Oleh: J Anto
TIONGHOA Rantau Prapat dikenal membaur dengan etnis (suku) lain. Perkawinan antarsuku bahkan lumrah terjadi. Mereka umumnya merupakan generasi kedua dan ketiga yang datang ke Indonesia untuk menghindari wajib militer saat Tiongkok berperang melawan Jepang. Tak dipungkiri, keberadaan mereka telah memberi kontribusi dalam pembangunan Kota Rantau Prapat.
Meski usianya jelang 90 tahun, namun daya ingat Lim Tian Djin (89) bak pisau yang rajin diasah. Intonasi dan nada bicara pemilik Kedai Kopi 73 yang persis berhadapan dengan Perguruan Panglima Polem di Jalan KH Ahmad Dahlan, Rantau Prapat itu, juga masih terdengar jernih dan lantang.
“Dulu umur empat tahun saya sudah dimasukkan Chung Hwa School,” ujarnya. Jari tangannya menunjuk ke arah gedung Pergurun Panglima Polem. Di kedai kopi yang juga menyediakan nasi sarapan pagi, ragam kue basah, dan mi pangsit itu, Chin Ho panggilan akrabnya, Sabtu (2/12) pagi menuturkan yang diingat dan diketahuinya tentang masyarakat Tionghoa di Rantau Prapat.
Orang Tionghoa Rantau Prapat umumnya berasal dari beberapa daerah di Tiongkok. Kakek Chin Ho misalnya berasal dari Fujian, Tiongkok Selatan. Sebuah wilayah pegunungan yang tanahnya tandus. Selain Fujian, ada juga imigran dari Hokkian, semisal Ong Hiang Bun, ayah dari Iwan Hartono Alam. Ada juga yang berasal dari Kwantung. Contohnya kakek dari Sujian, Ketua Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) Labuhan Batu.
“Sampai umur delapan tahun, saya masih lihat kakek bekerja menggergaji kayu,” kata Sujian alias Acan saat ditemui di kantor DPD Hanura Sumut, Medan, Selasa (5/12). Ayah Sujian, Wong I Seng alias Sandikan adalah seorang veteran pejuang. Sandikan mendapat bintang gerilya dari Presiden Soekarno. Ia bergabung dengan pasukan yang dipimpin Kolonel AS Rangkuti dan Kolonel HM Soekardi. Wong I Le, ayah Wong Tjun Sen Tarigan, anggota DPRD Medan juga berasal dari Kwantung.
Menyebar dari Labuhan Bilik
Orang-orang Tionghoa sampai ke Rantau Prapat dan daerah lain melalui Singapura, kemudian masuk ke Labuhan Bilik. Pada masa kolonial, Labuhan Bilik merupakan pelabuhan terbesar setelah Tanjung Balai dan Belawan. Dari Labuhan Bilik inilah rombongan imigran Tionghoa menyebar ke sejumlah daerah saat sampan-sampan mereka menyusuri sungai-sungai pesisir timur Sumatera itu. Ada yang tinggal di Kota Pinang dan sampai ke Sungai Bilah, Rantau Prapat, Tanjung Balai, dll. Ragam suku berdiam di Rantau Prapat seperti Hokkian, Khek, Tiochu, Konghu, Hainan, dsb.
Tinggal dan hidup berbaur dalam lingkungan yang plural, mendorong terjadinya proses integrasi secara alamiah antara etnis Tionghoa dengan etnis lain yang lebih dulu ada. Kawin campur pun jadi hal lumrah. Kakek Wong Tjun Sen misalnya, diberi marga Tarigan saat menyunting boru Ginting. Tak heran jika di belakang namanya Wong Tjun Sen kadang menyertakan marga Tarigan. Isteri Sujian juga perempuan Jawa. Cin Ho juga memiliki menantu orang Batak.
Pada awalnya, pekerjaan orang Tionghoa berdagang kedai sampah, terutama ikan asin dan belacan yang diambil dari Labuhan Bilik. Ada juga yang bercocok tanam, tukang bangunan, usaha panglong kayu, dan pekerjaan lain. Wong I Le, misalnya menurut penuturan Wong Tjun Sen memiliki pekerjaan berburu babi hutan.
“Pekerjaan berburu dilakukan setelah usaha kayu milik keluarga terbakar habis,” ujarnya saat dijumpai di STIE Eka Prasetya, Medan, Rabu (6/12). Babi rusa banyak mengganggu tanaman penduduk, sementara daging babi rusa cukup banyak peminatnya di kalangan penduduk Tionghoa. Saat masih SMA, Wong Tjun Sen sering membantu ayahnya mengantar babi rusa yang ditembak ayahnya. Beratnya bisa sampai 100 kg lebih. Saat berburu, Wong I Le bisa meninggalkan rumah 2 – 3 hari, bahkan bisa sampai seminggu.
“Pernah ayah saya, terjatuh ke lubang perangkap yang dibuat penduduk, untung tidak ada bambu runcing sehingga tidak mengalami luka,” ujar Wong Chun Sen yang telah meraih master Pendidikan Agama Budha dari sebuah sekolah tinggi agama di Jakarta itu.
Pada 1970-1980 saat era “dolar hitam” merebak, berkebun sawit ditekuni banyak orang Tionghoa. Luas kebun sawit mereka beragam, dari yang hanya punya 4 hektar sampai puluhan hektar.
Menurut Sujian, beberapa pengusaha Tionghoa Rantau Prapat yang memelopori bisnis perkebunan sawit pada 1970-an, di antaranya Can Salikin, Sin Tek Hwat, Lin Chiu Long, Cok Lon, dan A Hok. Mereka bisa dibilang generasi perintis perkebunan sawit dari kalangan Tionghoa.
