Oleh: Jan Roi A Sinaga.
Isu "Bukan Batak" memang bukanlah isu nasional, akan tetapi, isu ini sangat 'panas' beredar di masyarakat, apalagi setelah Mandailing melakukan deklarasi, bahwa "Mandailing Bukan Batak" beberapa saat yang lalu, seperti diberitakan oleh Harian Analisa pada tanggal 24 Oktober 2017. Ada peneliti dan sejarawan Dr. Phil Ichwan Azhari, antropolog Prof. Usman Pelly, dan juga peneliti Pussis Universitas Negeri Medan (UNIMED), Dr. Erron Damanik, yang masing-masing mengeluarkan "pandangannya" tentang "Batak", sejarahnya, dan kenapa 'kita' disebut Batak, sehingga lewat Focus Group Discussion (FGD) tersebut lahir sebuah alasan, kenapa Mandailing berani mendeklarasikan diri "Bukan Batak". Mandailing adalah Mandailing, sama seperti suku lainnya di Sumatera Utara yang sejak dahulu sudah "menyuarakan" bahwa mereka bukan bagian dari "Batak". Dan beberapa hari setelah Mandailing mendeklarasikan MBB (Mandailing Bukan Batak), sebagian warga Karo di bawah naungan FRMK (Forum Runggu Masyarakat Karo) membentangkan spanduk di Istana Maimun dan Jembatan Layang Djamin Ginting, dengan isi bahwa "Karo Bukan Batak (KBB)".
Memang, isu "Bukan Batak" bukanlah hal baru untuk dibahas sejumlah kalangan terkhusus rakyat Sumatera Utara, mulai dari antropolog dan sejarawan, budayawan dan penatua adat, sampai rakyat biasa. Berbagai pandangan dan argumen dikeluarkan, bahkan tidak jarang isu ini menjadi perdebatan 'panas' di kalangan masyarakat, yang pro dan kontra terhadap pernyataan "Bukan Batak" tersebut. Berdasarkan pemaparan para ahli yang menghadiri FGD tersebut, Mandailing telah menolak disebut Batak sejak Indonesia masih dijajah oleh Belanda, tepatnya tahun 1922, Karo dan Nias menolak disebut Batak sejak 1952, Simalungun menolak disebut Batak pada tahun 1963, serta Pak-Pak menolak disebut Batak pada tahun 1964. Hanya Toba dan Angkola yang diberitakan tetap kukuh dan menerima disebut Batak.
Melihat 'panasnya' pembahasan "Bukan Batak" di tengah-tengah masyarakat Sumatera Utara khususnya saat ini, perlu penjelasan yang masuk akal, kenapa ada pernyataan "Bukan Batak", sehingga tidak membuat rakyat menjadi bingung, bahkan sampai terjadi perselisihan hanya karena sikap pro dan kontra terhadap pernyataan tersebut. Bahkan, rakyat bisa saja bingung, apa "Batak" itu sebenarnya, apakah suku tertentu, atau hanya penyebutan bagi orang-orang yang bermukim di Sumatera Utara saja.
Penulis tidak akan membahas ini dalam kajian sejarah maupun antropologi, karena penulis bukanlah ahli sejarah. Namun, menurut penulis, ada pandangan-pandangan sederhana yang bisa diterima akal sehat oleh rakyat kenapa kita disebut sebagai orang "Batak", hingga nantinya ada penelitian yang memberi hasil yang jelas dan bisa diterima akal, kenapa juga kita berbangga mengakui asal usul kita dan menerima disebut "Bukan Batak".
Budaya dan Adat
Untuk mencari tahu tentang sejarah kenapa kita disebut "Batak" selama ini bukanlah perkara mudah, bahkan almarhum oppung (Kakek) saya juga tidak bisa menyebutkan kenapa kita disebut "Batak" saat saya masih sempat bertanya perihal perdebatan SBB (Simalungun Bukan Batak). Beliau hanya menyebut, "bahwa kita ini orang Batak, adat kita pun hampir-hampir mirip satu sama lain, Simalungun, Toba, Pakpak, Karo, Mandailing dan Angkola pun ada kemiripan" ujarnya.
Dan karena perdebatan "Bukan Batak" masih tetap saja mencuat di kalangan masyarakat Sumatera Utara, dan puncaknya setelah Mandailing mendeklarasikan MBB, penulis kembali mencari data, apa dan siapa sebenarnya "Batak" itu hingga harus menjadi perdebatan bahkan ada yang menolak disebut sebagai orang "Batak". Padahal, beberapa tahun yang lalu, baru launching sebuah lagu berjudul Jangan Malu jadi Orang Batak, lantas kenapa beberapa suku tidak mau disebut Batak?
