Mahatma Gandhi, Sandiaga Uno, dan Kota yang Fasis!

Oleh:  Riduan Situmorang.

Jalan kaki adalah sebuah perayaan. Sabanhari, seorang ibu selalu sabar menunggui sekaligus melatih agar anaknya da­pat berjalan kaki. Sambil bernyanyi, Sang Ibu memegang-me­le­pas anaknya de­ngan satu tujuan: anak dapat berjalan. Be­gitulah persitiwa berjalan kaki: dipersiapkan dengan ma­tang lalu disambut dengan riang. Karena dipersiapkan dengan matang dan disambut dengan riang, maka jalan kaki ada­lah bekal hidupa karena hidup adalah sebuah perjuangan. Ini ibarat petuah Titus Lucretius Carus (99-55 SM) bahwa selu­ruh hidup merupakan perjuangan untuk melangkah dalam kegelapan.

Melangkah dalam kegelapan tentu bukan dalam pengertian kaku, yaitu kita berjalan di dalam kege­lapan. Berjalan dalam kegelapan sinonim dengan berjalan dari kege­lapan. Berjalan itu bergerak. Berge­rak itu meninggalkan. Karena itu, melang­kah dalam kegelapan berarti sebuah upaya mencari sesuatu tentang apakah di ujung sana ada sebuah terang atau malah ge­lap yang makin pekat? Sudah jelas bahwa melangkah itu men­cari. Dan memang, demikianlah adanya. Syahdan, me­lang­­kah adalah peker­jaan para musafir dan pengelana, juga filsuf.

Mereka berjalan dari suatu tem­pat ke tempat lain, dari suatu keja­dian ke kejadian lain. Mereka mencari kebenaran. Per­ja­lan­an yang banyak tentu memberikan mereka sebuah pelajaran bahwa kebenaran tak pernah tunggal. Karena itu, para penge­lana dan musafir itu selalu sangat bijak. Nasihatnya selalu filosofis dan menyejukkan. Kebe­naran yang mereka kutip di sekujur tubuh perjalanan nyata-nyata men­jadi kata-kata untuk pui­si yang indah. Singa tidak membunuh/ serigala tidak me­reng­gut domba/ begitu salah satu kutipan puisi Sumeria (3000SM).

Sangat berguna

Dari puisi itu, meski dalam bentangan waktu yang jauh ber­­beda, juga dengan bentangan letak geografis yang teramat jauh, kita lantas mengerti bahwa ada suatu masa di Sumeria kehidupan sangat lembut. Kalau kini daerah itu men­jadi ladang keganasan, ini hanya gambaran bahwa bangsa itu gagal melangkah lebih jauh. Gagal me­ning­galkan, juga gagal untuk kem­bali. Mereka diam saja di dalam kegelapan itu. Mereka menghik­mati keburaman itu. Sebab, kalau saja me­reka bergerak, niscaya mereka tak akan terombang-am­bing di pelukan kegelapan.

Tak ada pergerakan yang percu­ma. Selalu ada nikmat juga hikmah di belakangnya. Keduanya (nikmat-hikmah) adalah keuntungan meski juga keduanya adalah kerugian. Ketika kalah, kita untung karena sudah mengurangi jatah kegagalan. Ketika menang, kita rugi karena harus berjuang lebih lama mem­pertahankan kemenangan itu. Se­sung­guhnya, sekali lagi, tak ada lang­kah yang percuma. Seperti dituturkan Pramoedya Ananta Toer dalam akhir Bumi Manusia-nya, saat Annelies pergi lalu Minke berkata kepada Nya, “Kita kalah, Ma!”

Cepat-cepat, Nyai membantah­nya dengan tegas, “Tidak. Kita sudah melawannya!” Adegan paling akhir itu benar-benar sangat mengharukan. Ada hikmah yang ditawarkan: bahwa meski kalah, ketika sudah melawan, kita sebe­nar­nya tak per­nah kalah. Kita hanya benar-benar kalah ketika tidak melawan. Sebab, kekalahan bukan soal kehilangan, tetapi lebih pada bagai­mana kita tidak mem­perta­hankan, apalagi merebut. Dalam hal ini, kekalahan bukan soal ketika kita mundur atau maju, tetapi soal ketika kita diam dan beku, tak melakukan apa-apa.

Itulah filosofi dari sebuah gera­kan. Semua gerakan sangat bergu­na. Namun,di antara semua gerakan itu, ada gerakan yang sangat seder­hana, tetapi kuasanya sangat besar. Namanya jalan kaki. Berselan­carlah di dunia internet. Di sana Anda akan jamak menemukan bagai­mana seseorang berjalan kaki dari pelosok hingga Ibu Kota, bah­kan dari Pekalongan hingga Mek­kah. Jalan kaki adalah perjua­ngan ketika gerakan lain menemui jalan buntu. Indra Azwan, warga Kota Malang, ber­ja­lan kaki men­jumpai SBY untuk menuntut keadilan.

