Dari Bisnis Ekpedisi Beralih ke Rempah

RETNO Mardiningsih Alu­m­nus Universitas Brawijaya Ma­lang dulunya bukan siapa-siapa. Sebe­lum menggeluti dunia bisnis rem­pah-rempah dan produk herbal, Retno Mar­diningsih bekerja di peru­­sahaan ekspedisi, Kitrans Logistics, pada 2003-2008.

Sebu­lan pertama dia tak lang­sung ditem­patkan di bagian akun­ting sesuai gelar kesarja­naannya, tapi menjadi customer service. Jus­tru di bagian ini, dia menda­pat­­kan banyak pe­ngetahuan baru yang tak didapatnya di bangku kuliah.

"Saya jadi tahu seluk-beluk pengiriman barang melalui jalur laut, mengatur truk-truk pengang­kut, detail pembiayaan, dan lainnya," tuturnya.

Ketika putranya memasuki usia sekolah, perempuan kelahi­ran 14 September 1978 itu me­mu­­tuskan keluar dari Kitrans, dan merintis perusahaan sejenis dengan bendera, Kasaba Prata­ma. Tapi dia mengklaim tak me­ngusik para klien dari perusahaan lamanya. Mereka yang menggu­na­kan jasa ekspedisi darinya benar-benar klien baru. Produk yang ditangani umumnya barang-barang untuk kebutuhan konstru­ksi di berbagai daerah di Indonesia.

"Mereka berbelanja keper­luan dari Sura­baya lalu mengi­rimkan ke daerah melalui pe­ru­sa­haan saya," ujarnya.

Sebagai pemain baru, dia me­n­­dapatkan modal awal dan pen­dam­pingan dari LPEI (Lem­baga Penjaminan Ekspor Indonesia). Di awal merintis bisnis, modal besar yang dimilikinya cuma ne­kad, tak malu bertanya, dan tak takut salah. "Ya, di awal mana punya duit. Modal utama saya nekad saja. Untuk ada LPEI," ujarnya.

Karena pengiriman barang sela­lu tepat waktu, kepercayaan para kliennya meningkat. Mereka akhirnya meminta Retno seka­lian membeli barang-barang yang diperlukan dan mengirimkannya. Hingga suatu hari, pada 2010, kliennya di Gorontalo mengh­a­dapi masalah keuangan.

"Dia tak bisa membayar ong­kos pengiri­man besi beton, lalu membayarnya dengan satu kon­ta­iner cabe kering," ujar Retno dii­ringi tawa kecil. "Jujur saya bi­ngung mau di­apakan cabe seba­nyak itu. Kan enggak mung­kin saya bikin sambal semua," im­buh­nya.

Di tengah rasa masygul itu, dia teringat kenalannya seorang keturunan India yang punya home industry bumbu masak di Si­doarjo. Dia pun menjual cabe kepada kena­lannya tersebut. Dari situ, Retno kemudian menda­pat­kan pengetahuan tentang seluk-beluk mengolah bumbu, penga­daan, hingga pemasarannya. "Sa­ya juga diberi mesin untuk merajang kunyit," ujarnya.

Singkat cerita, sambil tetap me­ngelola bis­nis ekspedisi, Ret­no pun mulai jual-beli ane­ka bu­mbu dan rempah-rempah. Tapi da­lam perjalanannya dia merasa tak bisa me­ngelola dengan baik dua usaha itu sekaligus. Dia me­mutuskan untuk menyerahkan klien­nya di ekspedisi ke Kitrans, dan sepenuhnya berkonsentrasi di bisnis rempah-rempah.

"Saya menghimpun aneka rempah dan pro­duk herbal dari berbagai daerah dan men­jualnya ke­pada para pembeli dari Singa­pura. Mereka kebanyakan orang-orang India," ujar Retno.

Cara bisnis semacam itu dini­lai­nya lebih menguntungkan para pe­da­gang tersebut. Se­cara perla­h­an dia merintis jalur sendiri agar bisa berhubungan langsung de­ngan para pembeli di manca ne­ga­ra.

"Saya ingin bisa menjual la­ngsung, tak mau lagi lewat pe­ran­tara orang-orang India di Si­ngapura yang su­ka seenaknya sendiri mematok harga," ujarnya.

Di sisi lain, dia terus mengem­bangkan dan memperkuat kemit­raan dengan para petani di ba­nyak daerah. Di Waingapu, Sum­ba Timur, misalnya, dia bermitra dengan ratu­san petani kunyit, as­em, kacang hijau, kacang mete, dan produk lainnya. Dia juga mencoba mengembangkan kon­jac untuk jelly di Malang. (dtc)

()

Baca Juga

Rekomendasi