Setelah mencari informasi lewat beberapa artikel dan ulasan beberapa profesor sejarah yang pernah membahas ini, tidak ada info berharga yang penulis temukan. Kesimpulannya hampir sama dengan yang diutarakan oleh para ahli yang hadir dalam FGD MBB tersebut, dimana isitilah Batak digunakan oleh peneliti asing untuk menyebutkan masyarakat yang mendiami wilayah hinterland atau dataran tinggi, sedangkan masyarakat pesisir diidentikkan dengan Melayu. Dan masih berdasarkan para ahli, lewat kajian-kajian seperti itulah, ada alasan berbagai suku menolak disebut bagian dari Batak.
Namun, menurut penulis alasan tersebut masihlah kurang masuk akal, kenapa kita harus welcome dengan usulan bahwa kita "Bukan Batak". Dan masih terus mencari data, kenapa kita harus mengakui "Bukan Batak" malah lebih membingungkan, dimana ada beberapa pandangan yang mengaku ahli sejarah lewat postingan artikelnya di media sosial dengan pernyataan bahwa istilah "Batak" digunakan oleh Belanda untuk menjalankan devide at impera. Dan yang lebih nyeleneh lagi, menyatakan bahwa Belanda sengaja mengkelompokkan "Batak" untuk membentengi penyebaran salah satu agama di Indonesia.
Jika melihat rentetan kejadian yang diungkapkan para "ahli" sejarah tersebut, kejadiannya di kisaran abad ke 17, dimana pedagang dari Tionghoa menceritakan kepada VOC bahwa dia pernah tinggal di pedalaman Sumatera bagian Utara yang kaya akan rempah. Namun, penulis berhasil menemukan artikel tentang "Batak" meski tidak secara jelas menyebutkan "Batak". Dimana pada artikel yang dimuat oleh situs sejarah-nusantara.anri.go.id tersebut menjelaskan bahwa sejak abad ke 2 M, Ptolemaeus menceritakan bahwa Sumatera bagian Utara merupakan daerah berbahaya karena dihuni oleh sejumlah masyarakat kanibal, meski wilayah itu kaya akan kamper. Dan pada abad ke 13, Zhao Ruga menuliskan bahwa ada sebuah negeri bernama Pa-t'a di bawah kuasa Sriwijaya, dimana kaitan antara Pa-t'a dan Bata sudah diterima umum.
Selain itu, sejarah resmi dinasti Yuan (Yuanshi) mencatat kedatangan utusan Ma-da di istana maharaja Tiongkok pada tahun 1285, dimana suku kata ma diucapkan ba dalam dialek bagian selatan Fujian, sehingga nama tempat yang dimaksud mungkin Bata. Dan Marco Polo semakin memperjelas gambaran tentang populasi di bagian Sumatera Utara pada tahun 1291, dengan menyebut bahwa ada pertentangan antara Islam minoritas di perkotaan pesisir, dengan masyarakat mayoritas penganut paganisme dan sebagian kanibal yang tinggal di pegunungan dan belum dikenal dunia luar.
Hingga pada tahun 1430, Nicolo de' Conti tinggal selama setahun di pedalam Sciamuthera (Samudra) dan orang pertama yang menyebut nama tempat Batech dan mengaitkannya dengan populasi yang suka berperang dan kanibal. Dan Tome Pires kembali menyebutkan nama tempat ini pada awal abad ke 16 dengan menyebut "seorang raja dari Bata". Hingga akhirnya, nama suku Bata pertama kali disebutkan oleh Fernao Mendes Pinto, penjelajah Portugis pada tahun 1509.
Dan dari ulasan sejarah diatas, sedikit mampu menangkal uraian para peneliti yang hadir dalam FGD MBB tersebut yang menyatakan bahwa "Batak" adalah ungkapan yang disematkan oleh peneliti asing. Karena dari semua rujukan kata "Batak" pada awal-awal penemuannya, semuanya dituliskan oleh para penjelajah, bukan peneliti. Hingga akhirnya, sedikit jelas bahwa Batak itu adalah nama yang disematkan para penjelajah kepada sebuah populasi yang ada di dataran tinggi Sumatera Utara, di selatan kerajaan Pasai, yang suka berperang dan kanibal. Uraian yang memiliki kesamaan sejarah, dimana dalam sejarah penyebaran agama Kristen pertama kali ke tanah "Batak", misionaris asal AS, Munson & Lyman tewas di Tarutung, Tapanuli Utara pada tahun 1834, dan sejumlah sumber menyebutkan tubuhnya dimakan oleh orang Batak kuno yang kanibal, disebabkan oleh insiden antara penduduk dan pendatang, dimana seorang ibu tewas tertembak oleh pengawal mereka.
Mungkin, untuk menggali lebih dalam tentang temuan-temuan sejarah, tentang apa dan siapa saja "Batak" itu, sudah merupakan keharusan bagi para ahli sejarah dan antropologi untuk menuntaskannya dan menjelaskannya kepada publik lewat penemuan-penemuan yang bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya, bukan hanya sebatas perkiraan, artikel, dan kalimat sakti "berdasarkan sejarahnya", tanpa ada penelitian baru.