Jalan kaki juga pelajaran untuk membelajarkan. Arun Gan­dhi, Mahaputra Mahatma Gandhi, su­dah mengalaminya. “Se­an­dainya saja saat itu ayah (Mahatma Gan­dhi) menghukum saya, mungkin saya akan menderita atas hukuman itu dan mungkin hanya sedikit saja menyadari kesalahan saya. Tetapi dengan tindakan mengevaluasi diri, meski tanpa kekerasan, justru mempunya kekuatan besar untuk mengubah saya,” tutur Arun Gan­dhi yang sudah menjadi dokter.

Konon, pada saat itu, ketika Mahatma Gandhi berceramah, Arun Gandhi permisi untuk mem­bawa mobil ke bengkel ka­re­na mobil sedang tak beres. Rupanya, waktu untuk mem­per­baiki mobil itu sangat singkat sehingga Arun Gandhi me­mu­tuskan untuk menon­ton ke bioskop. Keasyikan nonton, Arun lupa menjemput ayahnya. Na­mun, Arun tetap menjemput ayah­nya. “Tadi tukang bengkel mem­perbaiki mobil ini sangat lama,” kata Arun kepada ayahnya. Arun tak tahu bahwa Mahatma Gandhi sudah menelepon ke bengkel.

Mahatma Gandhi tak marah melihat putranya berbohong. Dia memilih jalan kaki pulang ke rumah dari tempat ceramah setelah ber­kata, “Arun, sepertinya ada yang salah dengan ayah dalam mendidik dan membesarkan kamu sehingga kamu tidak punya keberanian untuk berkata jujur kepada ayah. Untuk meng­hukum kesalahan ayah ini, biarlah ayah pulang jalan kaki sam­bil merenungkan di mana letak kesalahan saya.” Arun tertegun. Dia tak mendapatkan hukuman apa-apa, tetapi karena sebuah jalan kaki, Arun lantas “pulang” dari ketidak­beranian­nya.

Mari tak berhenti!

Sekali lagi, jalan kaki adalah perayaan dan perjuangan. Ma­ka, ketika kaki sudah dihentikan, bahkan dicor seperti yang dila­kukan oleh pejuang Pegunungan Kandeng, itu artinya kita akan berhenti atau setidaknya sudah dapat menebak bahwa per­juangan itu akan selalu dihentikan. Kita lalu beku dan diam menanti kematian menyambar-nyambar. Saat itu, tak ada lagi sebuah perla­wanan meski “menghentikan” kaki juga perla­wa­nan. Tetapi, perla­wanan seperti apa yang kita dapat­kan jika kita memi­lih untuk meng­hentikan kaki?

Baru-baru ini, saya semakin suka jalan kaki. Saya menge­li­lingi pelataran kota. Dengan jalan kaki itu, saya bisa menikmati sebuah perjalanan, bahkan mendapatkan apa-apa yang selama ini tak saya dapatkan. Saya bisa melihat bagai­mana tukang sampah selalu tergo­poh-gopoh. Saya bisa melihat seorang tua renta tidur pulas di tepi-tepi jalan. Saya bisa melihat orang kaya memanasi kendaraannya. Saya juga tiba-tiba bisa merasakan daun dan embun; mendengar bu­rung cekikikan lalu seolah tersadar: oh, di kota ini juga masih ada bu­rung-burung.

Jalan kaki adalah membuatmu bisa berjuang juga mengerti situasi, bahkan membuatmu sadar. Me­mang, saat ini, jalan kaki menjadi sebuah hinaan. Pejalan kaki ditem­patkan di kasta terendah. Sabanhari, trotoar menjadi milik kendaraan. Pejalan kaki tersingkir dan dihina. “Penyebab kota ini awut-awutan ada­lah karena pejalan kaki,” kurang lebih begitu makna kali­mat San­diaga Uno. Saya tak kenal dengan Sandiaga Uno. Ha­nya, saya paham, bahwa dia tak mengerti apa itu jalan kaki. Jadi, marilah berlapang dada menerima serapah itu di tengah desingan klakson-klakson yang memekak telinga.

Lagipula, kota di negara ini memang sudah teramat fasis. Fa­­sisme dilawan dengan fasisme akan membuat tribalisme semakin me­ngakar. Karena itu, selama masih punya kaki untuk berjalan, ber­geraklah dengan tenteram. Nikmati perjalananmu, sadari setiap peris­tiwa di sekitarmu karena tak ada yang lebih penting dalam hidup selain kesadaran. Mahatma Gandhi sudah melakukannya de­ngan apik. Saat ini, kita hanya butuh doa agar Sandiaga Uno bisa menjadi  Arun Gandhi. Mari tak ber­hen­ti berdoa untuk itu!. ***

Penulis adalah Seorang Pendidik di Medan, Pegiat Literasi dan Kebudayaan di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) Medan dan di Toba Writers Forum (TWF), Bela­kangan ini Selalu Menyempatkan Diri Berjalan Kaki Setiap Hari.

()

Baca Juga

Rekomendasi