“Mereka kebanyakan bekas kontraktor dari Socfin dan perusahaan sawit Belgia, jadi sudah punya pengetahuan berbisnis sawit,” ujarnya yang aktif mengurus berbagai organisasi agama, pendidikan, sosial, sampai politik itu. Socfin dan perusahaan asal Belgia, memang banyak menanam investasi perkebunan karet dan sawit di Labuhan Batu.
Sekolah Tionghoa
Jejak keberadaan orang Tionghoa di Rantau Prapat dapat ditelisik dari peninggalan bangunan seperti Toa Pe Kong di Jalan Sanusi dan Vihara Kwan Im Teng di Jalan Asam Manis. Usia kedua rumah ibadah itu lebih seabad. Selain itu, juga dapat ditemukan lewat keberadaan Chung Hwa School, sekolah yang berdiri sejak 1937.
Politik kolonial Belanda saat itu memang kurang memedulikan pendidikan bagi penduduk Tionghoa. Hollandsch Inlandsche Schol (HIS), sekolah yang diselenggarakan Belanda, dikhususkan untuk anak-anak dari kalangan bangsawan (priyayi). Penduduk Tionghoa harus mengurus sendiri pendidikan anak-anak mereka. Itu sebabnya sekolah untuk anak-anak Tionghoa di berbagai daerah di tanah air waktu itu berdiri dari inisiasi tokoh masyarakat Tionghoa. Tak terkecuali di Rantau Prapat.
Selain Chung Hwa School, ada juga Sin Min School. Kedua sekolah itu merepresentasikan orientasi politik di kalangan tokoh masyarakat Tionghoa waktu itu. Sebagai imbas dari peristiwa G30S/1965, Sin Min School diambil alih pemerintah dan sejak itu sampai sekarang berubah jadi sekolah kejuruan. Sedangkan Chung Hwa School pada 1976, atas perintah Laksusda Sumut melalui dinas pendidikan lalu berganti nama jadi Perguruan Panglima Polem. Sujian, yang mendapat gelar doktor honoris causa, adalah dewan pembina perguruan ini.
Beras dan Jagung
Sayang Chin Ho mengaku tak tahu siapa saja pendiri awal Perguruan Panglima Polem itu. Yang masih diingatnya, bentuk bangunan awal sekolah saat ia bersekolah pada 1942. Bangunannya masih menggunakan kayu beratap genteng. Uang sekolahnya masih berupa hasil bumi. Maklum sekolah ini muridnya sebagian besar berasal dari keluarga Tionghoa miskin saat itu. Saat penjajahan Jepang hidup juga serba susah.
“Bayarnya 3 ons beras, jagung, ubi kayu, dan kangkung,” tuturnya sembari menebar senyum.
Beras, jagung, dan sayur-sayuran saat itu memang jadi mata pencaharian sebagian besar penduduk Tionghoa yang tinggal di Kawedanan Rantau Prapat pada 1930-an. Mereka bercocok tanam dan membangun rumah-rumah sederhana di atas tanah yang diberikan Sultan Pinang itu.
Rantau Prapat bukan kota besar. Menurut Sensus Penduduk 2013, dari 116.340 jiwa jumlah penduduk Rantau Prapat, etnis Tionghoa hanya 6,35 % atau 7.389 jiwa. Penduduk terbanyak bersuku Jawa mencapai 87.476 jwa (75,19 %), disusul Batak 7,91% (9.198 jiwa), Melayu 5,50% (6.401 jiwa), dan Karo 6,35% atau 4.709 jiwa. (Veronica Febri Dwi Andini: 2014).
Seperti kota lain di Indonesia, komunitas Tionghoa dewasa ini umumnya tinggal di kawasan kota, misalnya di sepanjang Jalan Imam Bonjol, Ahmad Dahlan, dan Sudirman. Tempat ngopi dan menyantap kudapan malam yang cukup populer di Lapaloma yang berada di Simpang Enam dan Kedai Kopi Makmur di Jalan Imam Bonjol. Kedai kopi makmur terletak tidak jauh dari Simpang Empat. Kedai ini jadi tempat nongkrong wartawan untuk menguping isu-isu politik terbaru di Labuhanbatu.
Anggota DPRD Sumut dari PDI Perjuangan, Brilian Moktar, tergolong penikmat kopi dan kuliner khas kedai ini: roti bakar dilapisi srikaya. Menurut Wong Tjun Sen, dulu pernah ada tiga gedung bioskop, namun sudah tutup semua.
“Kalau mau cari hiburan, umumnya warga Tionghoa pergi ke Medan,” katanya. Jarak Rantau Prapat – Medan berkisar 288 kilometer. Bisa ditempuh 9 – 10 jam menggunakan moda darat kereta api.
Kegiatan budaya di kota ini kurang berkembang. Pada 1998, Sujian pernah memprakarsai pendirian grup barongsai, bernaung di bawah Yayasan Budi Agung. Terbina 2 grup barongsai, bahkan pernah ikut lomba di Medan. Mereka mampu meraih peringkat kedua. Mereka juga sering tampil saat perayaan Imlek.
Sekalipun dari sisi kegiatan budaya kurang menonjol, imbuh Wong Tjun Sen, namun kehidupan reliji Tionghoa Rantau Prapat cukup tinggi. Rumah ibadah seperti vihara dan kelenteng bertabur. Selain Vihara Pekong Jalan Sanusi dan Vihara Kwa Im Teng Jalan Asam Manis, ada juga Vihara Arama Arya Sangha Bodhisatva, Vihara Budhha Jayanti, dan Klenteng Kwan Kong. Berbagai ritual agama menurut Sujian rutin digelar umat.
“Setelah sehari-hari sibuk berdagang, mereka juga butuh diisi rohaninya,” ujar Chin Ho.