kita menyakini bahwa PKI bangkit lagi dan me­num­buhkan bibit yang baru, itu merupakan hak opini yang tidak salah. Namun ketakutan yang berlebihan atas berdirinya bangkitnya lagi hantu dari kuburnya merupakan hal yang tidak objektif.

Menurutku, akhir-akhir ini saya sadar bahwa masih banyak dari kita yang dibesarkan oleh stigma. Selain itu, daya tarik kita terhadap gosip masih sangat tinggi ditambah lagi kita tidak kritis terhadap "doktrin" karena dasar fanatisme. Sehingga, kecenderungan terjadinya tujuh kesalahan berfikir seperti yang disampaikan oleh Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya yang berjudul "Rekayasa Sosial", mungkin dari keseluruhannya ma­sih kita sandang. Padahal, sebagai makhluk yang memiliki akal suci, kita menjauhkan penyakit itu dalam benak kita. De­ngan demikian, masyarakat Madani yang kita cita-citakan melalui ideologi Pancasila dapat segera terwujud.

Menjadi peminat sejarah merupakan langka awal yang bagus. Hal tersebut, mengantarkan kita pada kesadaran betapa pentingnya sebuah sejarah. Bahkan kita sering mendengar kata "JAS MERAH!" yang kepanjangan dari "Jangan sekali-kali melupakan sejarah!" Ya betul. Pada hakikatnya kita semua ada­lah pelaku sejarah. Maka, sudah sepatutnya kita belajar seja­rah secara baik dan benar. Tidak langsung melegitimasi se­buah kebenaran sejarah hanya melalui satu sumber. Harus adanya pembangunan daya kritis. Sebab menjadi sejarawan tidak gampang. ***

Penulis adalah Mahasiswa Pendidikan Sejarah UNIMED dan berprose di HMI Cab. Deli Serdang

()

Baca Juga

Rekomendasi