Satu hal yang bisa mempersatukan kita semua rakyat yang dahulu dan sekarang masih disebut "Batak" (ada Toba, Simalungun, Karo, Pakpak, Mandailing, Angkola) adalah ke-miripan adat dan budaya. Apalagi merujuk kepada ikatan kekeluargaan, di Toba ada Dalihan Natolu (Hula-Hula, Dongan Tubu, Boru), Mandailing/Angkola menyebut Dalian Natolu (Mora, Anak Boru, Hahanggi), Simalungun menyebut Tolu Sahundulan (Tondong, Sanina, Anak boru), Karo/Pakpak menyebut Rakut Sitelu/Daliken Sitelu (Kalimbubu, Senina/Sembuyak, Anak Beru). Semua pengertiannya sama, tidak ada yang berbeda, baik dari tugas dan fungsinya dalam kekerabatan kekeluargaan.
Lewat adat dan budaya yang utama ini, suku yang selama ini bernaung dalam kata "Batak" memiliki kesamaan, meski dalam perjalanan adatnya pastilah ada sedikit perbedaan. Jika ditelusuri lebih dalam, pasti ada sejarah yang bisa mengungkap kenapa selama ini kita disebut dengan "Batak". Namun kita semua harus menerima kenyataan bahwa sangat sulit mencari bukti kenapa kita disebut "Batak", apalagi lewat bukti tulisan maupun prasasti, karena orang tua jaman dahulu lebih senang dan merasa lebih berharga menuliskan ramuan obat tradisional dan tarombo (silsilah dan garis keturunan) yang bermanfaat buat kehidupan anak cucunya saat ini.
Sederhananya, bagaimana mungkin jika memang suku-suku yang selama ini bernaung dalam nama "Batak" pada dasarnya berbeda, sementara kekerabatan keluarga yang utama dalam sistem adat adalah sama? Dalian natolu, Dalihan Natolu, Tolu Sahundulan, Daliken/Rakut sitelu adalah ajaran utama dan penting dalam kehidupan adat dan budaya kita, tidak bisa dihilangkan dan digantikan. Dan ajaran dari kekerabatan itu semuanya sama disetiap suku yang dinaungi nama "Batak" selama ini, yaitu berisi ajaran yang saling menghargai dan menghormati satu sama lain didalam keluarga, yakni hormat kepada (Hula-hula, mora, kalimbubu, tondong), hati-hati dan hormat menjaga persaudaraan (sanina, hahanggi, dongan tubu, senina sembuyak), dan mampu merangkul (Boru, Anak Boru, anak beru).
Sekali lagi, ini adalah pandangan sederhana bukan ahli sejarah, yang berusaha mencari persamaan agar nama "Batak" memang layak kita pakai sebagai naungan suku-suku yang mendiami hinterland Sumatera Utara ini. Dan melalui sejarah yang ditulis dalam situs anri.go.id tersebut dapat kita simpulkan bahwa "Batak" bukanlah sebuah suku yang lahir di Sumatera Utara, namun penyebutan kepada populasi yang hidup di Sumatera Utara oleh penjelajah awalnya. Jadi wajar, kenapa raja Sisingamangaraja hanya menyebut si raja Toba dalam stempelnya, dan bukan siraja "Batak", karena tidak ada deklarasi kerajaan Batak kala itu, dan sekali lagi, kata "Batak" adalah sebutan bagi kita yang mendiami dataran tinggi Sumatera Utara, yang dahulu kanibal dan suka berperang, dan sekarang berevolusi menjadi orang yang suka menjaga persatuan dan kesatuan.
Dan hingga penelitian yang bisa diterima akal secara sederhana belum bisa dikemukakan oleh para akademisi, jangan malu jadi orang Batak. Penulis juga tidak bermaksud menentang para pegiat "Bukan Batak", namun alangkah baiknya mengeluarkan statement ilmiah dengan bukti ilmiah yang sahih lewat berbagai perbandingan dan fakta sejarah, karena kami generasi muda saat ini bukanlah generasi micin yang menelan berita mentah-mentah. Tapi kami generasi milenial yang butuh bukti sahih, kenapa kami harus menerima pernyataan "Bukan Batak" disematkan kepada suku kami masing-masing.
Kita semua tentu senang jika akhirnya nanti kita mengetahui asal usul kita masing-masing, serta sejarah para leluluhur kita. Akan tetapi selama "Batak" bisa menjaga persatuan dan kesatuan diantara suku yang mendiami dataran tinggi Sumatera Utara ini, kenapa kita harus berusaha menentangnya? Apa ada yang salah dengan sebutan "Batak" sehingga kita harus bersuara menyebutkan "Bukan Batak"? apakah kesamaan di dalam kekerabatan adat dan budaya dalam kehidupan orang "Batak" juga merupakan konspirasi asing dan penjajah? Jika tidak, kenapa kita harus bersuara menyebutkan "Bukan Batak"?
Beri kami alasan yang masuk akal, bukti sejarah yang bisa diterima akal, dan jangan ajari kami sejarah yang salah.***
Penulis, pemerhati sosial, masih orang “Batak” Simalungun.