Oleh: Riduan Situmorang.
Jalan kaki adalah sebuah perayaan. Sabanhari, seorang ibu selalu sabar menunggui sekaligus melatih agar anaknya dapat berjalan kaki. Sambil bernyanyi, Sang Ibu memegang-melepas anaknya dengan satu tujuan: anak dapat berjalan. Begitulah persitiwa berjalan kaki: dipersiapkan dengan matang lalu disambut dengan riang. Karena dipersiapkan dengan matang dan disambut dengan riang, maka jalan kaki adalah bekal hidupa karena hidup adalah sebuah perjuangan. Ini ibarat petuah Titus Lucretius Carus (99-55 SM) bahwa seluruh hidup merupakan perjuangan untuk melangkah dalam kegelapan.
Melangkah dalam kegelapan tentu bukan dalam pengertian kaku, yaitu kita berjalan di dalam kegelapan. Berjalan dalam kegelapan sinonim dengan berjalan dari kegelapan. Berjalan itu bergerak. Bergerak itu meninggalkan. Karena itu, melangkah dalam kegelapan berarti sebuah upaya mencari sesuatu tentang apakah di ujung sana ada sebuah terang atau malah gelap yang makin pekat? Sudah jelas bahwa melangkah itu mencari. Dan memang, demikianlah adanya. Syahdan, melangkah adalah pekerjaan para musafir dan pengelana, juga filsuf.
Mereka berjalan dari suatu tempat ke tempat lain, dari suatu kejadian ke kejadian lain. Mereka mencari kebenaran. Perjalanan yang banyak tentu memberikan mereka sebuah pelajaran bahwa kebenaran tak pernah tunggal. Karena itu, para pengelana dan musafir itu selalu sangat bijak. Nasihatnya selalu filosofis dan menyejukkan. Kebenaran yang mereka kutip di sekujur tubuh perjalanan nyata-nyata menjadi kata-kata untuk puisi yang indah. Singa tidak membunuh/ serigala tidak merenggut domba/ begitu salah satu kutipan puisi Sumeria (3000SM).
Sangat berguna
Dari puisi itu, meski dalam bentangan waktu yang jauh berbeda, juga dengan bentangan letak geografis yang teramat jauh, kita lantas mengerti bahwa ada suatu masa di Sumeria kehidupan sangat lembut. Kalau kini daerah itu menjadi ladang keganasan, ini hanya gambaran bahwa bangsa itu gagal melangkah lebih jauh. Gagal meninggalkan, juga gagal untuk kembali. Mereka diam saja di dalam kegelapan itu. Mereka menghikmati keburaman itu. Sebab, kalau saja mereka bergerak, niscaya mereka tak akan terombang-ambing di pelukan kegelapan.
Tak ada pergerakan yang percuma. Selalu ada nikmat juga hikmah di belakangnya. Keduanya (nikmat-hikmah) adalah keuntungan meski juga keduanya adalah kerugian. Ketika kalah, kita untung karena sudah mengurangi jatah kegagalan. Ketika menang, kita rugi karena harus berjuang lebih lama mempertahankan kemenangan itu. Sesungguhnya, sekali lagi, tak ada langkah yang percuma. Seperti dituturkan Pramoedya Ananta Toer dalam akhir Bumi Manusia-nya, saat Annelies pergi lalu Minke berkata kepada Nya, “Kita kalah, Ma!”
Cepat-cepat, Nyai membantahnya dengan tegas, “Tidak. Kita sudah melawannya!” Adegan paling akhir itu benar-benar sangat mengharukan. Ada hikmah yang ditawarkan: bahwa meski kalah, ketika sudah melawan, kita sebenarnya tak pernah kalah. Kita hanya benar-benar kalah ketika tidak melawan. Sebab, kekalahan bukan soal kehilangan, tetapi lebih pada bagaimana kita tidak mempertahankan, apalagi merebut. Dalam hal ini, kekalahan bukan soal ketika kita mundur atau maju, tetapi soal ketika kita diam dan beku, tak melakukan apa-apa.
Itulah filosofi dari sebuah gerakan. Semua gerakan sangat berguna. Namun,di antara semua gerakan itu, ada gerakan yang sangat sederhana, tetapi kuasanya sangat besar. Namanya jalan kaki. Berselancarlah di dunia internet. Di sana Anda akan jamak menemukan bagaimana seseorang berjalan kaki dari pelosok hingga Ibu Kota, bahkan dari Pekalongan hingga Mekkah. Jalan kaki adalah perjuangan ketika gerakan lain menemui jalan buntu. Indra Azwan, warga Kota Malang, berjalan kaki menjumpai SBY untuk menuntut keadilan.
Jalan kaki juga pelajaran untuk membelajarkan. Arun Gandhi, Mahaputra Mahatma Gandhi, sudah mengalaminya. “Seandainya saja saat itu ayah (Mahatma Gandhi) menghukum saya, mungkin saya akan menderita atas hukuman itu dan mungkin hanya sedikit saja menyadari kesalahan saya. Tetapi dengan tindakan mengevaluasi diri, meski tanpa kekerasan, justru mempunya kekuatan besar untuk mengubah saya,” tutur Arun Gandhi yang sudah menjadi dokter.
Konon, pada saat itu, ketika Mahatma Gandhi berceramah, Arun Gandhi permisi untuk membawa mobil ke bengkel karena mobil sedang tak beres. Rupanya, waktu untuk memperbaiki mobil itu sangat singkat sehingga Arun Gandhi memutuskan untuk menonton ke bioskop. Keasyikan nonton, Arun lupa menjemput ayahnya. Namun, Arun tetap menjemput ayahnya. “Tadi tukang bengkel memperbaiki mobil ini sangat lama,” kata Arun kepada ayahnya. Arun tak tahu bahwa Mahatma Gandhi sudah menelepon ke bengkel.
Mahatma Gandhi tak marah melihat putranya berbohong. Dia memilih jalan kaki pulang ke rumah dari tempat ceramah setelah berkata, “Arun, sepertinya ada yang salah dengan ayah dalam mendidik dan membesarkan kamu sehingga kamu tidak punya keberanian untuk berkata jujur kepada ayah. Untuk menghukum kesalahan ayah ini, biarlah ayah pulang jalan kaki sambil merenungkan di mana letak kesalahan saya.” Arun tertegun. Dia tak mendapatkan hukuman apa-apa, tetapi karena sebuah jalan kaki, Arun lantas “pulang” dari ketidakberaniannya.
Mari tak berhenti!
Sekali lagi, jalan kaki adalah perayaan dan perjuangan. Maka, ketika kaki sudah dihentikan, bahkan dicor seperti yang dilakukan oleh pejuang Pegunungan Kandeng, itu artinya kita akan berhenti atau setidaknya sudah dapat menebak bahwa perjuangan itu akan selalu dihentikan. Kita lalu beku dan diam menanti kematian menyambar-nyambar. Saat itu, tak ada lagi sebuah perlawanan meski “menghentikan” kaki juga perlawanan. Tetapi, perlawanan seperti apa yang kita dapatkan jika kita memilih untuk menghentikan kaki?
Baru-baru ini, saya semakin suka jalan kaki. Saya mengelilingi pelataran kota. Dengan jalan kaki itu, saya bisa menikmati sebuah perjalanan, bahkan mendapatkan apa-apa yang selama ini tak saya dapatkan. Saya bisa melihat bagaimana tukang sampah selalu tergopoh-gopoh. Saya bisa melihat seorang tua renta tidur pulas di tepi-tepi jalan. Saya bisa melihat orang kaya memanasi kendaraannya. Saya juga tiba-tiba bisa merasakan daun dan embun; mendengar burung cekikikan lalu seolah tersadar: oh, di kota ini juga masih ada burung-burung.
Jalan kaki adalah membuatmu bisa berjuang juga mengerti situasi, bahkan membuatmu sadar. Memang, saat ini, jalan kaki menjadi sebuah hinaan. Pejalan kaki ditempatkan di kasta terendah. Sabanhari, trotoar menjadi milik kendaraan. Pejalan kaki tersingkir dan dihina. “Penyebab kota ini awut-awutan adalah karena pejalan kaki,” kurang lebih begitu makna kalimat Sandiaga Uno. Saya tak kenal dengan Sandiaga Uno. Hanya, saya paham, bahwa dia tak mengerti apa itu jalan kaki. Jadi, marilah berlapang dada menerima serapah itu di tengah desingan klakson-klakson yang memekak telinga.
Lagipula, kota di negara ini memang sudah teramat fasis. Fasisme dilawan dengan fasisme akan membuat tribalisme semakin mengakar. Karena itu, selama masih punya kaki untuk berjalan, bergeraklah dengan tenteram. Nikmati perjalananmu, sadari setiap peristiwa di sekitarmu karena tak ada yang lebih penting dalam hidup selain kesadaran. Mahatma Gandhi sudah melakukannya dengan apik. Saat ini, kita hanya butuh doa agar Sandiaga Uno bisa menjadi Arun Gandhi. Mari tak berhenti berdoa untuk itu!. ***
Penulis adalah Seorang Pendidik di Medan, Pegiat Literasi dan Kebudayaan di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) Medan dan di Toba Writers Forum (TWF), Belakangan ini Selalu Menyempatkan Diri Berjalan Kaki Setiap Hari.